Petualangan di Lembah Maut Scan by BBSC - OCR by Raynold Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 1 Terbang dengan Bill Kiki sedang kesal. Burung kakaktua itu bersungut-sungut, karena sehari penuh ia ditinggal sendiri. "Sayang, sayang, sayang, Polly yang malang! Tingtong bal. Polly sedang kesal — selamat pagi, selamat pagi!" Bu Mannering menjengukkan kepala di pintu kamar tempat Kiki berada. "Sudahlah, Kiki — jangan mengomel terus." kata wanita itu, "anak-anak sebentar lagi kan sudah datang." "Tingtong bal," kata Kiki dengan suara sedih. Ia mengatupkan paruhnya dengan keras. "Kau tentunya rindu pada Jack," kata Bu Mannering. Ia masuk ke dalam kamar. Pintu ditutupnya baik-baik, supaya Kiki tidak bisa terbang ke luar. "la sebentar lagi pasti datang, Kiki. Tak lama lagi kau akan mendengar suaranya kembali bersama yang lain-lainnya. Sudahlah, Burung manis — jangan berisik terus!" Kiki mengangakan paruh. Lehernya dikembungkan. Burung itu menjerit, menirukan bunyi peluit kereta api cepat yang memasuki terowongan. Bu Mannering mendekapkan kedua tangannya, menutupi telinga. "Kau ini nakal, Kiki Sudah berapa kali kau dilarang berteriak begitu?" "Sudah berapa kali kukatakan tutup pintu, tutup. pintu, tutup pintu," balas Kiki. la mengembangkan bulu-bulunya dengan sikap membandel. Bu Mannering menepuk paruh burung itu. "Burung konyol,"' katanya. "Nah! Dengarlah anak-anak sudah kembali. Mereka tadi melancong naik pesawat terbang, Kiki! Bayangkan! Itulah sebabnya, kenapa kau ditinggal sendiri tadi!" "Jack, Jack, Jack!" jerit Kiki, ketika mendengar suara tuannya. Empat orang anak masuk bergegas-gegas. Wajah mereka berseri-seri. "Halo!" sapa Bu Mannering. "Nah bagaimana tadi? Asyik tidak, terbang tinggi ke udara?" "Aduh, Bu! Asyiknya bukan main!" "Bibi Allie — nanti kalau aku sudah besar, aku akan membeli pesawat terbang untukku sendiri!" "Wah — sayang ibu tidak ikut tadi. Bill sendiri yang menerbangkan pesawatnya. Ia hebat!" "Aku sama sekali tidak mabuk udara, Bibi Allie! Padahal Bill sudah khawatir. Aku diberinya sebuah kantong kertas sebagai penampung muntah!" Bu Mannering tertawa. Keempat anak itu berbicara berebut-rebut, sehingga sulit baginya untuk menangkap cerita mereka satu-satu. Kiki berteriak lagi dengan gembira, lalu terbang ke bahu Jack. Anak-anak menghempaskan diri ke kursi. Masing-masing ingin menceritakan pengalaman mereka hari itu. Dua di antara mereka anak kandung Bu Mannering, yaitu Philip dan Dinah. Keduanya mirip dengan ibu mereka, berambut dan bermata coklat tua. Rambut kedua anak itu agak aneh. Bagian depannya berjambul. Biar disisir serajin apa pun, jambul itu tetap menegak kembali. Oleh sebab itu keduanya mendapat julukan Jambul di sekolah mereka. Anak yang dua lagi, bernama Jack dan Lucy-Ann. Mereka kakak beradik yang yatim piatu. Mereka tinggal bersama Bu Mannering, yang oleh kedua anak itu dipanggil dengan sebutan "Bibi Allie". Keempat anak itu sudah seperti anak kandung saja akrabnya. Jack sangat mirip dengan adiknya, Lucy-Ann. Kedua-duanya berambut merah, dan bermata hijau. Muka mereka penuh dengan bintik-bintik coklat, sehingga sulit sekali mengenali warna kulit yang asli. Sebetulnya bukan muka mereka saja yang begitu, tetapi seluruh tubuh. Tidaklah mengherankan, apabila Jack sering disapa dengan panggilan 'Bintik'. Kiki, burung kakaktua itu kepunyaannya. Ia sudah bertahun-tahun memeliharanya. Burung itu kocak dan gemar mengoceh. Kiki sangat pandai menirukan apa saja yang pernah didengarnya. Bunyi mesin jahit? Gampang! Bunyi kereta api cepat pun dapat ditirukannya. Kiki sangat sayang pada Jack, la selalu sedih, apabila ditinggal anak itu. Jack sangat gemar pada burung. Sedang Philip menyukai binatang apa saja. Entah apa sebabnya, binatang selalu mau saja menurut padanya. la selalu membawa-bawa binatang yang sedang disenangi. Hal itu sering menimbulkan pertengkaran dengan Dinah. Adiknya itu takut pada binatang, termasuk serangga. Tapi saat itu pikiran anak-anak sedang dipenuhi pengalaman asyik, yaitu terbang naik pesawat terbang Bill yang masih baru. Bill itu sahabat karib mereka. Bersama Bill, sudah beberapa kali mereka mengalami petualangan yang menegangkan syaraf. Mereka pernah masuk ke dalam tambang tembaga yang sudah tidak bekerja lagi, melacak jejak kawanan pemalsu uang yang sangat licik. Dalam kejadian lain, secara tidak sengaja mereka menemukan sarang mata-mata yang berbahaya. Seperti dikatakan oleh Bill, keempat anak itu rupanya selalu saja tersandung pada berbagai petualangan. Kini Bill mendapat hadiah pesawat terbang dari atasannya, guna meningkatkan hasil kerjanya Bill langsung menulis surat pada anak-anak itu di sekolah, menceritakan hal itu. Mereka sangat gembira. "Pasti ia mau mengajak kita pesiar dengan pesawatnya," kata Jack. "Aku berani bertaruh, ia pasti mau!" "Kita paksa saja dia," kata Philip. Tapi itu sama sekali tidak perlu mereka lakukan. Dengan senang Bill Smugs mau memamerkan keahliannya menerbangkan pesawat itu. Padahal ia belum lama belajar. "Bu — kami tadi terbang sampai jauh di atas awan," kata Dinah. "Saat itu aku memandang ke bawah. Kelihatannya sama sekali tidak seperti, awan, melainkan seperti padang salju yang luas sekali. Aneh rasanya ketika melihatnya." "Aku disuruh memakai payung terjun, untuk berjaga-jaga kalau sampai jatuh," kata Lucy-Ann 'menyela. Mata anak yang paling muda di antara mereka berempat itu bersinar-sinar karena gembira. "Tapi bahaya itu sama sekali tidak ada!" "Lalu kami juga terbang di atas rumah kita yang dulu, Craggy-Tops," kata Philip. "Aneh rasanya memandang rumah itu dari atas. Kami juga terbang di atas sini. Rumah ini dari atas kelihatannya seperti barang mainan saja." "Bibi Allie, menurut Bill tadi terbang malam sangat mengasyikkan — melihat cahaya berkelip-kelip dl bumi yang gelap, kelihatannya seperti bintik-bintik terang," kata Jack. "Kami merengek-rengek minta diajak terbang malam, tapi katanya ia harus minta izin pada Anda dulu. Kalau ia bertanya nanti, Anda kan akan mengatakan boleh, ya? Wah — tidak bisa kubayangkan apa kata kawan-kawan di sekolah nanti, jika aku bercerita pada mereka bahwa aku sudah pernah naik pesawat terbang, siang dan malam." "Siang dan malam," ulang Kiki. "Tingtong bal." "Ingatan Kiki saat ini cuma tingtong bal terus," kata Jack. "Di rumah sebelah ada seorang anak kecil, yang gemar menyanyikan lagu-lagu taman kanak-kanak. Lalu Kiki ketularan! Kemarin ia tidak bosan-bosannya menyanyikan ‘Tiga Tikus Buta’ lalu sekarang berganti dengan Tingtong bal". Besok entah lagu apa lagi yang akan diocehkannya." "Hampi dampi," kata Kiki, seolah-olah menjawabnya. "Bukan hampi dampi, tapi hampti dampti" kata Jack membetulkan "Hampi dampi bampi," ulang Kiki dengan serius, sambil menggaruk-garuk kepala dengan cakarnya. "Hampi dampi...." "Ya, ya — aku sudah mendengar," kata Jack kesal. "Bagaimana, Bibi Allie? Bolehkah kami ikut terbang malam dengan Bill? Ia akan datang besok untuk menanyakan hal itu. Bilang boleh, ya?" "Kurasa tak ada pilihan lain bagiku," kata Bu Mannering sambil tertawa. "Kau dan Bill! Asal kalian tidak terjerumus lagi ke dalam petualangan yang mengerikan." "Petualangan kan tidak mengerikan," kata Philip. "Kurasa malah sebaliknya — mengasyikkan!" "Bagi yang tidak ikut langsung terlibat, tidak!" kata Bu Mannering. "Kadang-kadang tubuhku lemas rasanya, apabila kuingat petualangan-petualangan yang pernah kalian alami. Jangan lagi-lagi, ya!" "Baiklah. Selama liburan musim panas sekarang ini, kami tidak akan bertualang," kata Lucy-Ann. Ia memeluk Bu Mannering. "Anda tidak perlu gelisah, Bibi Allie. Aku sendiri pun tidak ingin menghadapi petualangan yang baru. Yang lewat - itu saja sudah cukup." "Penakut," kata Dinah meremehkan. "hah — kalau nanti ternyata kita menghadapi petualangan baru, kau tidak usah ikut-ikut, Lucy-Ann." "Lucy-Ann harus ikut," kata Philip, sambil memukul punggung Dinah. "Sudah — jangan bertengkar lagi," kata Bu Mannering buru-buru, sebelum percekcokan antara kedua anak itu sempat berlarut-larut "Kalian semua sudah capek, setelah asyik sehari penuh. Sana — lakukan ah sesuatu yang tenang, sampai saat makan malam." "Ayo nyanyi," sela Kiki. Anak-anak tertawa. "Kau ini benar-benar konyol, Kiki," kata Jack dengan sayang. "Kehilangan kamikah kau sehari ini? Aku tadi khawatir kalau kau kami ajak, kau akan ketakutan lalu terbang keluar dari pesawat! Tapi kurasa kau pasti tidak nakal tadi, dan mau bertengger terus pada bahuku!" Kiki mencubit telinga Jack, sambil bersuara pelan seperti merayu-rayu. Ia merapatkan diri pada tuannya itu. Sementara itu anak-anak sudah mengobrol dengan asyik, mengenai pengalaman mereka sehari itu. "Asyik ya tadi — pergi ke pelabuhan udara lalu masuk dengan surat pas kita, dan setelah itu langsung mendatangi Bill seolah-olah kita ini sudah dewasa!" kata Philip. "Dan pesawat terbang Bill, hebat sekali ya?" "Tak kusangka ukurannya begitu besar," kata Lucy-Ann. "Aneh — ketika kita mengudara tadi, aku menahan napas. Soalnya, kukira akan timbul perasaan ganjil saat itu, seperti apabila aku naik lift Tapi kenyataannya, sama sekali tidak terasa waktu roda-roda pesawat lepas landas dan kita mengudara! Aku kaget sekali ketika memandang ke bawah, dan ternyata kita sudah berada di atas bubungan rumah-rumah yang terdapat di pinggir lapangan." "Menerbangkan pesawat terbang nampaknya gampang sekali," kata Jack. "Bahkan lebih gampang daripada menyetir mobil. Aku kepingin Bill mau mengizinkan aku memegang kemudi sebentar saja." "Itu tak mungkin," kata Philip. "He — aneh ya, rasanya tadi, ketika kita memasuki kantong udara dan dengan tiba-tiba pesawat terhenyak turun! Perutku rasanya seperti mendesak naik, sampai ke kerongkongan." Anak-anak yang lain tertawa. "Aku juga merasakannya," kata Lucy-Ann. "Tapi untung saja aku tidak mabuk udara. Sebetulnya sayang, kantong kertas itu percuma saja diberikan! Tapi walau begitu, aku lebih senang bahwa aku tidak apa-apa tadi." "Kurasa ada beberapa ratus mil kita terbang tadi," kata Jack. "Aku merasa agak aneh, ketika kita berada di atas laut. Habis, kelihatannya begitu datar dan luas. Aku tidak ingin jatuh di atas laut!" "Ibu pasti akan mengizinkan kita ikut dengan Bill terbang malam," kata Dinah. "Kulihat dari air mukanya tadi! Asyik ya — jika benar-benar diizinkan! Kata Bill kita bisa terbang ke rumahnya, lalu mendarat di sana menjelang pagi. Kita bisa tidur di situ, karena ia punya dua kamar kosong. Kita tidak perlu bangun sebelum tengah hari. Bayangkan — terbang malam-malam, lalu masuk ke tempat tidur menjelang pagi!" "Kalau begitu kurasa kita akan terbang kembali siangnya," kata Jack "Wah — aku senang punya kawan seperti Bill, Ia orang yang menarik! Asyik juga mengetahui bahwa ia selalu sibuk dengan salah satu tugas rahasia, dan tidak pernah mau bercerita mengenainya! Aku ingin tahu, apakah ia sekarang sedang bertugas lagi." "Itu sudah jelas!" kata Philip. "Justru itu sebabnya kenapa ia diberi pesawat terbang. Mungkin setiap saat ia harus siap untuk berangkat, memburu mata-mata atau penjahat lainnya. Mudah-mudahan kalau hal itu terjadi, aku sedang ada bersama dia." "Jangan harap," kata Dinah. "Bill takkan mau menjerumuskan kita ke dalam bahaya." "Aku sama sekali tidak berkeberatan,'" kata Philip. "Nah — lonceng sudah berbunyi, memanggil kita untuk makan malam. Aduh, perutku lapar sekali rasanya." "Itu kan bukan kabar baru," kata Dinah. "Yuk — kita lihat saja apa hidangan kali ini. Baunya sih, daging goreng dengan telur." Anak-anak bergegas ke kamar makan, karena' semuanya merasa lapar. Hidangan berupa telur, daging goreng, serta kue buah plum disikat habis dengan cepat. Kiki ikut mencuil-cuil kue, sampai Bu Mannering melarangnya. "Jack! Ayo, larang Kiki mencuil kismis dari kue itu! Lihatlah semuanya berantakan — tahu-tahu kue kita habis begitu saja. Pukul paruhnya!" "Kiki nakal, ya!" kata Jack. Ditepuknya paruh burung kakaktua itu. "Jangan semua kau habiskan." "Sudah berapa kali kukatakan" Kiki mulai mengoceh. Tapi Jack sudah terlalu capek. "Jangan membantah," tukasnya "Aku sudah mengantuk sekali sekarang. Kurasa sudah waktunya aku tidur." Semua memang sudah capek Tidak lama kemudian keempat anak itu sudah tidur pulas. Mereka bermimpi tentang pesawat terbang yang melayang di atas awan berguling dan berputar putar dengan luar biasa. Tapi aman! Bab 2 Ajakan Bill Keesokan harinya Bill Smugs d tang makan siang ke rumah. Orangnya berwajah segar. Matanya bersinar jenaka. Kepalanya agak botak. Tapi rambut di pelipisnya sangat lebat. Ketika ia datang, anak-anak bergegas menyongsongnya. Bu Mannering menyambut sambil tersenyum. "Anda sangat menyenangkan hati anak-anak kemarin," katanya. "Dan kudengar, Anda kini hendak mengajak mereka lagi, terbang malam. Aku heran, kenapa Anda mau merepotkan diri dengan segerombolan anak-anak seperti mereka ini!" "Ah — soalnya, sama sekali tidak bisa diramalkan kapan mereka akan kembali mengalami petualangan yang seru," kata Bill Smugs, Ia memandang anak-anak sambil tersenyum lebar. "Dan aku tidak mau ketinggalan, jika mereka mengalaminya lagi. Di samping itu aku juga agak kasihan pada Anda, Bu Mannering. Selama liburan musim panas ini, Anda harus delapan sampai sembilan minggu berurusan dengan mereka. Jadi timbul pikiran pada diriku, tidak ada salahnya jika Anda kubebaskan dari siksaan mereka untuk beberapa waktu lamanya." "Lalu apa yang menurut Anda harus mereka lakukan nanti?" tanya Bu Mannering. "Hanya ikut terbang malam, lalu tidur di rumah Anda dan kemudian kembali lagi keesokan harinya kemari?" "Itu rencanaku pada mulanya," kata Bill. "Tapi setelah itu aku mendengar bahwa aku masih mempunyai hak cuti tiga sampai empat hari. Karenanya kurasa mungkin Anda tidak berkeberatan apabila anak-anak ini kupinjam agak lama. Kalau boleh, mereka akan kuajak ke rumahku, lalu tinggal di sana untuk iseng sedikit di tempat itu. Di sana banyak burung yang pasti menarik bagi Jack untuk diamat-amati. Sedang Philip nanti pasti akan bisa menjumpai sejumlah besar satwa liar. Dinah dan Lucy-Ann pun akan menyukai pertukaran suasana." "Wah! Kedengarannya asyik sekali!" seru Jack. Anak-anak yang lain sependapat dengannya. Bu Mannering berpikir-pikir sebentar. "Ya — aku tidak melihat alasan kenapa mereka tidak bisa ikut dengan Anda, Bill," katanya kemudian. "Aku tahu, Anda pasti akan mengawasi mereka baik-baik, sehingga mereka tidak mungkin terlibat dalam petualangan yang aneh-aneh." "Kalau tentang soal itu, aku berani berjanji," kata Bill. "Di sekitar tempat kediamanku, tak mungkin mereka bisa menemukan bahan petualangan. Daerah itu tenang dan sunyi. Di sana tidak mungkin terjadi apa-apa." "Yah — jika kalian berjanji tidak mencari-cari bahaya atau kesulitan, kalian boleh pergi," kata Bu Mannering pada anak-anak, yang menanggapi dengan gembira. "Kapan Anda hendak mengajak mereka, Bill?" "Kalau bisa, besok," kata Bill. "Pekerjaan yang kutangani saat ini kelihatannya belum menghasilkan apa-apa, jadi tidak ada salahnya jika sekarang aku mengambil cuti beberapa hari." "Anda sedang melakukan tugas apa sekarang, Bill? Ceritakan, dong!" pinta Lucy-Ann. Bill Smugs tertawa. "Aku tidak boleh menceritakannya," katanya. "Kalian kan tahu, semua tugasku selalu bersifat rahasia Nanti kalau sudah selesai, akan kuceritakan segala-galanya pada kalian. Kalian pasti tertarik mendengarnya." 'Tentunya kami perlu membawa koper, ya?" kata Dinah. "Maksudku, apabila kami nanti menginap beberapa hari di rumah Anda, kami tentu memerlukan beberapa pakaian. Dan juga jas hujan." "Ya, betul! Bawa baju hangat dan celana pendek, supaya kalian bisa bebas bermain-main," kata Bill, "dan mantel hujan juga jangan lupa. Di daerah tempat kediamanku, setiap hari rasanya selalu saja ada hujan. O ya,.Bu Mannering — bisakah aku meminjam beberapa lembar selimut. Rasanya yang ada di rumah tidak mencukupi, untuk tamu sebanyak ini." "Tentu saja bisa," kata Bu Mannering. "Nantilah, kusediakan.” "Kameraku yang bagus akan kubawa," kata Jack. "Dalam pesawat Anda kan cukup banyak tempat untuk barang-barang seperti itu, Bill?" "Cukup, cukup," kata Bill. "Bawa pula teropongmu, karena mungkin kau nanti memerlukannya untuk mengamat-amati berbagai jenis burung yang terdapat di bukit-bukit sekitar rumahku." "Wah! Sudah pasti kita akan asyik nanti!" kata Jack. Matanya bersinar-sinar membayangkannya. 'Aku sudah tidak sabar lagi menunggu besok. Sekarang saja kita berangkat!" "Pesawatku belum siap," kata Bill. "Masih ada yang harus dibereskan pada pesawat itu hari ini. Lagi pula, cutiku baru mulai besok. Sekarang kalian kemaskan saja segala barang yang kalian perlukan, lalu datanglah besok malam ke pelabuhan udara. Harap datang pukul sebelas tepat. Nanti akan kukirimkan mobil untuk menjemput kalian dan mengantar ke sana!" "Aneh sekali waktu yang Anda' pilih untuk mengadakan perjalanan!" kata Bu Mannering. "Aku agak sangsi, apakah aku bisa menyetujuinya." "Wah — jangan berubah pikiran lagi, dong!" seru anak-anak serempak. "Tidak, tidak," kata Bu Mannering menenang: kan. "Tapi walau begitu, perasaanku tidak begitu enak mengenainya. Anak-anak, kalian benar-benar jangan melakukan hal-hal yang berbahaya, ya?" Anak-anak tertawa. Tapi kemudian tampang Jack berubah. "He! Bagaimana dengan Kiki?" katanya gelisah. "Ia pasti tidak senang, apabila aku pergi berhari-hari. Bisakah ia kuajak? Bagaimana dengan pesawat — tidak apa-apakah ia nanti di situ?" "Sebaiknya ia kaumasukkan ke keranjang, atau tempat lain dari mana ia tidak bisa keluar," kata Bill. "Soalnya, kalau tidak begitu ia mungkin terbang, apabila kaget dan takut mendengar bunyi mesin pesawat. Kalau kaumasukkan ke dalam keranjang lalu kaupangku, ia pasti tidak apa-apa. la tidak bisa kita tinggalkan sendiri di sini." "Betul," kata Jack. Hatinya lega. "Kaudengar itu, Kiki? Kau akan ikut terbang dalam keranjang! Tapi ingat, jangan berbuat yang aneh-aneh!" "Bersihkan kakimu," kata Kiki. "Jerangkan air, jerangkan! Aduh, Polly yang malang, kasihan Polly!" "Goblok!" kata Jack sambil menggaruk-garuk jambul kakaktua itu. "Mudah-mudahan saja kau tidak mencoba-coba menirukan bunyi pesawat terbang nanti. Jeritanmu yang menirukan bunyi kereta api saja sudah bising bukan main!" Sehabis makan siang, Bill pergi lagi. Sedang anak-anak naik ke tingkat atas. Mereka hendak segera berbenah. Dinah memasukkan coklat sebungkus besar ke dalam kopernya. Siapa tahu, jangan-jangan di tempat kediaman Bill tidak ada toko! Jack memasukkan biskuit sebungkus ke dalam kopernya. la sering terbangun malam-malam. Pada saat itu ia suka makan biskuit. "Jangan lupa membawa film banyak-banyak, Jack — jika kau nanti bermaksud hendak memotret burung-burung di sana," kata Philip. "Aku berani bertaruh, di daerah tempat Bill tinggal tidak ada toko yang menjual alat-alat keperluan memotret Tempatnya kan sangat terpencil, di pedalaman." Tidak lama kemudian Bu Mannering naik, untuk melihat apa saja yang mereka kemaskan ke dalam koper masing-masing. Saat itu hawa kebetulan agak dingin. Hujan sering turun Jadi anak-anak pasti memerlukan banyak pakaian hangat nanti. Mereka sudah memasukkan baju hangat begitu pula mantel dan topi hujan. Bu Mannering menyuruh mereka memasukkan sepatu tinggi yang terbuat dari karet Menurut pendapatnya, tak ada gunanya memakai sepatu biasa, apabila harus berjalan melintasi padang yang basah nanti. "Aku sudah menyediakan beberapa lembar selimut," kata Bu Mannering. "Kalian bisa membawa seorang satu. Selimut-selimut itu sudah tua, tapi sangat tebal. Hangatnya seperti dua lembar selimut. Jika Bill nanti ternyata tidak cukup mempunyai selimut di rumahnya, tidak apa — selimut-selimut ini saja sudah cukup hangat. Tapi jangan sampai lupa membawa kembali, ya!" Jack sudah menyiapkan kamera beserta beberapa gulung film. Sesaat ia ragu, apakah sebaiknya ia membawa salah satu bukunya tentang burung. Tapi akhirnya buku itu tidak jadi dibawa, karena saat itu pun kopernya sudah sangat berat "Semua sudah siap sekarang, Bibi Allie," kata Lucy-Ann. Ia menduduki kopernya, supaya bisa ditutup "Aku ingin besok bisa cepat-cepat datang. Bayangkan, naik pesawat terbang malam hari! Tak pernah kusangka aku akan bisa mengalaminya. Mudah-mudahan penerbangan kita jauh besok. ke rumah Bill." "Memang jauh," kata Bu Mannering. 'Tapi nanti dulu — kurasa lebih baik kukemaskan sandwich dan kue-kue untuk bekal kalian selama penerbangan. Kalian pasti lapar, karena semalaman tidak tidur. Besok akan kusiapkan! Jack — kau sudah menemukan keranjang yang cocok untuk Kiki? Dan bagaimana dengan bekal makanan untuknya? Kita kan hari ini menerima kiriman biji bunga matahari sekotak. Masukkan saja itu ke kopermu." Jack berhasil menemukan keranjang yang baik untuk Kiki, dengan tutup di sebelah atasnya. Keranjang itu diletakkannya di atas meja. Dengan segera Kiki terbang mendekat. la ingin tahu, benda apa itu. Ia melompat masuk, lalu memandang ke luar. Tampangnya kocak sekali kelihatannya. “Burung pintar," kata Jack. "Rupanya kau tahu, itu keranjang untuk membawamu dalam perjalanan." "Hidup Ratu!" kata Kiki, lalu menggosok-gosokkan paruhnya yang bengkok ke pinggiran keranjang. "Jangan — nanti paruhmu patah!" kata Jack. "Jangan, Kiki!" Kiki keluar lagi dari keranjang, lalu terbang ke bahu Jack. Di situ ia mengusap-usapkan paruhnya ke rambut tuannya. "Tingtong bal,'" gumam burung konyol itu. "Polly sedang sebal. Tingtong bal." "Polly dalam keranjang, maksudmu," kata Lucy-Ann. "Kiki, kau akan ikut naik pesawat terbang! Hebat tidak?" Hari itu berlalu dengan lamban. Terlalu lamban, menurut perasaan keempat anak itu. Tapi besoknya lebih parah lagi. Ketika saat minum teh akhirnya tiba juga, anak-anak sudah sangat resah. Menurut anggapan mereka, malam takkan mungkin datang lagi. Tapi saat makan malam, perasaan mereka sudah gembira kembali. Mobil yang akan mengantarkan mereka ke pelabuhan udara, datangnya pukul sepuluh lewat seperempat. Saat itu mereka akan bisa menggabungkan diri dengan Bill, dan setelah itu mereka akan terbang dalam gelap. Rasanya jauh lebih mengasyikkan kalau terbang dalam kegelapan malam, dibandingkan dengan terbang siang hari. Jam dinding berdentang. Pukul sepuluh malam. Koper-koper serta selimut dibawa turun, dan diletakkan di ruang depan. Kamera Jack juga ada di situ, begitu pula sebuah bungkusan besar berisi sandwich dan kue-kue. Jack menggantungkan teropongnya ke leher. Keranjang Kiki juga ada di ruang depan. Tapi Kiki sendiri masih berkeliaran dengan bebas. la belum mau masuk ke keranjang. Rupanya menunggu saat hal itu benar-benar perlu! "Mobil datang!" seal Philip. Pendengarannya yang tajam rupanya menangkap bunyi mobil yang meluncur, lalu berhenti di depan pintu rumah. "Yuk, kita berangkat! Selamat tinggal, Bu! Baik-baik sajalah, selama kami pergi!" "'Selamat tinggal, Bibi Allie," kata Jack, Ia merangkul Bu Mannering "Nanti akan kami kirimkan kartu pos dari sana. Yuk, Kiki — kau harus masuk ke dalam keranjangmu sekarang." Ternyata itu sama sekali tidak mudah. Kakaktua itu gelisah, karena ketularan perasaan anak-anak Agak lama juga baru ia bisa dimasukkan ke dalam keranjang, yang kemudian ditutup. Di dalam, Kiki berteriak-teriak. "'Kasihan Polly, Polly yang malang — yang sebal!" "Diam, Kiki!" kata Lucy-Ann terkikik. "Kau mestinya senang bisa ikut dengan kami, walau untuk itu kau harus masuk ke dalam keranjang!" "Aku sebetulnya kurang enak melepaskan kalian pergi," kata Bu Mannering. "Aku tahu, kekhawatiranku tak beralasan. Tapi aku tetap merasa kurang enak — seakan-akan kalian saat ini akan mengalami petualangan lagi, yang menyeramkan." "Kami takkan berbuat yang aneh-aneh, .Bu," kata Philip dengan nada serius. "Sungguh — kami berjanji! Kami pasti tidak apa-apa di sana. Beberapa hari lagi, Ibu pasti akan melihat kami lagi. Lagi pula, Bill kan bisa dihubungi lewat telepon." Mobil yang menjemput berangkat, meninggalkan Bu Mannering yang berdiri di ambang pintu sambil melambai-lambai Anak-anak membalas lambaiannya. Perasaan mereka bergelora. Akhirnya mereka berangkat juga! "Sekarang ke pelabuhan udara!" kata Philip dengan gembira. "Kusangka saat ini takkan pernah tiba. Pukul berapa sekarang? Ah — kita tidak terlambat. Bagus! Mana surat pas kita, Jack?" "Ada dalam tas Dinah,'' kata Jack Dinah mengambilnya. Dengan surat pas itu mereka bisa masuk ke pelabuhan udara, langsung ke tempat Bill menunggu. Jauh juga jalan menuju pelabuhan udara. Malam itu gelap sekali. Awan menyelubungi langit Beberapa tetes air hujan memercik pada kaca mobil. "Nah — itu dia pelabuhan udara!" seru Jack, ketika akhirnya nampak lampu-lampu yang terang. "Lihatlah jalur lampu semuanya dinyalakan. Bagus, ya? Besar sekali nampaknya pesawat-pesawat itu, yang berjejer di kedua sisinya dalam gelap. He. Dinah — mana kartu-kartu pas kita? Kita harus menunjukkannya pada penjaga sekarang!" Kartu-kartu pas itu ditunjukkan pada orang yang menjaga di pintu gerbang pelabuhan udara. Mobil yang ditumpangi anak-anak diizinkan terus. "Kalian kuturunkan di sini saja, supaya bisa bicara dengan kawan kalian," kata pengemudi mobil. "Sementara itu aku terus ke pesawatnya, lalu barang-barang kalian kuturunkan di sana. Nah —sekarang, selamat jalan!" "Yuk, kita mencari Bill," kata Philip, sementara mobil yang mengantar mereka pergi ke arah pesawat yang berjejer-jejer. "Itu dia — lihatlah! He, Bill! Kami sudah tiba!" Bab 3 Kekeliruan Besar Bill nampak sedang sibuk berbicara dengan beberapa orang laki-laki. Ia berdiri dalam gelap. Yang nampak hanya bayangannya saja. Tinggi dan tegap. la melambaikan tangan ke arah anak-anak. "Halo!" serunya. "Sebentar, aku sedang sibuk! Kalian pergi saja dulu ke pesawat Tunggu aku di sana. Masukkan. koper kalian ke belakang, bersama koperku. Kira-kira sepuluh menit lagi aku datang." "Baik, Bill!" kata Jack. Keempat anak itu lantas menuju ke tempat koper-koper mereka diletakkan oleh orang yang menjemput mereka tadi. Koper-koper itu diletakkan di sebelah sebuah pesawat terbang yang diparkir tidak begitu jauh. Tempat itu gelap. Tapi anak-anak masih bisa melihat di mana koper-koper mereka berada. Mereka mengambil koper masing-masing, lalu menaiki tangga dan masuk ke dalam kabin pesawat. Di dalam gelap-gulita. Anak-anak tidak tahu bagaimana caranya menyalakan lampu di situ. Sambil meraba-raba mereka menuju ke bagian belakang pesawat, lalu menaruh barang-barang di situ. Jack meletakkan keranjang yang berisi Kiki dengan hati-hati ke lantai. Sepanjang perjalanan tadi Kiki tidak henti-hentinya mengomel. "Hampi dampi bampi," kata burung itu. Di bagian tengah pesawat ada sebuah peti besar. Anak-anak bertanya-tanya, apa kemungkinannya isi peti itu. Atau mungkin kosong? Yang jelas, peti itu pasti hendak dibawa oleh Bill. "Kenapa letaknya begitu, ya? Menghalang-halangi saja," kata Jack. "Mana kita bisa duduk dengan benar, selama barang itu ada di sini? Yuk, kita duduk saja di belakang, di atas selimut kita. Di situ cukup nyaman. Jika Bill nanti datang, mungkin ia mau menggeser peti ini sedikit, lalu mengatakan di mana kita harus duduk." Anak-anak duduk di atas selimut, lalu menunggu dengan sabar. Mesin pesawat sudah dihidupkan. Bunyinya menderu-deru, sehingga anak-anak tidak bisa mendengar apa-apa lagi kecuali bunyi mesin. Tapi Jack sekali merasa seperti mendengar suara orang berseru. Ia pergi ke pintu, lalu memandang ke luar. Tapi ke mana pun ia memandang, hanya kegelapan saja yang nampak. Mana Bill? Kenapa ia lama sekali? Sambil menguap, Jack kembali ke tempatnya. Lucy-Ann sudah setengah tidur. ""Bisa tertidur aku nanti, jika Bill masih lama lagi," kata Philip. Tapi kemudian terjadi berbagai hal, yang datang beruntun-runtun. Anak-anak tergugah dengan perasaan kaget, ketika tiba-tiba terdengar serentetan bunyi tembakan. Bunyinya mengatasi deru mesin pesawat. Setelah itu menyusul bunyi tembakan lagi. Anak-anak mendengar bunyi orang bergegas-gegas menaiki tangga dan masuk ke dalam pesawat Orang itu cepat-cepat duduk di kursi penerbang. Ia disusul seseorang lagi yang masuk hanya sosok tubuh saja di tempat yang gelap itu. Anak-anak duduk seperti terpaku di tempat masing-masing. Apakah sebetulnya yang sedang terjadi? Apakah satu dari kedua laki-laki yang baru masuk itu Bill? Lalu siapa yang satu lagi? Dan kenapa mereka begitu terburu-buru? Laki-laki yang paling dulu masuk mengutak-utik berbagai kenop. Anak-anak kaget sekali, ketika tahu-tahu pesawat mulai bergerak maju. Mereka berangkat! Tapi apa sebabnya Bill tidak mengajak mereka bicara? Kenapa ia tidak paling sedikit menoleh ke belakang, untuk memastikan bahwa anak-anak sudah ada dalam pesawat? "Jangan bicara," kata Jack pada anak-anak yang lain. "Kalau Bill tidak mau bicara pada kita, pasti ada alasannya. Mungkin ia tidak menghendaki orang yang satu lagi tahu bahwa kita ada di sini. Jadi jangan ribut!" Pesawat mengudara. Bunyi baling-balingnya menderu. Pesawat itu dengan cepat meluncur, menyongsong arah angin. Kedua laki-laki yang berada di depan saling berbicara dengan suara lantang, untuk mengalahkan deru mesin. Tapi anak-anak tidak dapat menangkap isi pembicaraan mereka. Bunyi mesin terlalu berisik! Mereka duduk diam-diam di belakang, terlindung di balik peti besar yang masih tetap berada di tengah pesawat. Bill tidak mengatakan apa-apa pada mereka. Ia sama sekali tidak berseru memanggil-manggil, untuk meyakinkan bahwa mereka ada dalam pesawat. la juga tidak meminta kawannya agar menjenguk sebentar ke belakang. Anak-anak sama sekali tidak diacuhkan olehnya. Aneh! Lucy-Ann mulai merasa tidak enak. Satu dari kedua laki-laki itu menggapai-gapai, lalu menjentikkan sebuah tombol. Seketika itu juga sebuah lampu menyala di depan, di tempat kedua laki-laki itu duduk. Sedang ruangan dalam pesawat yang selebihnya, tetap diselubungi kegelapan. Philip merayap ke depan, lalu mengintip dari balik peti besar. Maksudnya hendak menarik perhatian Bill secara diam-diam. Tapi dengan segera ia sudah kembali lagi, lalu duduk. Ia diam saja, tidak mengatakan apa-apa. "Ada apa?"' bisik Jack, ia merasa bahwa Philip gelisah. "Coba kau mengintip ke depan dari balik peti," kata Philip. "Perhatikan kedua orang itu baik-baik." Jack maju dengan hati-hati, lalu mengintip sebentar. Ketika kembali, tampangnya memancarkan kebingungan. Dan rasa takut! "Bill tidak ada," katanya. "Wah — ini benar-benar aneh!" "Apa maksudmu?" tanya Lucy-Ann ketakutan. “Satu dari mereka pasti Bill. Ini kan pesawatnya!" "Siapa bilang?" kata Dinah dengan tiba-tiba. “Coba kau perhatikan bagian kursi yang diterangi lampu itu, Lucy-Ann! Kan merah warnanya. Sedang kursi dalam pesawat Bill berwarna hijau. Aku ingat betul." "Ya, betul," kata Jack, la juga teringat pada kenyataan itu. "Aduh — kita keliru naik pesawat." Anak-anak terhenyak. Tidak seorang pun yang tahu, apa yang harus dikatakan kini. Mereka naik ke pesawat yang keliru — bukan ke pesawat Bill! Kedua aki laki yang di depan pasti akan sangat marah, apabila tahu bahwa di belakang ada penumpang gelap. Baik Jack maupun Philip tidak suka melihat kedua orang itu. Keduanya hanya nampak belakang kepalanya saja, serta sisi wajah seorang dari mereka ketika ia berpaling untuk meneriakkan sesuatu pada temannya. Tapi dari penglihatan yang sebegitu pun, Jack dan Philip sudah merasa tidak enak. "Tengkuk mereka kekar sekali," kata Jack dalam .hati. "Aduh ini benar-benar gawat! Lalu bunyi tembakan-tembakan tadi — adakah hubungannya dengan kedua orang itu? Begitu bergegas mereka masuk ke dalam pesawat, yang langsung diberangkatkan! Wah — kurasa kita sudah terjerumus lagi tanpa sengaja ke dalam petualangan yang baru." Philip berbicara dengan berhati-hati. Berbisik tidak ada gunanya, karena tidak mungkin bisa terdengar Jadi ia terpaksa berbicara dengan suara keras, sambil berdoa semoga suaranya tidak terdengar kedua laki-laki yang di depan. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" katanya. "Sudah jelas. Kita tadi salah masuk! Ini kesalahan orang yang menjemput kita. Goblok, barang-barang kita diletakkannya di samping pesawat orang lain — bukan pesawat Bill. Tapi di luar tadi memang gelap sekali, sehingga kita sendiri pun tidak bisa melihat pesawat mana yang benar." Lucy-Ann merapatkan diri pada Jack, ia merasa ngeri. Tidak enak rasanya berada tinggi di angkasa. pada waktu malam yang gelap, dan dalam pesawat bersama orang-orang yang belum pernah mereka lihat sebelumnya! "Yah — apa yang bisa kita lakukan?" kata Jack. "Kita terjebak dalam kesulitan. Sungguh — kurasa kedua laki-laki yang di depan itu pasti akan sangat marah, apabila mereka sampai melihat kita ada di sini!" "Jangan-jangan kita nanti mereka lempar ke luar pesawat," kata Lucy-Ann ketakutan. "Padahal kita tidak punya payung terjun. Jack, jangan sampai mereka tahu kita ada di sini!" "Lambat-laun mereka pasti tahu juga," kata Dinah. "Kita ini benar-benar tolol — masuk ke dalam pesawat yang salah! Tak terpikir olehku tadi kemungkinan ini." Anak-anak membisu lagi. Semua sibuk berpikir. "Bagaimana jika kita tetap berada di belakang sini, sambil duduk di atas selimut," kata Philip. "Mudah-mudahan saja tidak ketahuan. Lalu nanti jika pesawat sudah mendarat di salah satu tempat, mungkin kita akan bisa menyelinap turun dan mencari pertolongan." "Ya — kurasa itulah yang sebaiknya kita lakukan," kata Jack. "Di sini kita tersembunyi dengan baik — asal kedua orang itu tidak ada yang ke belakang, untuk mengambil sesuatu misalnya. Mungkin sesampai di tempat tujuan nanti mereka langsung turun tanpa melihat kita sama sekali. Kalau itu benar-benar terjadi, kita bisa menyelinap ke luar, lalu mencari bantuan agar bisa pulang." "Aku lebih senang jika saat ini kita berada di samping Bill," kata Lucy-Ann. Kasihan — anak itu sudah hampir menangis. "Apa yang dipikirnya sekarang, di mana kita berada?" "Entahlah," kata Jack dengan suram. "Pasti ia kini sibuk mencari-cari kita di pelabuhan udara. Kurasa pasti Bill yang kudengar suaranya berteriak-teriak tadi — ketika aku pergi ke pintu untuk melihat sebentar. Mestinya ia tadi datang ke pesawatnya, lalu berseru memanggil-manggil ketika dilihatnya kita tidak ada di situ. Sialan! Coba aku tadi tahu." "Yah — sekarang sudah terlambat," kata Philip. “Mudah-mudahan saja Ibu tidak cemas Wah —pasti ia baranggapan, kita sudah terjerumus lagi ke dalam petualangan. Padahal kita sudah berjanji, tidak akan melakukannya." Bunyi deru pesawat memecah kesunyian malam yang gelap. Anak-anak sama sekali tidak bisa menebak, apakah saat itu mereka sedang menuju ke arah utara, selatan, timur atau barat Tapi kemudian Jack teringat pada kompas yang ada dalam kantongnya. Diambilnya alat penunjuk arah itu, lalu diamatinya sebentar. "Kita terbang ke arah timur," katanya kemudian. "Tapi ke mana ya, tujuannya? Aku saat ini sama sekali tidak merasa berada dalam pesawat yang sedang terbang. Soalnya, di luar gelap. Jadi aku tidak bisa melihat pemandangan yang membentang di bawah kita." Anak-anak yang lain juga berperasaan begitu. Lucy-Ann merebahkan diri ke atas selimut. Ia menguap. "Aku mau tidur sekarang," katanya dengan suara mengantuk. "Kalau aku bangun terus, aku malah akan bertambah takut dan gelisah." "Ya, idemu itu bagus," kata Philip. Ia pun ikut merebahkan diri di atas selimut "Kita pasti terbangun, jika pesawat ini nanti mendarat di salah satu tempat." "Ada yang ingin makan sedikit. Sepotong sandwich — atau barangkali kue?" kata Dinah, ketika ia teringat pada bungkusan bekal yang dibawakan oleh Bu Mannering. Tapi anak-anak tidak ada yang ingin makan saat itu. Selera mereka lenyap sama sekali, sebagai akibat rasa kaget menyadari bahwa mereka salah naik pesawat Tidak lama kemudian anak-anak sudah tidur, kecuali Jack, Ia sibuk berpikir. Mungkinkah Bill tadi terlibat dalam peristiwa tembak-menembak yang terjadi di pelabuhan udara? Apakah kedua laki-laki yang duduk di depan itu ada hubungannya dengan tugas yang sedang ditangani oleh Bill — tugas rahasianya? Ada kemungkinan bahwa Jack serta anak-anak yang lain akan menemukan sesuatu keterangan, yang mungkin akan membantu Bill dalam menunaikan tugas. Pokoknya, yang penting sekarang kedua laki-laki itu tidak boleh sampai tahu di belakang ada sejumlah penumpang gelap! Detik berikutnya Jack terlonjak karena kaget. Tahu-tahu terdengar suara Kiki berteriak. Aduh — ia sama sekali lupa bahwa Kiki ikut, dan saat itu terkurung dalam keranjang. Jack menepuk-nepuk keranjang itu, sambil berbicara sepelan mungkin. Mudah-mudahan saja Kiki bisa mendengar suaranya. "Diam, Kiki! Jangan ribut. Kita tidak boleh ribut sekarang. Kaudengar kataku, Kiki? Kau harus diam, diam, diam." "Diam!" balas Kiki dari dalam keranjang. "Sssst!" Mau tidak mau, Jack tersenyum. “Ya," katanya. Didekatkannya mulut ke keranjang. "Ssst!" Setelah itu Kiki benar-benar diam. Burung kakaktua itu bandel dan senang berisik. Tapi ia menurut. jika Jack menyuruhnya diam. Karena itu Ia berusaha tidur. Kepalanya diselipkan pada sayapnya. Tapi bunyi mesin pesawat yang tidak henti-hentinya mendengung, mengganggu ketenangannya. Ia belum pernah mendengar bunyi seperti itu. Ia kepingin sekali menirukannya. Untung saja tidak pada saat itu ia melakukannya. Setelah agak lama terbang, kedua laki-laki yang di depan bertukar tempat Orang yang semula menerbangkan pesawat menguap, sambil menggeliat. Jantung Jack nyaris berhenti berdenyut karena kaget, ketika orang itu tiba-tiba berdiri Aduh — jangan-jangan ia akan pergi ke belakang. Jack bingung. Ia tidak tahu, apakah anak-anak perlu dibangunkan, atau tidak. Tapi orang itu tidak pergi ke belakang. Ia hanya berdiri saja selama beberapa menit. Rupanya hendak melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku, karena terlalu lama duduk. Kemudian ia menyalakan pipa. Asap biru nampak mengepul, bergerak ke arah belakang. Jack merasa lega, ketika melihat orang itu duduk kembali. Tak lama kemudian, Jack mulai merasa mengantuk. Ia berbaring merapatkan diri pada yang lain-lainnya, karena dalam pesawat sangat dingin. Untung Jack memakai jas tebal. Dengan segera ia sudah pulas. Hanya Kiki yang masih bangun. Sekali-sekali burung kakaktua itu membunyikan paruhnya, karena iseng. Ia bingung — tidak tahu makna perjalanan malam-malam itu. Pesawat terbang terus dalam gelap, melintas di atas kota dan desa, ladang dan padang, hutan dan sungai. Pesawat juga melintas di atas laut, di mana nampak sinar lampu kapal remang-remang. Cahaya terang di kota-kota memancar ke atas. Kadang-kadang nampak cahaya lampu-lampu penuntun pesawat di pelabuhan udara yang dilewati. Tapi pesawat itu tidak turun, melainkan terus menuju ke timur, menyongsong fajar. Menjelang saat fajar menyingsing, pesawat itu melambat, lalu terbang berputar-putar. Makin lama makin rendah. Sekali pesawat itu miring sekali ketika berputar, sehingga anak-anak nyaris saja berguling-guling di belakang. Karena gerakan itu mereka terbangun. Mereka duduk sambil celingukan. Sesaat mereka bingung, tidak tahu di mana saat itu berada. Tapi kemudian mereka teringat kembali, lalu berpandang-pandangan dengan mata terbuka lebar. "Kita akan mendarat. Akan tiba di mana kita nanti? Kita harus berusaha cepat-cepat lari, begitu ada kesempatan sedikit saja," kata mereka saling berbisik. “Nah — kita mendarat!" Bab 4 Dimana Sekarang? Pesawat mencecahkan rodanya ke tanah dengan hentakan pelan, yang menyebabkan napas anak-anak tersentak Pesawat itu masih meluncur sebentar di landasan, lalu berhenti. Mereka sudah sampai. Tapi sampai di mana? Fajar sudah menyingsing. Sinar matahari masuk lewat jendela pesawat. Tapi luar belum terang betul. Mesin pesawat dimatikan. Seketika itu di dalam pesawat menjadi sunyi senyap. Anak-anak merasa lega, karena tidak ada lagi bunyi dengung yang memekakkan telinga. Sesaat kemudian terdengar kedua laki-laki itu bercakap-cakap. "Penerbangan kita tadi lancar — begitu pula pendaratannya. Kau pandai mendaratkan pesawat, Juan," kata laki-laki yang satu. "Tapi tidak banyak waktu lagi yang tersisa," kata orang yang dipanggil dengan nama Juan. "Yuk, kita keluar, untuk menghilangkan rasa pegal di kaki. Kita ke pondok dan makan di situ." Semangat anak-anak bangkit, ketika kedua laki-laki itu keluar dari pesawat lalu pergi. Mereka sama sekali tidak pergi ke bagian belakang pesawat, di balik peti, sehingga tidak melihat anak-anak yang ada di situ. Kini ada peluang bagi anak-anak itu untuk lari meminta bantuan. Atau paling sedikit mengirim kabar pada Bill dan juga pada Bu Mannering, supaya mereka jangan gelisah. "Yuk," kata Jack, sambil berdiri dengan hati-hati. "Kita mengintip dulu dari jendela, untuk melihat di mana kita kini berada. Mudah-mudahan saja di salah satu pelabuhan udara. Mungkin kita akan bisa menjumpai salah seorang tenaga teknik di sini, lalu minta agar dibawa pada salah seorang pimpinan." Anak-anak berkerumun di balik jendela terdekat, lalu memandang ke luar. Mereka kaget setengah mati, karena ternyata pesawat yang mereka tumpangi sama sekali tidak mendarat di suatu pelabuhan udara. Mereka berada dalam sebuah lembah, di atas padang rumput yang lebar dan datar. Di sekeliling lembah menjulang gunung-gunung yang tinggi. "Astaga!" desah Jack. "Di mana kita ini? Pasti di suatu tempat yang jauh sekali!" "Kita berada dalam suatu lembah," kata Philip. "Lembah yang dikelilingi pegunungan. Sangat indah — tapi juga sangat terpencil! Bagaimana cara kita mencari bantuan di sini. Satu hal sudah pasti — tidak ada pesawat lain yang bisa kita tumpangi untuk terbang kembali." Di sekitar situ sama sekali tidak nampak rumah, atau bangunan apa pun juga. Pemandangan yang nampak dari jendela seberang sama saja. Di kedua sisi lembah menjulang gunung-gunung yang tinggi. Lembah hijau itu rupanya terletak di kaki daerah pegunungan. Aneh — untuk apa kedua orang tadi datang ke situ? "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Dinah. "Kita keluar — atau tetap di dalam — atau apa?" "Aku tidak tahu bagaimana pendapatmu, Philip," kata Jack, "tapi perasaanku tidak enak. Tampang kedua laki-laki tadi tidak menyenangkan bagiku. Aku tidak suka pada kenyataan bahwa mereka terbang di malam buta, setelah terjadi tembak-menembak di pelabuhan udara malam tadi. Aku juga tidak suka berada di lembah sunyi ini. Tapi walau begitu, kurasa tidak ada salahnya jika kita keluar sekarang, dan menyelidiki keadaan di sini. Mestinya di sekitar sini ada petani — atau penggembala — pokoknya, orang seperti itu." "Di negeri manakah kita?" tanya Lucy-Ann. "Bisakah kita berbicara dalam bahasa mereka?" "Kurasa tidak," kata Philip. "Tapi kita harus berusaha agar bisa dimengerti." "Aku ingin tahu, untuk apa orang-orang tadi datang ke sini," kata Dinah sambil berpikir-pikir. "Tempat ini kelihatannya sangat terpencil. Mereka pasti bermaksud jahat. Kurasa sebaiknya kita ke luar saja sekarang mumpung masih bisa, lalu bersembunyi. Kemudian kita harus berusaha mencari seseorang yang bisa menolong. Kalau kita sudah kembali nanti, kita laporkan segala-galanya pada Bill." "Itu memang paling baik," kata Jack dengan segera. "Yang jelas, aku akan senang apabila sudah berada di alam terbuka lagi. Hawa di dalam sini sangat pengap." Anak-anak mengintip dulu ke segala arah, untuk melihat di mana kedua laki-laki tadi berada. Tapi mereka sama sekali tidak kelihatan. "Kita keluar saja sekarang," desak Jack. "Tapi bagaimana dengan barang-barang kita — begitu pula Kiki?" "Jangan kita tinggalkan di sini," kata Philip, "karena nanti bisa ketahuan bahwa ada penumpang gelap. Kita bawa saja semuanya!" Anak-anak keluar dari pesawat. Barang-barang diturunkan satu-satu. Kiki mengomel sebentar, karena diangkat-angkat seperti bagasi saja. Tapi mengomelnya dengan suara pelan. Dengan segera anak-anak sudah berdiri di sisi pesawat Mereka berpikir-pikir sejenak, ke arah mana sebaiknya mereka pergi. Tiba-tiba Jack menyenggol Philip, membuat anak itu terkejut. "Lihatlah — sana, ke sebelah sana!" kata Jack. Anak-anak memandang- ke arah yang ditunjuk. Mereka melihat asap tipis mengepul ke udara. "Kurasa kedua orang tadi menyalakan api di sana," kata Jack dengan suara lirih. "Jadi kita jangan ke sana! Kita telusuri saja jalan tikus ini — kalau memang merupakan jalan!" Iring-iringan itu mulai bergerak. Mengitari sejumlah batu besar, lalu tiba di suatu tempat yang ada sungainya. Sungai itu tidak lebar. Airnya mengalir ke bawah bukit Mata airnya tidak begitu jauh letaknya dari tempat anak-anak berhenti. "Air ini bisa kita minum," kata Philip. "Aku haus, tapi belum merasa lapar. Aneh!" "Yah — mungkin karena saat ini kita agak capek, ditambah lagi perasaan gelisah dan bingung," kata Jack. "Yuk, kita raup saja air sungai ini, lalu meminumnya. Aku juga haus." Air sungai itu dingin, dan sangat jernih. Nikmat sekali rasanya meminum air itu. Perasaan anak-anak menjadi agak lebih enak sesudah itu. Dinah mencelupkan sapu tangannya ke air, untuk membasuh mukanya. Ia merasa lebih segar karenanya. Lucy-Ann menirukan perbuatannya. "Kita sekarang harus mencari tempat persembunyian yang baik, untuk kita sendiri dan untuk koper-koper ini," kata Jack. "Aku khawatir, jika kedua orang itu nanti berkeliaran di sini, jangan-jangan kita tepergok oleh mereka. Tapi ke mana kita bisa pergi dari sini?" "Kita berjalan lurus saja, mendaki bukit sebelah sana," kata Dinah mengusulkan. "Jika sudah cukup tinggi nanti, kita akan bisa melihat pesawat yang ada dalam lembah, sehingga kita memiliki pegangan untuk menentukan arah. Tapi kita harus berusaha agar tetap berada di bawah perlindungan pohon-pohon itu." "Ya, itu gagasan yang baik," kata Philip. Mereka lantas bergerak dengan hati-hati, menuju pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Di situ mereka merasa lebih aman, karena takkan mungkin bisa dilihat kedua laki-laki tadi. Tapi di pihak lain, mereka pun tidak bisa melihat pesawat lagi dari tempat itu. "Kita bisa melihatnya, dengan jalan memanjat pohon," kata Jack. "He — lihatlah — rumahkah itu?" Di suatu tempat terbuka nampak sebuah bangunan, yang kelihatannya seperti rumah. Tapi ketika anak-anak sudah dekat, ternyata rumah itu sudah hampir habis karena pernah terbakar. Yang tinggal hanya kerangkanya saja, yang hangus. Di situ tidak ada siapa-siapa. "Sayang," kata Philip. "Coba di sini masih ada orang, kita kan bisa minta pertolongan. Aku ingin tahu, apa yang menyebabkan rumah ini terbakar." Anak-anak berjalan lagi lebih tinggi mendaki bukit, menembus hutan kecil yang terdiri dari pepohonan berbatang putih. Kemudian mereka melihat sebuah rumah lagi. Mereka semakin tercengang, karena rumah itu pun hangus dimakan api. Tidak tampak tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. "Dua rumah yang habis terbakar — dan tidak seorang pun kelihatan di mana-mana," kata Jack. "Aneh! Apakah yang terjadi di lembah ini?" Lebih tinggi lagi ke atas bukit, kembali mereka melihat sebuah rumah. Terbakar habis jugakah rumah itu? Dengan susah payah mereka berjalan menghampiri. Sesampai di situ, mereka hanya bisa memandang dengan perasaan getir. "Lagi-lagi terbakar," kata Dinah. "Payah! Lalu apa yang terjadi dengan penghuninya? Rupanya di tempat ini pernah ada perang. Aku ingin tahu, di mana kita sebenarnya." "Lihatlah — bangunan yang nampaknya seperti kandang sapi itu, kelihatannya tidak begitu parah dimakan api," kata Jack. "Yuk, kita ke sana — untuk melihat apakah atapnya masih utuh atau tidak. Jika masih utuh, kita bisa menaruh barang-barang kita di situ." Keempat anak itu berjalan ke kandang sapi yang sudah agak rusak. Setelah dekat nampak bahwa api hanya menghabiskan setengah saja, sedang setengahnya lagi tidak apa-apa. Atap bangunan itu sudah hampir roboh. Tapi di bagian belakang ada tempat yang masih lumayan utuhnya, dengan kotak-kotak di mana dulu sapi-sapi pernah ditaruh. "Ini bisa kita pakai," kata Jack, Ia berjalan menuju kotak paling ujung. "Atap di sini masih baik, jadi apabila hujan turun tempat ini takkan basah. Langit sudah mendung sekali. Kita bisa menaruh barang-barang kita di sini." "Lantainya dekil," kata Lucy-Ann. Ia mengernyitkan hidung, karena jijik. "Yah, mungkin kita bisa menemukan sapu atau barang sejenis itu untuk membersihkannya — lalu setelah itu kita hamparkan rumput atau pakis sebagai alas," kata Dinah. "Lalu, jika kita hamparkan lagi selimut kita di atasnya, kita bahkan bisa tidur di sini. Hari ini mungkin kita takkan berhasil menemukan orang yang bisa menolong. Kita bisa tidur malam ini di sini." Koper-koper diletakkan di sudut, lalu ditutupi dengan selimut. Kiki yang masih berada dalam keranjang, diletakkan paling atas. Burung kakaktua Itu menguak sebagai protes. "Berbahaya atau tidak ya — jika ia kukeluarkan?" kata Jack. "Jika kusuruh, pasti ia akan tetap bertengger terus di atas bahuku. Itu aku tahu pasti. Tentunya tidak enak, terkurung terus dalam keranjang." "Ya — keluarkanlah," kata Philip. "Jika nanti ternyata terbang dan kedua laki-laki itu melihatnya, mereka takkan bisa mengetahui makhluk apakah dia, atau siapa pemiliknya. Mereka pasti kaget, jika Kiki mulai mengoceh." Kiki gembira sekali, ketika dikeluarkan dari keranjang. Ia langsung terbang ke bahu Jack, lalu menggigit-gigit telinga tuannya itu dengan sayang. "Mana sapu tanganmu?" kata burung itu. "Sudan berapa kali kukatakan...." "Ya deh, Kiki, baiklah," kata Jack menenangkan. "Jangan keras-keras, Manis!" "Sssst!" kata Kiki keras-keras. Setelah itu ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia bertengger dengan tenang, sambil menggeser-geser paruh. "Nah — bagaimana rencana kita sekarang?" kata Philip, Ia duduk di atas kopernya. "Apakah kita lanjutkan lagi usaha pencarian kita, mencari seseorang yang bisa menolong? Atau kita awasi kedua orang tadi, dan berusaha menyelidiki apa sebabnya mereka datang kemari? Atau kita bersembunyi saja di sini?" "Kurasa sebaiknya kita lanjutkan usaha pencarian," kata Jack. "Yang paling penting saat ini, mencari bantuan. Kita harus berusaha sedapat mungkin untuk pulang dengan segera. Bill dan Bibi Allie pasti sudah sangat khawatir sekarang, memikirkan nasib kita." "Lembah ini indah sekali," kata Dinah, la memandang ke luar, dari kandang sapi yang sudah bobrok itu. "Aku tidak mengerti, kenapa di sini tidak ada rumah-rumah petani, dengan ternaknya yang berkeliaran. Tak seorang pun ada di sini. Aku bahkan tidak melihat asap mengepul sedikit pun — kecuali di sana itu, di mana kedua laki-laki itu berada. Ini benar-benar misterius. Kenapa segala bangunan yang kita lihat selama ini habis terbakar, dan apa sebabnya tak ada seorang pun yang kita jumpai?" "Tapi kita kan baru melihat sebagian saja dari lembah, begitu pula lereng ini," kata Philip. "Siapa tahu, mungkin nanti dengan tiba-tiba kita menemukan sebuah desa. Tapi gunung-gunung di sini tinggi sekali!" "Ya — lembah ini dikelilingi gunung yang tinggi-tinggi," kata Lucy-Ann. "Aku tahu, di mana kan keluar dari sini. Di sela-sela pegunungan kan selalu terdapat celah yang bisa dilewati?" "Memang —tapi aku tidak mau mencarinya, jika tidak tahu jalan," kata Jack. "Lihat gunung yang di sana itu? Puncaknya nampak putih. Itu pasti salju. Itu tanda bahwa gunung itu sangat tinggi." Lembah tempat anak-anak berada sangat indah. Gunung-gunung yang memagari nampak megah. Tapi walau begitu suasana di situ terasa lengang dan sunyi. Bahkan beberapa ekor burung yang sekali-sekali terbang melintas, terasa seolah-olah membisu dan waspada. "Ada sesuatu yang misterius di sini," kata Jack. "Kurasa — ah, aku bahkan yakin — ya, aku yakin, saat ini kita sudah kembali menghadapi petualangan yang baru." "Omong kosong!" tukas Philip. "Kita pasti akan menjumpai tempat pertanian di dekat-dekat sini. Di situ kita minta tolong untuk mengirimkan kabar, lalu pergi ke jalan raya dan naik mobil ke kota terdekat, kemudian dari situ pergi ke pelabuhan udara. Aku berani bertaruh, besok kita pasti akan sudah ada di rumah kembali" "Dan aku berani bertaruh, tidak!" kata Jack. Lucy-Ann nampak agak takut. "Lalu bagaimana dengan makanan?" kata anak itu. "Kita kan cuma punya bekal yang disiapkan oleh Bibi Allie — di samping biskuit dan coklat. Kalau kita tidak berhasil cepat-cepat pulang, bisa kelaparan kita nanti. Di sini tidak ada apa-apa, yang bisa dimakan!" Wah — gawat! Tak terpikir hal itu sebelumnya oleh anak-anak. Petualangan sih boleh saja, tapi petualangan tanpa bekal makanan? Nanti dulu! "Ah — kurasa lebih baik ini jangan kita jadikan petualangan," kata Jack kecut. Tapi bagaimanapun, mereka sudah menghadapinya. Dan itu baru permulaannya! Bab 5 Pengenalan Daerah Keempat anak itu pergi ke ambang pintu yang sudah ambruk, lalu memandang gunung-gunung yang menjulang tinggi sekeliling lembah. Lembah yang ada di tengah-tengah seakan-akan dipagari oleh gunung-gunung itu, sehingga menjadi semacam kurungan yang hijau. Anak-anak belum ada yang pernah melihat gunung-gunung yang setinggi itu. Dua atau tiga di antaranya berselimutkan awan tebal. Sekali-sekali awan yang mengurung lereng bergeser, dan pada saat-saat itu anak-anak dapat melihat puncak menjulang tinggi di atas kepala. "Tempat ini kelihatannya sangat terpencil letaknya," kata Jack. "Di sini pasti terdapat berbagai jenis burung yang jarang ditemukan di tempat lain—tapi selama ini aku baru melihat satu atau dua saja. Aneh — kedua orang itu tahu di mana mereka harus mendaratkan pesawat dalam lembah ini. Jalur mulus yang ditumbuhi rumput ini memang merupakan landasan yang sangat baik untuk pesawat terbang. Kelihatannya mereka sudah pernah datang kemari. Tapi aku ingin tahu — untuk apa mereka ke sini? Di sini kan tidak ada apa-apa yang bisa didatangi. Hotel tidak ada, dan bahkan tidak ada satu pun rumah yang tidak dimakan api, sepanjang yang bisa kita lihat sampai sekarang." "Ah — mungkin saja di sini ada rumah-rumah penduduk," kata Philip. "He — coba lihat kadal itu! Aku belum pernah melihat kadal yang seperti itu. Aduh, bagusnya!" Kadal itu lari di dekat kaki Philip. Dengan cepat anak itu membungkuk, lalu menangkap binatang kecil itu pada bagian tengkuk Apabila yang ditangkap ekornya, mungkin ekor itu putus dan kadal itu bisa lari — walau tanpa ekor. Tapi Philip tahu, bagaimana harusnya menangkap kadal! "Hii — letakkan kembali, Philip!" kata Dinah. "Binatang jelek!" "Siapa bilang jelek," kata Philip. "Lihat saja kaki-kakinya yang mungil, dengan cakarnya. Coba kauperhatikan, Dinah!" Sambil terpekik, Dinah mendorong Philip supaya menjauh. Sedang Jack dan Lucy-Ann memandang kadal kecil itu dengan penuh perhatian. "Kelihatannya seperti naga, tapi kecil sekali," kata Jack. "Coba kaubuka tanganmu, Philip! Aku ingin tahu, ia lari atau tidak.” "Tentu saja tidak!" kata Philip, yang kelihatannya selalu bisa menguasai setiap makhluk hidup yang dipegangnya. Ia membuka genggamannya dan membiarkan kadal itu terletak di atas telapak tangannya. Binatang itu sama sekali tidak mencoba melarikan diri. "Nah, apa kataku tadi? Ia ingin tetap bersamaku," kata Philip. "Aku sih boleh saja! Siapa namamu, binatang cilik? Lizzie? Ya, tentu saja — aku kan mestinya harus tahu sendiri!" Lucy-Ann tertawa geli. Untuk sesaat ia lupa pada kekhawatirannya. Bagus sekali nama Lizzie itu, untuk seekor kadal. Philip memang selalu ada-ada saja. Kadal, dalam bahasa Inggris disebut 'lizard' — dan oleh Philip kata itu diubah menjadi Lizzie. Sama saja seperti nama Mariam, yang kemudian menjadi Mary! "Sekarang akan kucarikan lalat untukmu, Lizzie," kata Philip. Ia pergi ke tempat yang disinari matahari, di mana nampak lalat-lalat beterbangan. Ditangkapnya seekor, dijepitnya dengan telunjuk dan jempol lalu disodorkannya di depan kepala Lizzie. Detik berikutnya lalat sudah lenyap, sedang kadal kecil itu mengejap-ngejapkan mata dengan nikmat. "Sekarang kau pasti akan memelihara kadal itu dalam kantongmu," kata Dinah dengan nada sebal. "Aku tak mau dekat-dekat denganmu lagi! Kalau bukan tikus yang merayap di kerah lehermu, pasti ada kodok dalam kantong, atau anak landak, atau beberapa ekor kumbang. Kau ini anak yang keterlaluan!" "Sudahlah, jangan bertengkar sekarang," kata Jack. "Masih ada soal-soal lain yang lebih penting dan pada kadal." Lizzie menyusup masuk ke dalam lengan baju Philip. Kiki memperhatikan kadal itu dengan kepala miring ke samping. Ia tidak senang pada binatang-binatang peliharaan Philip, ia sering merasa iri pada mereka. "Cul — si kadal muncul," kata Kiki dengan tiba-tiba. Entah disengaja atau tidak, tapi ucapan burung itu sering kali mengena. Anak-anak tertawa geli. Kini Kiki merasa senang. Ia membuai tubuhnya ke kiri dan ke kanan, sambil menggertak-gertakkan paruh. "Sssst!" katanya. "Wah, Kiki — untung kau ikut," kata Jack dengan gembira. "Nah — sekarang, apa rencana kita selanjutnya?" "Kita harus mengadakan penyelidikan sebentar, untuk melihat apakah ada orang tinggal dalam lembah ini," kata Philip. "Jika ternyata ada, kita selamat! Tapi jika tidak — payah. Kita akan terpaksa tetap di sini, sampai ada yang datang menyelamatkan." "Menyelamatkan? Siapa yang akan menyelamatkan, jika tidak ada yang tahu di mana kita berada?" tanya Dinah. "Jangan suka konyol, Philip!" "Lalu, apakah maksudmu kita harus tinggal terus dalam lembah ini — seumur hidup?" tukas Philip. "Ah, ini dia Lizzie — muncul lagi dari dalam lengan bajuku. Kau ternyata penjelajah ulung. Coba kau bisa mengatakan pada kami, jalan keluar dari lembah ini." Dinah cepat-cepat menjauhkan diri dari abangnya. Ia paling tidak suka pada binatang-binatang peliharaan Philip. Sayang sebetulnya karena binatang-binatang itu ramah dan lucu-lucu. "Kita harus berhati-hati, jangan sampai tersesat," kata Lucy-Ann cemas. "Lembah dan lereng-lereng pegunungan di sini begitu luas. Kita harus selalu bersama-sama." "Ya, itu betul," kata Jack sependapat "Dan kita juga harus berjaga-jaga agar selalu bisa kembali ke tempat ini, karena barang-barang kita taruh di sini. Di sini setidak-tidaknya ada tempat untuk berteduh, serta selimut sebagai alas untuk berbaring. Coba bekal makanan kita banyak! Biskuit dan coklat itu, sebentar saja pasti sudah habis kita makan." "Kompasmu kini akan besar gunanya, Jack," kata Philip, ketika teringat pada alat penunjuk arah itu. "Nah — bagaimana jika kita mengadakan penjelajahan sebentar saja sekarang, dengan kandang ini sebagai titik awal ke mana kita setiap kali kembali?" "Ya, setuju," kata Dinah. "Tapi barang-barang kita perlu ditutupi dulu dengan sesuatu — untuk berjaga-jaga jangan sampai terlihat oleh kedua orang itu, jika mereka kebetulan ke sini." "Tak mungkin," bantah Philip. "Mau apa mereka, mendatangi kandang sapi yang sudah rusak dimakan api? Barang-barang kita aman di sini." Mereka keluar dari kandang. Saat itu matahari baru saja muncul dari balik puncak pegunungan. Sinarnya menerangi lembah. Anak-anak melihat kepulan asap lurus ke atas, dari arah di mana kedua orang tadi mestinya menyalakan api. "Kita akan aman, selama tidak menuju ke arah situ," kata Jack. "Yuk — kita lewat di sini. Ini dulu kelihatannya merupakan jalan, dari sini menuju ke salah suatu tempat Sebaiknya sambil berjalan kita membuat tanda-tanda pada batang pohon, supaya nanti bisa menemukan jalan kembali." Lucy-Ann menyukai usul itu, yang mengingatkannya pada kebiasaan suku bangsa Indian di Amerika. Jack dan Philip mengeluarkan pisau mereka masing-masing, lalu membubuhkan tanda-tanda dengannya pada setiap pohon kelima atau keenam yang di lewati. Akhirnya mereka keluar dari hutan kecil itu. Kini mereka berada di lereng yang terbuka. Di situ tumbuh rumput, dan semak-semak berbunga. "Indah, ya?" kata Lucy-Ann. Dipandangnya hamparan bunga di sekelilingnya. "Belum pernah kulihat bunga-bunga yang warna-warnanya begitu cerah. Coba kaulihat bunga yang biru itu, Jack! Warnanya bahkan lebih biru daripada langit. Dan yang merah muda itu — alangkah banyaknya tumbuh di sini!" "Apakah kita nanti tidak kelihatan, di tempat yang begini terbuka?" kata Dinah dengan tiba-tiba. Dengan cepat Jack dan Philip memandang ke bawah, ke arah lembah. Mereka tadi mendaki terus, dan kini berada di sisi gunung. "Itu dia pesawat yang kita tumpangi!" kata Jack. He awas! Bukankah itu salah satu dari kedua orang tadi? Itu, yang berjalan menuju ke pesawat! Cepat — semuanya bertiarap!" Tanpa menunggu disuruh dua kali, anak-anak langsung merebahkan diri ke tanah. Jack membawa teropongnya. Alat bantu penglihatan itu didekatkannya ke matanya. Kini ia bisa melihat dengan jelas. Ternyata yang dilihatnya tadi laki-laki yang bernama Juan. Muka orang itu pucat. Rambutnya hitam berminyak, sedang di bawah hidungnya melintas kumis tipis. Tengkuknya kekar, demikian pula potongan badannya. Juan menghilang, masuk ke dalam pesawat. "Ia masuk ke dalam pesawat Jangan-jangan ia akan terbang, meninggalkan kawannya di sini," kata Jack menerka-nerka. "Tapi mesin pesawat! belum dinyalakan." Beberapa saat kemudian orang itu muncul lagi dari dalam pesawat ia membawa sesuatu, tapi Jack tidak bisa mengenali benda itu. Juan berjalan ke tempat dari mana nampak asap mengepul. Kemudian ia menghilang ke balik pepohonan yang terdapat di dekat situ. "Rupanya ia tadi hanya hendak mengambil sesuatu dari dalam pesawat," kata Jack. "Kini ia sudah pergi lagi, menghilang di balik pepohonan yang di sana itu. Kurasa sebaiknya kita menuju arah yang lain saja. Karena jika kita bisa melihatnya, ia pun pasti bisa melihat kita — apabila ia mendongak. Kalian lihat cekungan memanjang yang di sana? Nah — kita lewat di dalamnya. Dengan begitu kita terlindung dari pandangan. Anak-anak menuju ke cekungan memanjang yang kelihatannya dulu merupakan jalan menuju ke atas. Anak-anak menyusurinya terus, makin lama makin tinggi. Kemudian mereka sampai pada suatu pinggiran yang nampaknya berbahaya. Pinggiran itu mengitari sebagian dari sisi gunung. Jack maju paling dulu. Ternyata pinggiran itu cuma kelihatannya saja berbahaya. "Kurasa pinggiran ini cukup aman, karena ukurannya lebih lebar dari yang diduga kala dilihat sepintas," serunya dari atas. "Ayo — aku yakin, lewat sini kita akan sampai di suatu tempat!" Keempat anak itu menyusuri pinggiran yang menonjol, dan kemudian sampai pada suatu bagian dari lereng gunung, dari mana mereka bisa melayangkan pandangan dengan bebas. Ke bawah, ke arah lembah, tapi juga ke daerah sekitar. Tempat itu lengang. Tidak nampak sapi, kambing atau domba barang seekor pun. Agak lebih tinggi dari tempat itu nampak sebuah bangunan, yang dulu pasti merupakan rumah petani yang sangat besar. Rumah itu juga habis terbakar. Yang tinggal hanya balok-balok tiang yang hangus, serta beberapa bagian dari tembok rumah yang terbuat dari batu. Selebihnya sudah 'jatuh berserakan, membentuk puing-puing reruntuhan yang nampak menyedihkan. "Lagi-lagi puing bekas rumah!" kata Jack dengan heran. "Apa sebetulnya yang terjadi dalam lembah yang indah ini? Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa semua rumah terbakar habis? Sekarang aku mulai khawatir — jangan-jangan yang ada di sini hanya kita berempat, serta kedua laki-laki yang di bawah itu," “Kurasa kau benar," kata Philip. "Ke mana pun kita memandang, tidak nampak asap api mengepul. Aku juga sama sekali tidak melihat ternak di sini. Bahkan anjing pun tidak kelihatan Tapi satu hal tidak bisa kumengerti! Apa sebabnya tidak ada orang dari lembah-lembah bersebelahan yang datang ke sini, lalu membangun kembali rumah-rumah yang habis terbakar itu, serta menggembalakan ternak mereka di sini. Rumput di lembah ini sangat subur tumbuhnya." "Mungkin ada sesuatu yang angker dalam lembah ini," kata Lucy-Ann. Bulu tengkuknya merinding. "Hii — tidak enak perasaanku membayangkannya." Anak-anak duduk di tempat yang disinari cahaya matahari, yang sementara itu sudah semakin tinggi letaknya di langit. Tiba-tiba mereka merasa lapar. Tahu-tahu Dinah mengeluarkan biskuit dan coklat dari dalam kantong yang dibawanya. "Sudah kuduga tak lama lagi kita akan merasa lapar," katanya. "Karena itu aku berbekal biskuit dan coklat. Sisanya masih ada setengah, kutinggal bersama barang-barang kita yang lain." "Untung kau mendapat gagasan itu," kata Philip senang. "He, Lizzie! Kau mau remah-remah kue? Keluarlah!" Dengan segera Dinah menggeser, menjauhkan diri dari Philip. Lizzie muncul dari balik kerah baju Philip, lalu menuruni bagian depannya. Nampak jelas bahwa kadal itu senang karena bisa bersama anak itu. "Cul — si Lizzie muncul," kata Kiki si kakaktua, sambil mencopet sepotong coklat yang sedang dipegang Jack. "Kiki! Ayo kembalikan!" seru Jack. "Tidak tahu adat!" "Siapa sebal, siapa sebal,” kata Kiki. Ada-ada saja burung itu! Anak-anak merasa haus, sehabis makan coklat beserta biskuit. "Coba kita bisa menemukan sesuatu yang bisa diminum — seperti air jernih yang kita minum di mata air," kata Jack. "Dalam sumur," kata Kiki. "Baiklah — kau saja yang mencari sumur itu," kata Jack. "Bagaimana — aman tidak jika kita tidur sebentar di sini?" tanya Dinah, yang tiba-tiba merasa mengantuk sekali. "Enak rasanya, berbaring di bawah sinar matahari." "Yah, kalau sebentar saja — bisa," kata Philip. "Kurasa kita cukup aman di sini. Orang-orang itu takkan datang sampai ke sini." "He — aku merasa seperti mendengar air mengalir," kata Lucy-Ann. Ia berbaring menelentang. Cahaya matahari menyinari mukanya yang penuh bintik. "Coba dengarkan! Bunyinya agak jauh." Anak-anak mendengarkan dengan cermat Ternyata memang terdengar sesuatu, yang bukan bunyi angin bertiup. Bunyi apakah itu? Suaranya tidak seperti mata air yang menggelegak. "Kita periksa saja sebentar," kata Jack kemudian. "Anak-anak perempuan bisa tinggal di sini, kalau'kalian enggan ikut. Biar aku dan Philip saja yang pergi." "Wah, jangan," kata Lucy-Ann dengan segera. "Lebih baik aku ikut. Nanti kita tercerai berai." Akhirnya keempat anak itu pergi bersama-sama, menuju arah bunyi yang terdengar. Mereka semakin tinggi mendaki sisi gunung. Akhirnya sampai di bagian. yang berbatu-batu. Tanjakan di situ lebih terjal,. sehingga lebih sulit didaki. Tapi bunyi tadi semakin jelas terdengar. "Kalau kita sudah berhasil melampaui tikungan berikut, kita akan bisa melihat bunyi apa itu," kata Jack. "Yuk!" Mereka menanjak lagi. Kemudian lintasan yang mereka lalui menikung dengan tajam, mengitari tebing batu yang terjal. Lintasan itu kemudian melebar di seberang. Sesampai di situ, anak-anak tertegun. Mereka memandang dengan kagum. Bunyi yang mereka dengar itu ternyata berasal dari air terjun! Dari tempat yang sangat tinggi air terjun nyaris tegak lurus ke bawah, menghempas jauh di bawah mereka. Percikkan air yang halus sekali menghambur ke udara, membasahi anak-anak yang berdiri seperti terpaku di tempat. Padahal tempat mereka berdiri itu masih agak jauh dari air yang menyiram ke bawah. "Mengagumkan!" kata Philip. "Belum pernah kulihat air terjun sebesar ini seumur hidupku. Bunyinya bukan main — aku harus berbicara keras sekali untuk mengalahkannya. Hebat, ya?" Di bawah, air mengalir membentuk sungai yang berkelok-kelok mengelilingi kaki gunung. Anak-anak tidak bisa melihat, ke arah mana sungai itu mengalir. Air yang jatuh dari atas berkilauan memantulkan sinar matahari. Di sana-sini nampak, membayang pelangi. Menurut perasaan Lucy-Ann, belum pernah ia melihat pemandangan seindah itu. Ia menjilat tetesan air yang membasahi muka dan mengalir ke mulutnya. "Aku minum tetesan air," katanya. "He — lihatlah! Dalam batu itu ada air tergenang. Rupanya dibentuk oleh tetesan air yang tidak henti-hentinya memercik ke situ. Bisakah air itu kita minum?" Air tergenang itu sangat jernih. Jack mencicipnya sebentar. "Ya — kurasa air ini bisa kita minum," katanya kemudian. Selama beberapa waktu anak-anak masih berdiri di situ, sambil memperhatikan air terjun. Kiki kelihatan sangat tertarik. Entah apa sebabnya, air yang menghambur begitu deras ke bawah menimbulkan kegembiraan yang luar biasa dalam dirinya. Kakaktua itu terbang mendekat, sambil menjerit-jerit dengan keras. Bulunya basah kena percikkan air. "Pemandangan yang benar-benar hebat!" kata Dinah, sambil memperhatikan air terjun yang berderu-deru bunyinya. "Aku sanggup memandangnya sepanjang hari." "Besok saja kita ke sini lagi," kata Jack. "Tapi sekarang kurasa sudah waktunya kita kembali ke kandang sapi. Yuk! Di sini jelas tidak ada siapa-siapa yang bisa menolong kita." Bab 6 Jack Mengintai Lucy-Ann sudah khawatir saja, jangan-jangan mereka tidak bisa menemukan jalan kembali. Tapi Jack dan Philip cukup waspada. Dalam perjalanan menuju air terjun, keduanya memperhatikan setiap tanda yang bisa dijadikan pengenal jalan. Kesulitan hanya mungkin timbul ketika mereka sudah kembali berada dalam hutan. Tapi tanda-tanda yang dibuat oleh kedua anak itu pada batang-batang pohon, ternyata sangat berguna. Pesawat terbang ternyata masih ada dalam lembah di bawah mereka. Jadi kedua laki-laki itu mestinya masih ada di sekitar situ. Anak-anak berpendapat, sebaiknya mereka berhati-hati. Jack menyuruh Kiki supaya jangan ribut Larangan itu perlu, karena burung kakaktua itu rupanya masih terpengaruh rasa gembira melihat air terjun tadi. Dalam perjalanan pulang, Kiki tidak henti-hentinya menyanyi dan berteriak-teriak. "Itu tempat penginapan kita," kata Lucy-Ann dengan perasaan lega, ketika kandang sapi sudah nampak lagi di depan mereka. Kembali dari daerah pegunungan di mana segala-galanya nampak serba besar, kandang itu nampak begitu nyaman — seperti pulang ke rumah. "Mudah-mudahan barang-barang kita tidak ada yang mengganggu." Anak-anak masuk ke dalam kandang. Ah — ternyata barang-barang mereka masih tetap seperti ketika ditinggalkan. Bagus! Matahari sudah condong ke barat. Saat itu kurang lebih sudah pukul lima — saat makan sore. Anak-anak agak sangsi, apakah mereka akan memakan coklat dan biskuit yang masih tersisa. "Lebih baik tidak," kata Jack. "Nanti saja kita memakannya sebelum tidur, apabila perut sudah terasa lapar sekali. Tapi nanti dulu! Bagaimana dengan bekal yang disiapkan Bibi Allie untuk kita? Bukankah itu masih ada? Atau sudah kita makan?" "Tentu saja belum," kata Dinah. "Aku memang sengaja menyimpannya. Bekal kita begitu sedikit Jadi selama ini aku berpendapat, lebih baik yang itu jangan kita makan dulu." "Tapi roti sandwich pasti akan sudah basi, apabila disimpan terlalu lama," kata Philip, yang saat itu sudah lapar sekali. "Lalu apa gunanya? Lebih baik kita memakannya selama masih bisa dimakan." "Yah — kita bisa memakan sandwich itu sekarang, sedang kue, coklat dan biskuit kita simpan untuk besok," kata Dinah. "Tapi sebelumnya, kita bereskan dulu tempat ini, untuk tidur malam ini. Lantai di sini kotor sekali!" "Aku tidak mau tidur di sini," kata Lucy-Ann. "Aku tidak suka tempat ini. Tidak bisakah kita tidur di luar saja? Sebagai alas kan bisa dipakai mantel kita. Lalu empat lembar selimut untuk membungkus tubuh, supaya jangan kedinginan. Beberapa lembar pakaian kita keluarkan dari koper, dan kita jadikan bantal." "Tapi jangan-jangan nanti hujan," kata Dinah. "Mungkin aku bisa membuatkan semacam atap untuk menaungi," kata Jack. Ia memandang ke sekeliling kandang yang sudah bobrok itu. "Di situ ada beberapa tiang — dan itu ada selembar seng. Jika Philip mau membantu, kurasa aku bisa memasang seng itu ke atas tiang-tiang itu." Jack dan Philip mencobanya. Tapi ternyata seng tidak bisa dipasang dengan cukup kokoh. Dinah "dan Lucy-Ann takut seng itu akan jatuh dan menimpa mereka nanti, ketika mereka sudah tidur pulas. "Coba kita bisa menemukan gua sekarang," kata Lucy-Ann. "Mau dicari di mana gua sekarang?" tukas Jack, Ia agak jengkel, karena usahanya membuat atap dari seng ternyata sia-sia. "Lagi pula, kurasa malam ini takkan turun hujan. Lihatlah—langit kan cerah! Dan kalau nanti hujan turun juga, kita kan bisa cepat-cepat masuk ke dalam kotak yang terdapat di ujung kandang!" Pekerjaan membangun atap, membuat anak-anak semakin lapar. Dinah membuka bekal, lalu mengeluarkan sandwich yang kemudian dimakan dengan lahap. "Aku ingin tahu, apa yang dikerjakan kedua orang itu sekarang," kata Jack, setelah selesai makan. "Aku tidak melihat asap mengepul lagi. Bagaimana jika aku menyelinap turun ke dekat pesawat, lalu mengintip apa yang mereka kerjakan?" "Boleh saja," kata Philip menyetujui. "Tapi kau tahu pasti, kau bisa menemukan jalan ke sana dan kembali lagi? Hati-hati, jangan sampai tersesat!" "Kalau aku sampai tersesat, akan kusuruh Kiki menjeritkan bunyi kereta api yang melengking," kata Jack sambil nyengir. "Mendengar teriakannya, kalian pasti akan tahu di mana kami berada." "Kalau mungkin, coba kaulihat ke dalam pesawat," kata Dinah. "Barangkali saja. ada makanan di situ." Jack pergi bersama Kiki, yang bertengger di atas bahunya. Lucy-Ann kurang enak perasaannya, melihat abangnya pergi sendiri. Ia sebenarnya ingin menemani — tapi ia tahu, Jack pasti takkan mengizinkan. "Yuk, kita menyiapkan tempat tidur kita," kata Dinah, yang tidak senang duduk-duduk saja sambil menganggur. "Ayo, Lucy-Ann! Tolong ambil beberapa lembar pakaian dari koper, untuk kita jadikan bantal. Dan juga mantel hujan, untuk alas tidur." Ketiga anak itu sibuk bekerja. Tidak lama kemudian sudah terhampar pembaringan yang nyaman di atas rumput, di bawah sebatang pohon besar. Mula-mula dihamparkan empat lembar mantel, untuk menahan kelembaban dan" bawah. Setelah itu menyusul selembar selimut tebal, supaya pembaringan itu empuk. Empat lembar baju wol digulung, dijadikan bantal. Akhirnya dihamparkan pula tiga lembar selimut, yang akan dijadikan penutup tubuh nanti. Dinah memperhatikan hasil pekerjaan mereka dengan perasaan puas. "Coba kautarik selimut itu sedikit ke sini, Lucy-Ann. Ya begitu sudah betul! Philip, kau nanti tidur di sebelah luar. Aku tidak mau kadalmu nanti malam-malam merayap di atas tubuhku." "Lizzie takkan mengapa-apakan dirimu," kata Philip. Dikeluarkannya kadal dari lengan bajunya. "Betul kan, Lizzie? Coba kau usap-usap, Dinah! Ia tidak apa-apa." "Jangan, Philip!" Dinah terpekik, ketika Philip menyodorkan kadal itu ke dekatnya. "Kutempeleng kau nanti, jika kau berani menyentuhkan kadalmu itu padaku!" "Jambul! Sudahlah, jangan kauganggu terus adikmu," kata Lucy-Ann. "Sini — biar aku saja yang memegang Lizzie sebentar. Aku senang padanya." Tapi Lizzie tidak mau pergi ke Lucy-Ann. Kadal itu cepat-cepat masuk ke dalam lengan baju Philip. Bajunya bergerak-gerak, menunjukkan tempat di mana kadal itu sedang berada. Dinah mendongak, memandang langit. Nampaknya cerah. Matahari sudah hampir terbenam. Tidak lama lagi bintang-bintang pasti akan sudah berkelip-kelip di atas kepala. Dinah merasa capek dan kesal. Anak-anak yang lain sama saja perasaannya. Tidur yang terlalu singkat semalam, begitu pula kekagetan yang dialami setelah itu, kini mulai terasa pengaruhnya. Lucy-Ann merasa, tiap saat bisa saja terjadi pertengkaran sengit antara Dinah dengan Philip. Karena itu ia lantas mengajak Dinah ke mata air. Di situ mereka minum dan mencuci badan. Kemudian mereka duduk-duduk sebentar, menikmati keindahan pemandangan lembah dan gunung-gunung yang mengelilingi. "Gunung-gunung itu rasanya seperti mendesak-desak," kata Lucy-Ann, "makin lama makin dekat!" "Ah, kau ini macam-macam saja," kata Dinah. "Yuk — kita kembali saja sekarang. Jack sebentar lagi pasti akan sudah kembali, dan aku ingin mendengar ceritanya." Ketika kedua anak perempuan itu kembali, ternyata Philip sudah berbaring di atas hamparan mantel dan selimut. Ia menguap. "Aku sebetulnya sudah hendak menyusul kalian,” katanya. "Lama sekali kalian pergi! Jack belum kembali. Mudah-mudahan saja ia tidak apa-apa." Lucy-Ann cemas memikirkan Jack, Ia sangat menyayangi abangnya itu. la berdiri di atas sebongkah batu yang agak tinggi, supaya bias melihat apabila Jack datang Begitu ia sampai di atas, ia langsung berpaling. "Jack datang!" serunya dari atas, "Dan Kiki bertengger di bahunya." Lucy-Ann meloncat turun dari atas batu, lalu bergegas menyongsong Jack. Anak itu nyengir memandang adiknya, sementara Kiki terbang lalu hinggap di atas bahu Lucy-Ann. "Aku tadi sudah mulai gelisah, Jack," kata Lucy-Ann. "Ada kejadian apa di sana? Kau melihat kedua laki-laki itu? Apakah yang mereka kerjakan?" Mereka sampai di tempat Dinah dan Philip. "Wan — hebat sekali pembaringan kita!" kata Jack, sambil merebahkan diri. "Nikmat! Aduh — aku capek sekali rasanya." "Apakah yang terjadi, Jack?" tanya Philip. "Tidak banyak yang bisa kuceritakan," kata Jack. "Aku tadi menghampiri pesawat sedekat mungkin. Tapi aku tidak berani sampai masuk ke dalam, karena kalian kan tahu sendiri, letaknya di tempat terbuka. Sedang kedua laki-laki itu, aku sama sekali tidak melihat atau mendengar mereka di situ." "Bagaimana dengan Kiki — apakah ia tidak nakal tadi?" tanya Lucy-Ann dengan cemas. "Aku selalu khawatir, jangan-jangan ia menjerit atau berbuat sesuatu, yang menyebabkan kau bias ketahuan." "Ia sama sekali tidak nakal," kata Jack, sambil menggaruk-garuk jambul Kiki. "Betul, kan? Nah, setelah itu aku lantas bermaksud hendak menyelidiki di mana kedua orang itu berada — maksudku, tempat asap tampak mengepul. Sambil menyelinap dari pohon ke pohon dan dari belukar ke belukar, aku menuju ke tempat itu. Api rupanya sudah dikobarkan lagi oleh mereka, karena . asap yang mengepul nampak tebal dan hitam." "Lalu, kau melihat mereka?" tanya Dinah. "Mula-mula kudengar suara mereka bercakap-cakap," kata Jack. "Aku lantas berpikir, lebih baik jika aku memanjat pohon dan mengintai mereka dengan teropong. Kupanjat sebatang pohon yang tidak begitu besar, sampai ke ujungnya. Kemudian kulihat kedua laki-laki itu. Mereka tidak berapa jauh dari tempatku, di dekat sebuah pondok reyot Mereka sedang memasak di atas api." "Astaga! kata Lucy-Ann. "Kau tidak takut terlihat oleh mereka?" "Tidak — karena tempatku mengintip tersembunyi di balik dedaunan," kata Jack menjelaskan. "Aku sangat berhati-hati, sedikit pun tak menimbulkan bunyi. Aku memperhatikan orang-orang itu dengan bantuan teropongku. Ternyata mereka sedang mengamat-amati sebuah peta." "Peta? Untuk apa?" tanya Dinah heran. "Mereka mestinya mengenal baik daerah sini! Kalau tidak, mana mungkin mereka bisa mendaratkan pesawat dengan begitu mudah." "Yah — mereka kemari kan dengan alasan tertentu," kata Jack. "Aku tidak tahu apa alasan itu, tapi pasti ada! Mereka rupanya mencari sesuatu, atau seseorang — dan peta itu mungkin diperlukan sebagai penunjuk apa yang ingin mereka ketahui. Kudengar tadi seorang dari mereka mengatakan, "Lewat sini — lalu naik ke sini", seolah-olah mereka sedang merencanakan perjalanan." "Kalau kita membuntuti mereka, kita akan bisa mengetahuinya," kata Dinah dengan segera. "Wah, terima kasih," kata Jack menolak. "Aku tidak mau mendaki gunung, membuntuti mereka. Keduanya nampak kasar-kasar orangnya. Aku lebih setuju jika kita biarkan mereka pergi lalu setelah itu kita bisa memeriksa isi pondok mereka. Dan juga isi pesawat! Mungkin di situ akan ditemukan sesuatu, yang bisa memberikan keterangan siapa mereka sebenarnya, dan apa yang mereka cari di sini." "Ya—itu saja yang kita lakukan," kata Lucy-Ann. Anak itu sudah mengantuk. "Mungkin besok mereka akan mengadakan penjelajahan itu. Mudah-mudahan saja begitu! Jack bisa mengamati mereka dengan teropongnya. Lalu kalau mereka sudah berangkat, kita akan bisa melakukan pemeriksaan dengan leluasa." "Selain yang tadi, tak ada lagi yang bisa kuceritakan," kata Jack sambil menguap. "Aku tidak bisa menangkap apa-apa lagi, karena setelah itu peta digulung kembali, sementara mereka bercakap-cakap dengan suara pelan. Aku lantas turun dari pohon, dan kembali kemari." "Yuk, kita tidur saja sekarang," kata Lucy-Ann. "Mataku sudah berat sekali rasanya. Di sini kita kan aman?" "Pasti aman," kata Jack, la berbaring dengan perasaan puas. "Lagi pula, jika ada orang mendekat, Kiki tentu akan memberi tahu. Nah. selamat tidur'" "Selamat tidur," kata anak-anak. Philip masih sempat menambahkan, "Dinah — nanti jangan berteriak ya, kalau ada laba-laba melintas di atas tubuhmu. Atau tikus, atau landak! Di sini pasti banyak binatang-binatang semacam itu." Dinah terpekik, lalu cepat-cepat menyelubungi kepalanya dengan selimut. Setelah itu suasana menjadi sunyi sepi. Anak-anak sudah tidur pulas. Bab 7 PENEMUAN YANG MENGGEMBIRAKAN Tidak lama kemudian langit sudah penuh dengan bintang-bintang yang bertaburan. Terdengar suara burung hantu; sementara angin berdesir di sela dedaunan di atas kepala. Tapi keempat anak yang berbaring itu tidak menyadari semuanya. Mereka capek sekali. Semua tidur pulas. Juga Dinah! Walau hawa di bawah selimut yang mengerudungi kepala pengap, tapi sedikit pun ia tidak terbangun. Bahkan bergerak pun tidak. Kiki juga tidur, dengan kepala terselip di bawah sayap Burung kakaktua itu bertengger di dahan pohon yang menjulur di atas kepala Jack. Burung itu terbangun sebentar, ketika burung hantu berbunyi. Kiki menirukan bunyi itu dengan pelan. Setelah itu diselipkannya kepalanya lagi ke bawah sayap, lalu kembali tidur. Saat fajar menyingsing, anak-anak masih tetap tidur. Kiki bangun paling dulu. Mula-mula direntangkannya sayap yang satu, setelah itu yang satu lagi. Dikembangkannya jambulnya sehingga tegak, lalu dikibas-kibaskan. Sambil menggaruk-garuk leher, burung itu seperti merenung, memandang Philip. Lizzie juga sudah bangun. Kadal itu merayap di atas selimut yang menyelubungi tubuh Philip, ia sampai di tempat kaki Philip terjulur ke luar, dan di situ menghilang di bawah selimut Mata Kiki yang tajam mengawasi gerakan kadal itu di bawah selimut. Lizzie merayap sepanjang tubuh Philip lalu muncul lagi pada leher anak itu. "Bersihkan kakimu," kata Kiki pada kadal itu. “Sudah berapa kali kukatakan padamu untuk membersihkan kaki?" Lizzie kaget. Ia melompat dari leher Philip ke Jack. Di situ ia bersembunyi dalam rambut anak itu, sambil memandang ke arah pohon. Tapi ia tidak melihat sesuatu di situ. Kiki marah melihat kadal itu berani menginjak tuannya yang disayangi. Sambil menjerit marah, kakaktua itu terbang ke bawah untuk mematuk Lizzie. Dengan cepat kadal itu menghilang kembali ke bawah selimut. Kiki mendarat di atas punggung Jack. Dipatuknya selimut yang menutupi kaki Philip sebelah kanan. Ia melihat selimut di bagian itu bergerak-gerak. Itu berarti kadal sialan itu lari ke bawah. Jack dan Philip kaget, lalu bangun. Sesaat mereka mendongak dengan heran, memandang dedaunan hijau yang melambai-lambai di atas kepala. Kemudian keduanya menoleh, saling pandang memandang. Seketika itu juga mereka teringat lagi. "Sesaat tadi aku lupa di mana aku berada," kata Jack sambil duduk. "Ah, kau rupanya yang duduk di atas perutku, Kiki! Ayo turun! Nih, biji matahari untukmu. Tapi jangan berisik, nanti Dinah dan Lucy-Ann bangun." Diambilnya beberapa butir biji matahari dari kantongnya, lalu diberikan pada Kiki. Kakaktua itu terbang ke dahan yang menjulur di atas, lalu mulai memakan biji-biji matahari. Jack dan Philip bercakap-cakap dengan suara pelan. Mereka tidak ingin mengganggu kedua adik mereka masing-masing, yang masih tidur dengan tenang. "Aaah — badanku sudah lebih enak rasanya sekarang," kata Jack sambil merentangkan lengan. "Kemarin malam aku begitu capek, sehingga kepingin menangis saja rasanya. Kau bagaimana, Philip?" "Aku juga sudah enak sekarang," kata Philip, sambil menguap lebar lebar. "Tapi masih agak mengantuk. Yah — kita tidak perlu bangun untuk sarapan. Kita takkan mendengar bunyi gong memanggil kita di sini. Kita tidur lagi sebentar, yuk!" Tapi Jack malas tidur lagi. Ia sudah benar-benar bangun. Anak itu keluar dari bawah selimut, lalu mencuci badan di mata air. Ketika memandang ke arah lembah, dilihatnya asap mengepul di tempat yang sama seperti kemarin. "Orang-orang itu sudah bangun rupanya," katanya pada diri sendiri. "Kurasa sekarang sudah tidak begitu pagi lagi. Letak matahari sudah lumayan tinggi di langit. Sialan! Aku lupa memutar arlojiku kemarin malam." Tidak lama kemudian Dinah dan Lucy-Ann juga sudah bangun. Kedua anak perempuan itu heran. karena ternyata mereka tidur nyenyak semalaman — tanpa terbangun sedikit pun. Dinah memandang berkeliling, mencari-cari di mana Lizzie berada. "Kau tak usah khawatir," kata Philip dengan santai. "Ia ada dalam kaos kakiku. Kurasakan kaki-kakinya yang mungil merayapi kakiku." "Hii — kau ini menjijikkan!" kata Dinah. "Nah, aku ingin mencuci badan dulu sekarang. Sesudah itu kita sarapan. Apa boleh buat, kali ini hanya kue dan biskuit saja." Anak-anak begitu lapar, sehingga kue, biskuit dan sisa coklat mereka sikat habis. Kini tidak ada lagi makanan tersisa. "Kita harus mencari akal — mengenai makanan, maksudku," kata Dinah. "Kalau perlu, bahkan memakan kadalmu, Philip!" "Ah — dia kan sekali telan sudah habis. Ya kan, Lizzie?" kata Philip. "He — apa itu?" Ia mendengar suara orang bercakap-cakap. Keempat anak itu bergegas bangkit, lalu lari ke kandang sapi sambi! Menyeret perlengkapan tidur mereka. Semuanya mereka campakkan ke dalam kotak paling belakang, lalu mereka sendiri merunduk di situ dengan napas tersengal-sengal. "Masih ada yang ketinggalan atau tidak di sana?" bisik Jack. "Kurasa tidak," balas Philip sambil berbisik pula. "Hanya rumput di situ saja yang agak rebah, bekas kita tiduri. Mudah-mudahan saja orang-orang yang datang itu tidak memperhatikannya." Jack mengintip ke luar, lewat celah yang terdapat di sisi kandang. Ternyata mereka tepat pada waktunya lari tadi. Kedua laki-laki yang kemarin nampak berjalan lambat-lambat sambil bercakap-cakap. Mereka menuju ke pepohonan berbatang putih. Akhirnya mereka tiba di tempat anak-anak tidur malam itu. Mereka melewati tempat itu. Tapi kemudian seorang di antaranya tertegun. Ia menoleh ke belakang. Air mukanya menunjukkan rasa heran. Pandangannya terarah ke tempat bekas ditidur anak-anak. Sambil mengatakan sesuatu pada temannya, ia menuding bagian rumput yang rebah. Kemudian keduanya kembali, lalu memandang tempat itu dengan penuh perhatian. "Bekas apa ini?" kata laki-laki yang bernama Juan. "Aneh," kata temannya. Orang itu bermuka tembam dengan bibir tebal, serta mata yang kecil dan terlalu rapat letaknya. "Mungkin binatang?" "Wah — mana ada binatang sebesar ini! Bahkan gajah pun harus dua ekor untuk bisa meninggalkan bekas sebesar ini," kata Juan. "Bagaimana kalau kita memeriksa sebentar di sini?" Temannya memandang ke arlojinya. "Tidak, jangan sekarang," katanya. "Mungkin nanti, kalau kita kembali. Banyak yang harus kita lakukan hari ini. Yuk — kurasa ini bukan bekas apa-apa." Keduanya meneruskan langkah. Tidak lama kemudian sudah menghilang di sela pepohonan. "Aku akan memanjat pohon dengan membawa teropong ku, lalu terus mengamati mereka dari atas," kata Jack. "Kita harus meyakinkan dulu bahwa mereka sudah pergi, sebelum kita sendiri ke luar lagi" Dengan berhati-hati ia keluar dari kandang, lalu cepat-cepat lari menuju sebatang pohon yang tinggi. Dengan sekejap mata ia sudah ada di atas, karena Jack memang pandai memanjat Ia duduk di ujung pohon, dengan kaki memeluk dahan. la mulai meneropong. Jack melihat mereka, begitu keduanya muncul dari bawah pepohonan, di bagian lereng yang ditumbuhi rumput dan semak berbunga. Jack bisa jelas melihat keduanya dengan teropong. Kedua orang itu membentangkan kertas—atau mungkin pula peta dan berdiri sambi! menunduk, meng-amat-amati. "Rupanya mereka takut salah jalan," pikir Jack. "Nan — sekarang mereka berjalan lagi." Jack mengamat-amati terus, sementara kedua laki-laki itu kini mulai mendaki bagian yang terjal. Akhirnya mereka mengitari suatu tebing yang terjal, lalu lenyap dari penglihatan Jack meluncur turun. "Astaga! Kusangka kau sudah tertidur lagi di atas," tukas Dinah dengan nada tidak sabar. "Aku sudah bosan menunggu dalam kandang jorok ini. Sudah pergikah mereka?" "Ya — mereka sudah jauh sekarang," kata Jack. "Jadi sudah aman bagi kita untuk ke luar dan melihat-lihat keadaan. Mereka tidak menempuh jalan yang sama seperti kita kemarin. Kulihat tadi, mereka mendaki bagian lereng yang sangat terjal. Yuk — kita pergi, sementara masih bisa!" "Kita sekarang punya waktu untuk memeriksa isi pesawat," kata Dinah. Anak-anak yang lain setuju. Mereka lantas bergegas turun ke lembah, menuju ke pesawat terbang. Setiba di sana, mereka langsung menaiki tangga, lalu masuk ke dalam. "Peti besar itu sudah tidak ada lagi di sini," kata Jack dengan segera. "Bagaimana cara mereka menurunkannya, ya? Kurasa peti itu kosong! Kalau ada isinya, mana mungkin mereka mengangkatnya — kalau hanya berdua saja. Lihatlah — di sini tempat kita bersembunyi selama penerbangan!" Bersama Philip, Jack memeriksa ruangan dalam pesawat, mencari makanan atau salah satu benda yang bisa dipakai sebagai keterangan. Tapi di situ tidak ada makanan sama sekali. Mereka juga tidak menemukan apa-apa — bahkan secarik kertas pun tidak — yang bisa menjelaskan siapa kedua laki-laki itu, dan untuk apa mereka datang ke tempat itu. Keduanya turun lagi dari pesawat, bersama adik-adik mereka. "Sialan!" kata Jack. "Keadaan kita masih tetap payah. Bahkan sepotong coklat pun tidak ada lagi. Kita bisa mati kelaparan sekarang!" "Jika kita bisa memeriksa pondok di mana kau melihat kedua orang itu kemarin petang, kurasa kita akan menemukan banyak makanan di sana," kata Dinah. "Kalian tidak ingat kata seorang dari mereka kemarin? 'Yuk, kita ke pondok, dan makan dulu?' Nah — untuk makan kan harus ada makanannya? Jadi di sana pasti ada makanan!" Penjelasan itu membangkitkan semangat anak-anak. Jack berjalan mendului, menuju ke tempat di mana ia melihat kedua orang itu duduk kemarin petang di dekat api unggun. Api itu sudah hampir padam. Hanya masih membara sedikit. Pondok yang dimaksudkan, ada di dekat situ. Bangunannya reyot, tapi tidak terbakar seperti bangunan-bangunan lain yang mereka lihat sampai saat itu. Nampak beberapa bagian yang dibetulkan asal jadi saja. Jendela satu-satunya yang ada nampak kokoh. Ukurannya tidak begitu besar. Tidak mungkin bisa masuk lewat situ. Pintu pondok juga nampak kokoh. Pintu itu tertutup. "Pasti dikunci," kata Jack sambil menarik, "sedang anak kuncinya mereka bawa! Siapa yang mereka sangka akan datang ke sini dan mengambil apa-apa dari dalam? Mereka kan tidak tahu apa-apa tentang kita." "Kita mengintip saja ke dalam, dari jendela," kata Lucy-Ann. Jack menjunjung Philip, di dekat jendela. Philip memandang ke dalam. Mulanya agak sulit juga untuk bisa mengenali sesuatu, karena ruangan dalam pondok gelap. Satu-satunya cahaya yang masuk, lewat jendela. "Nah — sekarang aku bisa melihat agak jelas," kata Philip setelah beberapa saat. "Di dalam ada beberapa kasur dengan selimut-selimut, lalu meja dengan beberapa kursi — serta semacam tungku. Aduh! Coba lihat itu!" "Apa yang kaulihat?" seru anak-anak yang lain dengan tidak sabar. Lucy-Ann melonjak-lonjak, ingin ikut melihat ke dalam. "Makanan — bertumpuk-tumpuk!" kata Philip. "Berkaleng-kaleng! Makanan dalam panci, dan dalam botol-botol! Sss — keluar air liurku melihatnya!" Jack sudah tidak tahan lagi lebih lama menjunjung Philip. Anak itu dilepaskannya, sehingga terhenyak ke tanah. "Sekarang kaujunjung aku," katanya. Philip kini menjunjung Jack, sehingga ia pun bisa melihat ke dalam pondok. Mata anak itu terbelalak, ketika melihat makanan bertumpuk-tumpuk memenuhi rak yang memanjang pada satu sisi pondok. "Pondok ini rupanya semacam gudang atau tempat istirahat," katanya, sambil melompat turun dari punggung Philip. "Wah, coba kita bisa memperoleh sebagian saja dari perbekalan yang ada di dalam itu! Apa sebabnya orang-orang itu membawa anak kuncinya? Curiganya bukan main!" "Mungkinkah kita bisa masuk lewat jendela?" tanya Philip. Dengan penuh harap ia mendongak, memandang ke arah jendela. "Ah — tidak mungkin," katanya dengan lesu. "Bahkan Lucy-Ann pun takkan bisa lolos di situ. Jendelanya pun tidak bisa dibuka, karena kacanya terpasang mati. Kalau mau memaksa masuk juga, kita terpaksa memecahkan kaca itu. Dan dengan begitu akan ketahuan bahwa ada orang lain di sini." Anak-anak mengitari pondok itu dengan perasaan sebal. Kemudian mereka memeriksa tempat di sekitar situ, barangkali saja ada yang bisa ditemukan. Tapi ternyata tidak! "Lebih baik kita kembali saja sekarang ke tempat kita berteduh, lalu memindahkan barang-barang kita ke tempat lain," kata Jack. "Siapa tahu kedua laki-laki tadi benar-benar memeriksa tempat di sekitar situ apabila mereka kembali lagi nanti! Aduh, tidak enak rasanya membiarkan makanan sebanyak itu ada dalam pondok ini, tanpa bisa mengambil sedikit pun! Perutku lapar sekali." "Aku juga," kata Lucy-Ann. "Rasanya bisa aku memakan biji bunga matahari makanan Kiki!" "Nih — coba saja," kata Jack, sambil menyodorkan biji-biji itu segenggam penuh. "Biji-biji ini aman dimakan, tidak beracun!" "Ah, tidak jadi sajalah," kata Lucy-Ann. "Aku belum sebegitu lapar!" Philip menghampiri pintu pondok, lalu menatapnya dengan mata melotot. "Kepingin rasanya menendangmu sampai rubuh," katanya pada pintu itu. "Kurang ajar — menghalangi kami untuk memperoleh makanan. Nih — rasakan!" Anak-anak yang lain geli melihat Philip menendang pintu keras-keras beberapa kali. Tahu-tahu pintu itu terpentang lebar. Anak-anak tersentak. Mereka memandang dengan mulut ternganga. "Aduh — ternyata sama sekali tidak terkunci!" seru Jack. "Cuma ditutup saja. Kita ini benar-benar tolol, mengira dikunci. Yuk — kita berpesta sekarang!" Bab 8 KIKI MENGOCEH Anak-anak bergegas memasuki ruangan yang remang-remang itu. Dengan gembira mereka memandang perbekalan yang berjejer-jejer di atas rak. "Biskuit! Lidah asin! Nenas! Sarden! Susu! Wah — segala-galanya ada di sini!" seru Jack. "Dengan apa kita mulai sekarang?" "Nanti dulu! Kita harus hati-hati, jangan sampai barang-barang di rak ini terlalu terserak-serak," kata Philip mengingatkan. "Nanti orang-orang itu tahu ada yang masuk kemari. Sebaiknya kita mengambil kaleng-kaleng yang ada di belakang, jangan yang di depan. Dan kita jangan makan di sini! Kita bawa pergi saja." "Kurasa —" kata Jack lambat-lambat, "kurasa sebaiknya kita mengambil sebanyak yang mampu kita angkut Karena siapa tahu, mungkin kita akan lama berada dalam lembah ini. Kita harus mengakui kenyataan bahwa kita ini tersesat Sama sekali tidak bisa berhubungan dengan dunia yang kita kenal. Mungkin lama sekali takkan ada yang datang menyelamatkan kita." Anak-anak semuanya serius air mukanya. Lucy-Ann nampak ketakutan. "Kau benar, Bintik," kata Philip. "Kita harus mengambil sebanyak yang mampu kita angkut Lihatlah, di situ ada setumpuk karung tua. Bagaimana jika kita mengambil dua lembar, mengisinya dengan kaleng-kaleng makanan lalu membawanya pergi bersama-sama! Dengan begitu bisa banyak yang kita angkut!" "Ide bagus," kata. Jack. "Ini karung untukmu dengan Dinah, sedang yang ini untuk kuangkut bersama Lucy-Ann." Philip mengambil sebuah kursi. Ia berdiri di atasnya, lalu menjangkau kaleng-kaleng makanan yang ada di barisan belakang. Kaleng demi kaleng dilemparkannya ke bawah, sementara anak-anak yang lain sibuk memasukkan ke dalam karung-karung. Bukan main banyaknya makanan yang disimpan dalam pondok itu! Tidak lama kemudian kedua karung itu sudah penuh. Nyaris tidak bisa mereka angkat lagi, karena terlalu berat. Lega rasanya membayangkan memiliki bekal makanan sebanyak itu. Jack menemukan alat pembuka kaleng. Alat itu dikantongi olehnya. "Sebelum pergi lagi, kita periksa dulu tempat ini," kata Philip. "Siapa tahu, mungkin kita menemukan surat atau dokumen tertentu, yang bisa memberikan keterangan bagi kita tentang kedua penerbang misterius itu." Tapi mereka tidak menemukan apa-apa, walau pencarian dilakukan dengan cermat sekali. Setiap sudut diperiksa. Bahkan tumpukan karung pun mereka bongkar. Tapi sia-sia. Tak ada yang bisa dipakai untuk menjelaskan misteri itu. "Aku ingin tahu, mereka apakan peti yang ada dalam pesawat," kata Jack. "Kita kan tidak melihatnya sama sekali selama ini. Aku juga ingin melihat isi peti itu." Peti itu tidak ada dalam gudang. Karenanya anak-anak lantas pindah, mencari di luar. Akhirnya di bawah sekelompok pohon yang masih kecil, di sela semak belukar mereka menemukan sekitar setengah lusin peti kayu yang ditutupi dengan terpal. "Aneh," kata Jack. Ditariknya terpal yang menutupi. "Lihatlah — begitu banyak peti di sini — dan semuanya kosong! Apa yang akan ditaruh ke dalam peti-peti ini?" "Entah!" kata Philip. "Hanya orang sinting saja yang mengangkut peti-peti kosong ke lembah terpencil ini,dengan harapan akan bisa memasukkan apa-apa ke dalamnya!" "Kau kan tidak sungguh-sungguh beranggapan, kedua orang itu gila?" tanya Lucy-Ann ketakutan. "Kalau betul begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Yang penting, jangan sampai ketahuan oleh mereka," kata Philip. "Yuk — kita pergi. Pintu tadi sudah ditutup lagi atau belum? Ya, sudah! Nah —sekarang kau mengangkat sebelah situ, Dinah, lalu kita pergi ke tempat kita lagi." Sambil terhuyung-huyung mengangkat karung yang berdentang-dentang isinya, keempat anak itu bergerak dengan lambat kembali ke kandang sapi. Sesampai di situ Jack menjatuhkan karung ke lantai, lalu bergegas memanjat pohon untuk mengamati daerah sekeliling situ dengan teropongnya. Ia hendak melihat, apakah kedua orang itu sudah datang kembali. Tapi ternyata belum. "Untuk sementara keadaan aman," katanya, ketika sudah bergabung lagi dengan yang lain-lainnya. "Sekarang kita makan! Ini acara makan kita yang paling nikmat. Soalnya, kita belum pernah merasa selapar sekarang." Anak-anak memilih sebuah kaleng biskuit, lalu membukanya. Sekitar empat puluh potong dikeluarkan, karena mereka masing-masing merasa pasti mampu memakan paling sedikit sepuluh potong. Kemudian dibuka sebuah kaleng berisi lidah asin. Jack memotong-motong daging itu dengan pisau lipatnya. Anak-anak juga membuka sekaleng nenas dan sekaleng susu. "Hm — sedap sekali hidangan kita!" kata Jack. Dengan perasaan puas, ia duduk di tanah yang dipanasi sinar matahari. “Yuk, kita mulai!" Menurut perasaan anak-anak. belum pernah mereka makan senikmat saat itu. "Hmmmm," gumam Lucy-Ann. Maksudnya, "Sedap!" Kiki langsung menirukan. "Hmmmm! Hammm!" Selain itu tidak terdengar mereka bercakap-cakap. Hanya sekali saja, ketika Dinah melihat Kiki sibuk memasukkan paruh ke dalam kaleng nenas. "Jack! Larang Kiki berbuat begitu! Nanti habis nenas kita dimakannya!" Kiki cepat-cepat terbang ke dahan pohon yang terjulur di atas kepala, sambil memegang sepotong nenas dalam cakarnya. "Hmmmm!" kata burung konyol itu berulang-ulang. "Hmmm!" Dinah pergi ke mata air, untuk mencuci kaleng susu yang sudah kosong. Setelah bersih, kaleng itu diisinya dengan air yang jernih dan sejuk. Air itu dicampurkannya dengan air nenas yang masih tersisa dalam kaleng. Campuran itu ditawarkannya pada anak-anak yang lain, untuk menutup hidangan makan. "Wah — sekarang aku benar-benar merasa lebih nyaman," kata Jack sambil melonggarkan ikat pinggangnya. “Untung saja kau tadi marah, lalu menendang pintu pondok, Philip. Padahal kita mengira pintu itu terkunci!" "Kenapa kita begitu konyol, ya?" kata Philip, ia merebahkan diri, lalu memejamkan mata. "Sekarang, apa yang kita buat dengan kaleng-kaleng kosong ini?" "Kalau kau sih — sudah jelas kau takkan berbuat apa-apa lagi," tukas Dinah, melihat abangnya sudah terkapar begitu dengan mata terpejam. "Kaleng-kaleng itu akan kusumpalkan ke dalam salah satu liang kelinci. Biar kelinci-kelinci juga bisa ikut mencicip makanan kita tadi." Dinah memungut sebuah kaleng. Seketika itu juga ia terpekik, sambil mencampakkan kaleng itu. Dari dalamnya muncul — Lizzie! Rupanya kadal kecil itu tadi sedang asyik mengendus-endus bau sisa-sisa lidah asin yang tertinggal di situ. Lizzie cepat-cepat lari ke Philip, lalu menyusup masuk ke dalam kerah anak itu. "Jangan menggelitik, Lizzie," gumam Philip dengan suara mengantuk. "Sebaiknya aku berjaga-jaga saja, untuk mengawasi apakah orang-orang itu kembali," kata Jack, ia naik lagi ke atas pohon. Dinah dan Lucy-Ann memasukkan kaleng-kaleng yang sudah kosong ke dalam sebuah liang kelinci yang lebar. Kiki menjengukkan kepala ke dalam lubang itu. Diperhatikannya kaleng-kaleng yang ditaruh di situ dengan sikap heran. Setelah itu ia menyusup masuk, lalu mulai menarik-narik salah satu kaleng. "Jangan, Kiki!" kata Lucy-Ann. "Jack, panggil Kiki! Suruh ia ikut denganmu di atas pohon." Jack bersuit. Dengan segera Kiki terbang mendatangi, lalu bertengger di atas bahu anak itu. Jack meneruskan panjatannya. Kiki bergerak-gerak dengan sigap, mengelakkan ranting-ranting yang menghalangi. "Kita keluarkan saja semua barang kita, siap untuk kita pindahkan ke tempat lain yang lebih aman daripada dalam kandang," kata Dinah. "Jika orang-orang itu nanti benar-benar memeriksa di sini, dan barang-barang kita masih ada dalam kandang, pasti mereka akan melihatnya!" Kedua anak perempuan itu mulai sibuk menggotong-gotong segala barang itu keluar. Dinah bekerja sambil menggerutu terus, karena Philip kelihatannya sudah tidur dan sama sekali tidak beranjak untuk membantu. Beberapa saat kemudian Jack turun lagi dari pohon. "Mereka belum kelihatan," katanya. "Nah — sekarang, di mana tempat yang paling aman untuk menyembunyikan barang-barang kita?" "Dalam sumur," kata Kiki. Entah kenapa ia menyebutkan hal itu. "Diam, Kiki," tukas Jack, la memandang berkeliling. Tapi tak ditemukannya tempat yang cocok. Namun kemudian ia mendapat akal. "Akan kukatakan tempat yang cocok sekali," katanya. "Di mana itu?" tanya Dinah dan Lucy-Ann serempak. "Kalian lihat pohon besar yang di sana itu? — Itu, yang dahannya besar-besar dan menjulur ke mana-mana! Nah, kita bisa memanjat pohon itu, lalu menyembunyikan barang-barang kita dengan aman di situ, terlindung di balik dedaunan lebat Takkan ada yang mencari ke situ." Dinah dan Lucy-Ann mendongak, memandang pohon berdaun rimbun itu. Ya, memang pohon itu cocok sekali sebagai tempat persembunyian! "Tapi bagaimana cara kita menaikkan koper-koper ke atas?" tanya Dinah. "Ukurannya memang tidak seberapa besar—tapi beratnya bukan main!" Jack menguraikan tali yang melilit di pinggangnya. Anak itu memang selalu siap menghadapi segala kemungkinan. "Nih — dengan tali ini!" katanya. "Aku memanjat dulu ke atas, lalu kuulurkan tali ini ke bawah. Kalian yang di bawah mengikatkan ujungnya yang satu ke koper, lalu kutarik koper itu ke atas!" "Kalau begitu, kita bangunkan Philip," kata Dinah. Ia tidak melihat alasan, kenapa abangnya itu tidak perlu ikut bekerja. Dihampirinya anak itu, lalu digoncang-goncangnya. Philip kaget, lalu terbangun. "Ayo — bantu kami, Pemalas!" tukas Dinah. "Jack sudah menemukan tempat persembunyian yang baik untuk kita." Philip menghampiri anak-anak yang lain, ia pun sependapat, pohon rimbun itu memang tempat persembunyian yang aman. Ia menyatakan akan ikut memanjat, lalu membantu Jack menarik barang-barang ke atas. Kiki memperhatikan kesibukan anak-anak dengan penuh minat. Ketika Jack mengulurkan tali ke bawah, dengan segera Kiki menyambar dan menyentakkan ujungnya, sehingga tali itu terlepas dari pegangan Jack dan jatuh ke tanah. "Kiki! Burung nakal — kenapa kau berbuat begitu?" seru Jack dari atas. "Sekarang aku terpaksa turun untuk mengambilnya, lalu naik lagi. Goblok!" Kiki tertawa terkekeh-kekeh. Burung bandel itu menunggu kesempatan berikutnya. Begitu tali terjulur lagi, dengan segera Kiki menyentakkannya kembali dari tangan Jack. Jack memanggilnya dengan kesal. Burung itu datang. Ia mengetuk-ngetukkan paruh, karena merasa kurang enak mendengar nada suara tuannya. Jack menepuk paruh burung itu dengan keras. "Kiki nakal! Kiki jahat! Pergi — aku tidak senang lagi padamu. Tidak — ayo pergi!" Kiki terbang menjauh sambil menguak dengan sedih. Jack jarang marah padanya. Tapi saat itu Kiki tahu, Jack marah. Burung konyol itu masuk ke dalam kandang sapi, lalu bertengger pada balok hangus yang melintang dekat atap. Kiki meng-ayun-ayunkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan "Kasihan Kiki! Kiki yang malang!" keluhnya. "Cul — si Kiki muncul!" Sementara itu anak-anak sibuk bekerja di luar. Tidak lama kemudian Jack dan Philip sudah menarik semua ke atas pohon, dan meletakkannya di ketiak dahan-dahan yang besar. Setelah itu Jack memanjat lebih tinggi lagi, lalu memandang berkeliling dengan teropongnya. Sesaat kemudian ia berseru-seru ke bawah, memanggil Dinah dan Lucy-Ann. "Orang-orang itu datang! Cepat, naik! Masih ada yang ketinggalan? Coba periksa sebentar!" Kedua anak perempuan itu memeriksa dengan buru-buru. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Setelah itu Lucy-Ann bergegas memanjat, disusui oleh Dinah. Mereka duduk pada dahan yang lebar, lalu mengintip ke bawah. Tapi mereka tidak bisa melihat apa-apa, karena terhalang dedaunan rimbun. Yah — jika mereka tidak bisa melihat ke bawah, takkan ada orang yang bisa melihat mereka di atas. Jadi mereka aman di situ. Tak lama kemudian terdengar suara orang bercakap-cakap. Kedua orang itu rupanya sudah dekat Anak-anak tidak berani berkutik. Lucy-Ann cepat-cepat mendekapkan tangan ke mulut, ketika terasa bahwa ia akan batuk. Di bawah, kedua laki-laki yang datang memeriksa kandang sapi dengan cermat Tapi tentu saja mereka tidak menemukan apa-apa di situ, karena semuanya sudah disingkirkan oleh anak-anak. Kedua laki-laki itu keluar lagi, lalu memperhatikan bagian rumput yang rebah. Mereka tidak bisa menebak, apa yang menyebabkan rumput bisa menjadi begitu keadaannya. "Aku ingin memeriksa sekali lagi ke dalam kandang," kata laki-laki yang bernama Juan, la masuk kembali ke dalam kandang. Kiki yang masih bertengger sambil merajuk di atas balok, kesal melihat laki-laki itu muncul lagi. "Bersihkan kakimu," kata Kiki dengan galak. "Dan sudah berapa kali kukatakan, tutup pintu?" Laki-laki itu kaget setengah mati. Ia celingukan, memandang berkeliling. Kiki meringkuk di atas balok yang agak menyudut letaknya. Jadi laki-laki itu tidak bisa melihatnya. Orang itu memeriksa ke segala sudut. Kemudian dipanggilnya temannya. "Baru saja ada suara mengatakan agar aku membersihkan kaki dan menutup pintu,'" katanya. "Kau ini mengoceh saja," kata temannya dengan kesal. "Rupanya pikiranmu agak kacau." "Jangan suka berkicau," kata Kiki dari atas. "Wah, wah, wah — pakai sapu tanganmu." Kedua laki-laki yang di bawah saling berpegangan, karena kaget mendengar suara Kiki yang tiba-tiba berkumandang dalam kandang gelap itu. "Ssst — jangan ribut," kata Juan. Kiki mendengarnya, lalu menambahkan. "Sssst!" katanya dengan lantang. Kedua laki-laki itu tidak tahan lagi. Mereka lari tunggang-langgang ke luar. Bab 9 MENYUSUN RENCANA BARU Kiki senang melihat kedua orang itu lari ke luar. "Tutup pintu!" teriaknya dari atas. "Tutup pintu!" Kedua laki-laki itu baru berhenti berlari, ketika sudah cukup jauh dari kandang. Juan menyeka keningnya yang berkeringat. "Apa itu tadi?" katanya dengan suara bergetar. "Hanya suara saja yang terdengar — padahal tidak ada siapa-siapa di situ." Temannya lekas pulih dari kekagetannya. "Kalau ada suara, pasti ada orang," katanya. "Di dalam ada seseorang yang mempermainkan kita. Sudah kusangka kita tidak sendirian di sini, ketika kulihat rumput yang rebah itu tadi pagi. Tapi siapa orang itu? Mungkinkah ada orang lain yang mencium adanya harta karun itu?" Anak-anak yang bersembunyi di atas pohon. langsung menajamkan telinga. Harta karun? Aha! Jadi itu rupanya yang dicari kedua laki-laki itu dalam lembah sunyi ini. Harta karun! "Mana mungkin ada orang lain tahu apa yang kita ketahui?" tukas Juan. "Jangan langsung senewen. Pepi — itu tadi kan cuma suara saja. Mungkin itu burung kakaktua" Pepi terbahak. Kini gilirannya bersikap mencemooh. "Kakaktua? Kau ini macam-macam saja, Juan," katanya. "Memangnya kau tahu, di sini ada burung kakaktua? Dan yang bisa berbicara lagi! Kalau yang bersuara tadi burung kakaktua, kumakan topiku ini — dan topimu juga sekaligus!" Anak-anak yang mendengarkan di atas, saling berpandangan sambil nyengir. Lucy-Ann ingin melihat laki-laki yang dipanggil dengan nama Pepi itu memakan topinya. Pasti ia juga akan terpaksa memakan topi temannya — karena Kiki memang seekor burung kakaktua! "Pasti ada orang yang bersembunyi di dalam," kata Pepi, "walau aku tidak tahu, bagaimana ia bisa ke sini. Juan! Mungkin di bawah kandang ada ruangan bawah tanah. Yuk, kita periksa. Kalau ternyata memang ada orang bersembunyi, akan menyesal ia nanti!" Anak-anak merasa seram, mendengar nada suara orang itu. Lucy-Ann bergidik Hi —jahatnya orang itu! Kedua laki-laki itu mendatangi kandang dengan sikap berhati-hati. Juan berdiri di ambang pintu yang sudah rusak, lalu berseru dengan suara lantang. "Siapa pun juga yang ada di dalam, ayo keluar! Kami berikan kesempatan terakhir!" Tentu saja tidak ada orang yang keluar. Soalnya, memang tidak ada orang di dalam! Juan menggenggam pistol. Kiki tidak bersuara. Ia kaget mendengar suara berteriak-teriak itu. Untung saja baginya! Juan sudah tidak tahan lagi. la mengarahkan laras pistol ke tempat yang diduganya merupakan pintu masuk ke ruangan ke bawah tanah, lalu menarik pelatuk senjata itu. DORR! Kiki nyaris jatuh dari balok, karena kaget dan takut Begitu pula halnya dengan anak-anak yang bersembunyi di atas pohon. Jack cepat-cepat memegang Lucy-Ann. DORR! Satu tembakan lagi menggelegar. Menurut perasaan anak-anak, Juan pasti menembak asal saja, untuk menakut-nakuti orang yang disangkanya berbicara tadi. Jack agak cemas. Kiki masih merajuk dalam kandang. Jack khawatir, kalau-kalau Kiki terkena tembakan. Kedua laki-laki itu muncul dari dalam kandang. Beberapa saat mereka memandang berkeliling. Kemudian mereka menuju ke dekat pohon tempat anak-anak bersembunyi, sambil bercakap-cakap. "Tidak ada lagi siapa-siapa di dalam. Rupanya sempat menyelinap ke luar. Sungguh, Pepi, pasti ada orang lain di sini mengintip kita!" "Tapi masa ia mau membuka rahasianya, hanya untuk menyuruh kita membersihkan kaki dan menutup pintu," kata Pepi mencemooh. "Besok kita kembali saja lagi ke sini, dan memeriksa tempat ini dengan seteliti-telitinya," kata Juan. "Aku yakin, di sini ada orang. Dan orang itu berbicara dalam bahasa Inggris! Apa artinya itu? Perasaanku tidak enak. Jangan sampai ada orang lain mengetahui tugas kita ini." "Kita memang perlu menggeledah tempat ini dengan cermat," kata Pepi. "Kita harus mengetahui, siapa yang berbicara tadi. Itu sudah pasti! Aku mau saja mencarinya sekarang — tapi hari sudah mulai gelap, dan perutku lapar. Yuk — kita kembali!" Anak-anak merasa lega, ketika kedua laki-laki itu akhirnya pergi dari situ. Jack memanjat sampai ke ujung atas pohon. Dari situ ia bisa melihat pesawat terbang dalam lembah. Ia menunggu sampai kedua laki-laki tadi nampak melewati pesawat mereka, dalam perjalanan menuju pondok. "Sudah aman," serunya kemudian pada anak-anak yang lain, "mereka sudah sampai dekat pesawat Aduh — aku tadi kaget setengah mati, ketika terdengar tembakan-tembakan itu! Lucy-Ann nyaris terjatuh karenanya." "Lizzie langsung keluar dari kantongku, lalu menghilang," kata Philip. "Mudah-mudahan saja Kiki tidak apa-apa, Jack, ia mestinya sangat ketakutan, ketika bunyi tembakan menggema dalam kandang." Ketika anak-anak masuk ke dalam kandang, Kiki masih tetap seperti terpaku di tempatnya bertengger. Tubuhnya gemetar. Jack memanggil-memanggilnya dengan suara lembut. "Kiki! Kiki — turunlah, Kiki! Keadaan sudah aman sekarang. Ini, aku datang menjemputmu." Dengan segera Kiki terbang ke bawah, lalu hinggap di atas bahu Jack. Burung itu sibuk bercumbu dengan tuannya. "Hmmm!" katanya berkali-kali. "Hmmmm!" Dalam kandang gelap. Anak-anak merasa tidak enak di situ. Lucy-Ann berperasaan, seolah-olah ada orang bersembunyi di salah satu sudut ruangan itu. "Kita keluar saja," ajaknya. "Apa yang kita lakukan malam ini? Akan amankah jika kita tidur di tempat yang biasa?" "Tidak! Kita lebih baik memindahkan pembaringan kita ke tempat lain," kata Jack "'Agak lebih tinggi dari sini ada semak belukar, di mana kita terlindung dari angin. Di situ kita juga terlindung dari penglihatan orang lain. Di tempat itu saja kita tidur." "He — tahukah kalian, apa yang tadi kita tinggalkan dalam kandang ini?" kata Philip dengan tiba-tiba. "Kita meninggalkan kedua karung yang berisi kaleng-kaleng makanan. Lihatlah — itu dia karung-karungnya, di sudut!" "Aduh — untung mereka tadi tidak melihatnya!" kata Jack. "Tapi sebenarnya aku juga tidak heran — karena nampaknya seperti tumpukan sampah biasa. Tapi walau begitu. lebih baik kita memindahkannya ke dalam semak. Bekal makanan ini terlalu penting, jangan kita tinggalkan di sini." Anak-anak menyeret kedua karung itu ke tempat yang baru, lalu meninggalkannya di situ Kemudian mereka berunding, apa yang akan dilakukan dengan barang-barang yang ada di atas pohon. "Sebaiknya hanya selimut dan mantel hujan saja yang kita turunkan," kata Jack. "Pakaian yang kita pakai sebagai bantal, terbungkus dalam selimut Koper-koper kita tinggalkan saja di atas. Untuk apa kita repot-repot menyeretnya ke mana-mana." Hari sementara itu sudah gelap. Agak repot juga menurunkan selimut dan mantel. Tapi akhirnya berhasil juga. Kemudian mereka menuju ke tengah semak. Dinah dan Lucy-Ann menghamparkan pembaringan mereka di situ. "Di sini tidak begitu hangat seperti di bawah," kata Dinah. "Rasanya tempat ini agak berangin. Dan besok — ke mana kita bersembunyi besok? Orang-orang itu pasti akan memeriksa ke balik semak ini." "Kalian ingat air terjun?" kata Philip. "Di kakinya kalau tidak salah banyak batu-batu dan tempat yang cocok sebagai persembunyian kita. Kurasa kita bisa turun ke bawah, lalu mencari tempat yang baik di situ." "Ya, kita ke sana saja," kata Lucy-Ann. "Aku kepingin melihat air terjun itu lagi." Setelah itu anak-anak bersiap-siap untuk tidur. Mereka berbaring saling merapat, karena dingin. Dinah mengambil pullover yang dijadikan bantal, lalu dipakainya. Tiba-tiba ia menjerit, mengagetkan anak-anak yang lain. "Hii! Ada sesuatu merayapi tubuhku — mungkin tikus!" "Ah, bukan," kata Philip dengan nada senang. "Itu Lizzie ia sudah kembali padaku. Ini dia!" Memang begitulah halnya. Entah dengan cara bagaimana kadal kecil itu bisa menemukan Philip kembali, setelah tadi minggat ketika kedua laki-laki itu datang. Philip memang mempunyai daya tarik istimewa terhadap binatang liar! "Kau tak usah khawatir, Dinah," katanya. "Lizzie sudah aman dalam kantongku sekarang. Kasihan — pasti ia pusing, ketika terjatuh dari atas pohon tadi." "Lizzie pusing," kata Kiki dengan segera. "Lizzie pusing!" "Sudahlah — kita tidur saja sekarang," kata Jack. "Dan kau, jangan berbisik, Kiki!" "Hidup Ratu," kata Kiki. Setelah itu ia bungkam. Anak-anak masih mengobrol sebentar. Tak lama kemudian Dinah dan Lucy-Ann terlelap, disusul oleh Philip. Jack berbaring menelentang. Kiki bertengger pada pergelangan kakinya. Jack menatap langit, memandang bintang-bintang yang bertaburan. Pikirannya melayang ke Bibi Allie. la teringat, bahwa mereka berjanji pada ibu Philip dan Dinah, tidak akan bertualang lagi. Tapi ternyata pada malam mereka mengucapkan janji itu, mereka ikut pesawat terbang yang tak dikenal'menuju ke suatu lembah asing, di mana rupa-rupanya ada 'harta karun' yang tersembunyi. Luar biasa! Luar biasa — Tahu-tahu Jack sudah tertidur. Bintang-bintang di langit menerangi keempat anak yang tidur dengan cahaya pudar, bergerak melintas di cakrawala sampai akhirnya fajar menyingsing di timur. Cahaya bintang padam satu-satu. Pagi itu Philip cepat bangun. Ia memang bermaksud demikian, karena tidak tahu kapan pagi itu kedua orang tak dikenal itu hendak datang untuk mencari 'orang' yang mereka dengar suaranya kemarin petang. Philip membangunkan anak-anak yang lain. Tidak dipedulikannya omelan mereka dalam keadaan setengah tidur. "Tidak, Dinah! Kau benar-benar harus bangun," kata Philip. "Kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Ayo, bangun! Awas — nanti kumasukkan Lizzie ke dalam kerah bajumu." Mendengar itu, Dinah cepat-cepat bangun. Ia melayangkan tangan, hendak menempeleng Philip, tapi abangnya itu cepat-cepat menghindar. Pukulan Dinah mengenai Kiki, yang menjerit karena kaget "Wah, maaf, Kiki," kata Dinah. "Aku tak sengaja memukulmu! Kasihan, Kiki!" "Kasihan, kasihan!" kata Kiki. Burung kakaktua itu terbang menjauh, takut kalau-kalau Dinah mengayunkan tangannya lagi. "Kita sarapan cepat-cepat saja," kata Jack. "Dengan sardin, biskuit dan susu saja. Kalau tidak salah, aku melihat sekaleng sardin di bagian atas salah satu karung kita. Ya, betul ini dia!" Anak-anak melihat asap mengepul di lembah, di tempat kedua laki-laki itu. Jadi ternyata mereka pun sudah bangun. Anak-anak bergegas sarapan. Setelah selesai, Dinah buru-buru memasukkan kaleng-kaleng yang sudah kosong ke dalam liang kelinci yang terdekat. Rumput di bagian bawah pembaringan mereka ditegakkan kembali, supaya tidak nampak mencolok. "Kurasa, sebaiknya sebagian besar dari bekal makanan kita sembunyikan saja di tempat yang baik," kata Philip. "Kita membawa secukupnya saja untuk bekal hari ini. Akan merepotkan saja, jika kedua karung yang berat-berat itu kita bawa ke mana-mana." "Apakah tidak bisa kita sembunyikan saja di tengah semak belukar di sini?" kata Dinah mengusulkan. "Tumbuhnya kan rapat sekali, takkan ada yang menduga di situ ada apa-apa. Nanti jika kita perlu bekal lagi, kita bisa mengambilnya setiap waktu." Anak-anak yang lain setuju. Kedua karung itu lantas dimasukkan ke tengah belukar. Dan ternyata memang tidak kelihatan, kecuali jika ada orang menerobos ke tengah-tengah belukar untuk memeriksa. Anak-anak mengangkat selimut mantel serta buntalan pakaian yang dijadikan bantal, lalu berangkat. Jack dan Philip membawa kaleng-kaleng makanan. Jack masih membawa kamera dan teropongnya pula. Jadi mereka tidak bisa berjalan cepat, karena bawaan cukup berat. Mereka menempuh jalan yang sudah pernah dilalui. Ketika sampai di bagian terbuka yang ditumbuhi rumput dan semak berbunga, mereka duduk sebentar untuk beristirahat. Menurut perasaan mereka, kecil sekali kemungkinannya kedua laki-laki yang di bawah membuntuti mereka. Keduanya pasti sibuk mencari-cari di sekitar kandang sapi. Tiba-tiba Jack melihat kilatan cahaya di kejauhan. Dengan cepat ia merebahkan diri. Disuruhnya anak-anak yang lain berbuat begitu juga. "Ada orang sedang meneropong di bawah," katanya. "Kalau kita bertiarap, ada kemungkinannya tidak terlihat. Aku baru saja melihat kilatan sinar yang terpantul pada lensa. Sialan! Tak terpikir olehku kemungkinan bahwa mereka akan mengamat-amati lereng gunung ini dengan teropong. Kalau mereka sampai melihat kita, pasti mereka akan langsung mengejar!" "Yuk, kita merangkak ke batu besar itu, lalu bersembunyi di belakangnya," kata Philip. "Ayo! Jika kita sudah ada di situ, nanti kita bisa melanjutkan perjalanan ke air terjun.". Bab 10 TEMPAT PERSEMBUNYIAN YANG BAIK Anak-anak merasa lega, ketika sudah sampai di belakang batu besar. Mereka merasa yakin, di situ mereka pasti takkan bisa terlihat dari bawah. Philip memandang berkeliling. Cekungan memanjat yang mereka telusuri sehari sebelumnya, terletak di sebelah kiri batu. Mereka bisa menuju ke situ, tanpa terlihat dari bawah. "Yuk, kita berangkat. Lewat sini," kata Philip, Ia bergerak sedemikian rupa, sehingga selalu ada semak dan batu yang melindungi ke arah lembah. Anak-anak masuk ke dalam cekungan yang merupakan parit kering itu. Hawa di situ panas, karena tidak ada angin yang bertiup. Mereka sampai ke pinggiran menonjol, yang mengitari bagian gunung yang merupakan tebing terjal. Setelah tebing dikitari mereka kembali berhadapan dengan pemandangan mengagumkan yang mereka lihat sehari sebelumnya. Di atas nampak puing-puing rumah petani yang habis terbakar. Lucy-Ann tidak mau memandang ke arah situ, ia takut sedih, jika memandang balok-balok yang hangus, serta tembok yang runtuh. Mereka berdiri sejenak, sambil mendengarkan bunyi air terjun yang terdengar samar-samar. Kedengarannya seperti ada orkes di kejauhan, yang sedang memainkan lagu yang sederhana tapi indah. "Bagus sekali bunyinya!" kata Dinah. "Bagaimana, Philip? Kita ke atas atau ke bawah sekarang? Jika kita akan ke dasar air terjun lalu bersembunyi di sela batu-batu yang berserakan di situ, kita harus turun ke bawah! Kemarin kita mendaki, melewati bagian yang berbatu-batu." Jack dan Philip berpikir-pikir. "Kurasa sebaiknya sekarang kita ke bawah saja," kata Jack kemudian. "Batu-batu yang terdapat di sebelah atas mungkin berlumut, jadi licin. Kita jangan sampai terpeleset, karena bawaan kita banyak Tangan kita tidak bisa dipakai untuk berpegangan." Anak-anak lantas memilih jalan menuju ke bawah. Philip berjalan di depan, sambil mencari-cari jalan terbaik. Di situ sebenarnya sama sekali tidak ada jalan. la harus memilih tempat-tempat yang aman untuk menginjakkan kaki. Semakin dekat ke air terjun, semakin lebat pula air memercik membasahi. Enak rasanya, karena mereka agak kepanasan. Mereka melewati suatu tikungan. Setiba di balik tikungan itu, mereka langsung berhadapan dengan air terjun. Bukan main megahnya! Lucy-Ann tertahan napasnya karena kagum dan asyik. Ia tertegun, sambil menatap ke depan. "Keras sekali bunyinya!” seru Jack, berusaha mengalahkan bunyi air. "Perasaanku bergelora dibuatnya." "Aku juga begitu,' kata Dinah. "Mendengar bunyinya, aku lantas kepingin menari-nari. Dan berteriak-teriak!" "Kalau begitu, kita lakukan saja!" kata Jack, lalu mulai menandak-nandak dan berteriak-teriak seperti orang sinting. Anak-anak yang lain ikut-ikutan. Kecuali Lucy-Ann. Ia masih tetap tertegun, sambil memandang air terjun. Tidak lama kemudian ketiga anak yang berjingkrak-jingkrak tadi berhenti, karena kehabisan tenaga. Saat itu mereka berada di atas sebuah batu besar yang pipih bagian atasnya. Batu itu basah kena air yang memercik dari bawah. Mereka belum sampai di dasar air terjun, tapi baru kira-kira tiga perempat perjalanan ke bawah. Bunyi air memekakkan telinga. Air yang berhamburan begitu deras, sehingga kadang-kadang mereka merasa sulit bernapas. Semuanya terasa sangat mengasyikkan! "Nah," kata Jack kemudian, setelah puas memandangi air terjun, "sekarang kita harus mencari tempat bersembunyi yang baik. Kurasa orang-orang itu takkan berpikir akan mencari kita di sini." Mereka mencari-cari gua atau tumpukan batu yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Lucy-Ann nampak agak ragu. "Kurasa aku tidak sanggup menahan keberisikan ini terus-menerus," serunya pada Jack. "Kepalaku pusing mendengarnya." "Lizzie pusing," sela Kiki. Burung kakaktua itu juga ikut-ikut berteriak-teriak tadi, dipengaruhi bunyi air terjun yang begitu dahsyat. “Yah, apa boleh buat," kata Jack "Tapi sebentar lagi kau pasti akan terbiasa." Tapi Lucy-Ann masih tetap ragu kelihatannya. Ia merasa yakin, takkan mungkin bisa membiasakan diri pada bunyi gemuruh itu, yang tidak berhenti barang sekejap pun. Ia takkan bisa tidur karenanya. Anak-anak berkeliaran sekitar air terjun. Mereka tidak mau terlalu mendekati, karena air yang memercik. Batu-batu di sekitarnya nampak basah semua. Tidak kelihatan satu tempat pun yang nampaknya nyaman dan kering, untuk menyimpan barang-barang mereka. "Selimut-selimut kita pasti akan lembab, karena percikkan air yang meresap," kata Dinah. "Dan siapa mau, berbaring di atas selimut basah. Ah — kurasa ide ini ternyata tidak begitu baik." Sementara itu Jack sudah memanjat lagi, agak ke atas. Ia sampai di suatu tempat yang ditumbuhi tanaman pakis raksasa. Tanaman itu tumbuh menjulur ke bawah. Kelihatannya bagus sekali seperti tirai hijau yang lebat. Jack berpikir-pikir. Mungkin mereka bisa bersembunyi di belakang tumbuh-tumbuhan itu. Ia berseru kaget, begitu tangannya menyingkapkan daun-daun pakis yang menjulur ke bawah. Anak-anak lainnya tidak mendengar ucapannya, karena sebisingan air terjun. "Astaga!" kata Jack pada dirinya sendiri. "Ternyata ada gua di belakang pakis ini. Pasti dalamnya kering, karena air yang memercik tertahan daun-daun yang menutupi. Pakis ini seolah-olah tirai tebal. He! Ayo, semuanya kemari!" Tapi anak-anak yang lain tidak mendengar panggilannya itu. Jack tidak menunggu lebih lama lagi. Ia langsung menerobos pakis. Ia sampai dalam ruangan gua. Tempat itu agak gelap. Tapi kering. Langit-langit di situ agak rendah. Lantainya beralas lumut. Jack merabanya. Kering! Rupanya apabila tanaman pakis mati pada musim gugur, percikkan air bisa masuk ke dalam gua, sehingga lumut tumbuh subur karena mendapat kelembaban. Tapi kini, pada musim panas, lumut kering dan terasa lembut ketika diraba. Seperti pembaringan yang empuk, berwarna hijau. "Ini tempat yang benar-benar cocok untuk kita," kata Jack dengan gembira. "Benar-benar hebat! Takkan ada yang bisa melihat kita di sini karena terhalang pakis yang menutupi di depan." Pada satu sisi gua itu terdapat bagian yang agak menonjol ke depan, seperti bangku. "Barang-barang bisa kita letakkan di situ," kata Jack pada dirinya sendiri. "Lalu jika mantel kita hamparkan di atas lumut ini, kita akan bisa berbaring dengan nyaman. Aku harus memberi tahu anak-anak!" Rupanya agak lama juga ia baru ke luar lagi, karena sementara anak-anak sudah merasa kehilangan. Mereka berseru keras-keras, memanggil-manggil. "Jack! Jack! Di mana kau? Jack!" Jack mendengar suara mereka ketika ia mendorong daun-daun pakis ke samping lalu menjengukkan kepala ke luar. Dinah dan Kiki tiba-tiba melihat muka Jack di sela daun-daun pakis, tidak jauh di atas kepala. Kiki terpekik kaget, lalu langsung terbang menghampirinya. "Lihatlah!" seru Dinah memanggil Philip dan Lucy-Ann. "Itu Jack, bersembunyi di belakang pakis yang besar itu!" Jack membuat corong dengan kedua belah tangannya, lalu berseru keras-keras untuk mengalahkan keberisikan bunyi air terjun. "Naiklah kemari! Aku menemukan tempat yang bagus!" Anak-anak yang lain bergegas naik. Jack mendorong daun-daun pakis ke samping, supaya mereka bisa masuk dengan bebas. "Silakan masuk ke kamarku!" katanya dengan sopan. "Senang sekali bahwa kalian bisa datang" Ia menirukan gaya seorang tuan rumah yang menyilakan tamu-tamunya masuk. Begitu anak-anak melewati tirai tumbuhan hijau dan masuk ke gua, mereka langsung berseru dengan gembira. "Aduh, indahnya tempat ini! Takkan ada yang bisa menemukan kita di sini!" "Di lantai terhampar permadani hijau — permadani lumut!" "Bunyi air terjun tidak begitu terdengar di sini! Kita bisa bicara secara biasa!" "Untunglah, jika kalian menyukainya," kata Jack merendah. "Aku kebetulan saja menemukannya tadi. Sempurna, kan?" Lucy-Ann merasa lega, karena di tempat itu bunyi air terjun tidak begitu bising seperti di luar. Dinah senang merasakan keempukan lumut di bawah kaki. Sedang Philip menyukai keamanan tempat persembunyian itu. Takkan ada yang bisa menemukan mereka di situ — kecuali secara kebetulan. "Yuk — kita ambil saja barang-barang yang kita tinggalkan di atas batu tadi," kata Dinah, yang selalu menyenangi kerapian. "Di sini cukup banyak tempat untuk segala-galanya. Kaleng-kaleng makanan kita akan kuletakkan di atas batu yang menonjol itu." "Langit-langit di sini rendah, kepala kita nyaris menyentuhnya jika kita berdiri tegak," kata Philip. Dihampirinya tanaman pakis yang menutupi lubang masuk, menyebabkan ruangan gua itu menjadi agak gelap. Ketika daun-daun hijau itu ditepikan, cahaya matahari masuk ke dalam, sehingga ruangan menjadi terang. "Nanti sebaiknya sebagian dari daun-daun pakis itu kita ikat, supaya ada cahaya masuk ke dalam," katanya. "Dari sini kita bisa melihat air terjun dengan jelas. Kita juga bisa melayangkan pandangan ke segala arah. Jadi jika ada orang datang, kita akan bisa melihatnya dengan segera!" "Aku tidak berkeberatan tinggal di sini selama beberapa waktu," kata Lucy-Ann dengan nada senang. "Di sini aku merasa aman." "Mungkin kita bahkan harus lama tinggal di sini," kata Philip. "Tapi tempat ini memang enak.” "Kedua orang itu pasti takkan bisa menemukan kita di sini," kata Jack. "Mustahil!" Ia menyingkapkan daun-daun pakis yang menutupi, dan diikatnya sebagian. Anak-anak duduk sebentar di atas lumut menikmati kehangatan sinar matahari yang masuk ke dalam gua. Setelah itu mereka turun lagi, ke tempat selimut serta barang-barang lain ditinggalkan. Barang-barang itu diangkut ke tempat mereka yang baru. Dinah mengatur barang-barang yang tidak perlu dipakai pada bangku batu. Rapi kelihatannya di situ. "Malam ini kita akan tidur di atas pembaringan empuk," katanya. Kiki bertengger di atas bahu Jack, sambil memandang ke luar. Dilihatnya pemandangan yang indah di situ. Paling depan air terjun dengan pelangi yang membentang di sana sini. Kemudian menyusul lereng gunung yang terjal. Lalu jauh di bawah nampak lembah yang hijau, yang terhampar sampai ke kaki lereng gunung-gunung yang terjal di seberang. Saat itu sudah waktunya makan lagi. Anak-anak merasa lapar. Mereka melirik-lirik kaleng makanan yang berjejer-jejer di atas rak batu. Jack mencari-cari alat pembuka kaleng. "Hati-hati, jangan sampai hilang," kata Philip. "Itu milik kita yang paling berharga saat ini." "Jangan khawatir, takkan mungkin hilang," kata Jack, ia membuka sebuah kaleng. Kiki memperhatikan dengan kepala terteleng ke samping. Burung kakaktua itu menyukai kaleng-kaleng itu. Karena isinya enak-enak. Beberapa -saat kemudian anak-anak sudah makan dengan lahap, sambil memperhatikan air terjun di depan mereka. Asyik rasanya duduk-duduk sambil makan di situ, dengan pemandangan indah di depan mata, dengan alas lumut yang empuk, serta sinar matahari yang menghangatkan tubuh. "Aneh — kita ini kelihatannya selalu saja terlibat dalam berbagai petualangan," kata Jack. "Tapi mudah-mudahan Bill dan Bibi Allie tidak khawatir memikirkan kita. Coba kita bisa memberi kabar pada mereka." "Tak mungkin," kata Philip. "Kita terasing sendiri di sini, tanpa ada kemungkinan berhubungan dengan orang lain — kecuali kedua laki-laki itu Aku benar-benar tidak tahu, apa yang harus kita kerjakan berikutnya. Untung saja bekal makanan kita sekarang banyak." "Sebaiknya kita kembali ke semak di mana menyembunyikan sisa bekal kita, lalu membawanya kemari selekas mungkin," kata Jack. "Lucy-Ann, bagaimana jika kau kami tinggalkan di sini bersama Dinah, sementara aku dan Philip pergi mengambil barang-barang? Kami pasti harus bolak-balik beberapa kali, karena tidak mungkin semuanya terbawa sekali jalan." "Ya, pergilah — kami pasti aman di sini," kata Dinah, sambil menyodorkan potongan ikan salem yang terakhir dari kaleng pada Kiki. "Siang ini saja kalian berangkat. Kiki lebih baik ditinggal di sini, menemani kami." Bab 11 GUA GEMA Siangnya Jack berangkat bersama Philip Mereka tahu bahwa masih cukup banyak waktu untuk pergi ke semak di mana karung-karung berisi makanan disembunyikan, lalu membawa ke gua. Mungkin mereka mampu membawa karung-karung itu seorang satu. "Tapi kita harus waspada," kata Jack mengingatkan. "Kedua laki-laki itu pasti sedang mencari-cari di bawah, Jangan sampai ketahuan oleh mereka. Kalian berdua benar tidak apa-apa jika kami tinggal sendiri?" "Jangan khawatir," kata Dinah dengan santai. Anak itu senang, karena tidak perlu ikut turun dan kemudian ikut mengangkat kedua karung yang berat-berat itu ke gua. Ia merebahkan diri di atas lumut, yang terasa sangat empuk. Jack mengalungkan tali teropong ke lehernya. Alat bantu penglihatan itu dibawanya, karena mungkin ada gunanya nanti untuk mengamat-amati kedua laki-laki itu dari jauh. Sambil berjalan ke luar bersama Philip, ia masih sempat berseru pada kedua anak perempuan yang tinggal di dalam gua. "Jika kalian nanti kebetulan melihat ada orang lain di dekat-dekat sini, jangan lupa dengan segera melepaskan tali yang mengikat daun-daun pakis ini, ya?" serunya. "Dengan begitu mulut gua akan terlindung lagi sepenuhnya. Lucy-Ann, jaga jangan sampai Kiki menyusul kami!" Kiki bertengger di bahu Lucy-Ann. Jack yang menaruhnya di situ. Lucy-Ann memegangi pergelangan kaki kakaktua itu erat-erat. Kiki menguak dengan sedih, karena tahu bahwa ia tidak boleh ikut dengan Jack dan Philip. "Sayang, sayang!" katanya dengan nada sedih. Jambulnya ditegakkan Kelihatannya galak saat itu. Tapi Lucy-Ann tidak mau melepaskan pegangan, sampai Jack dan Philip sudah tidak kelihatan lagi. Setelah itu barulah Kiki dilepaskan. Dengan segera burung kakaktua itu terbang ke luar, lalu bertengger di atas batu. Ia mencari-cari Jack. "Dalam sumur," katanya sambil bersungut-sungut "Burung gagak dalam sumur." "Ah, kau ini mengoceh terus," kata Lucy-Ann. "Kasihan Kiki!" kata Kiki sambil menggertakkan paruhnya keras-keras. "Kiki yang malang!" Ia terbang kembali ke dalam gua. Dinah tidur nyenyak. Ia terkapar di atas lumut yang empuk. Mulutnya ternganga. Kiki terbang menghampiri. Kepalanya dimiringkan ke samping. Ia memperhatikan mulut Dinah yang ternganga. Kemudian dicabutnya lumut sedikit dengan paruhnya yang bengkok. Melihat gelagatnya, Lucy-Ann cepat-cepat berteriak. "Kiki! Awas, kalau kau berani memasukkannya ke dalam mulut Dinah!" Lucy-Ann mengenal baik kebandelan burung kakaktua itu. "Kau nakal!" "Bersihkan kakimu," kata Kiki dengan sebal, lalu terbang ke bagian belakang gua. Lucy-Ann membalikkan tubuhnya. Sambil menelungkup. diperhatikannya terus burung kakaktua itu. Kiki sedang kesal, jadi ia perlu diamat-amati. Matahari memancar ke dalam gua. Hawa panas sekali di situ. Lucy-Ann menarik tali yang mengikat daun-daun pakis. Dengan segera ruangan gua terlindung lagi, sehingga sinar matahari tidak bisa masuk. Keadaan menjadi remang-remang gelap. Dinah sama sekali tidak terbangun. Lucy-Ann berbaring menelungkup lagi. Ia berpikir, mengingat-ingat segala kejadian yang sudah lewat Bunyi air terjun kini terdengar samar, karena tirai daun pakis tebal sekali. "Kiki," panggil Lucy-Ann. "Di mana kau, Kiki?" Tidak terdengar suara jawaban burung itu. Lucy-Ann memicingkan mata, berusaha melihat di mana Kiki berada. Pasti burung konyol itu sudah merajuk lagi, karena tidak diajak oleh Jack dan Philip! "Kiki! Ayo ke sini!" panggil Lucy-Ann. "Kemarilah, mengobrol dengan aku. Nanti kau kuajari lagu baru." Tapi tidak terdengar jawaban Kiki. Bahkan menguak pun tidak. Padahal Kiki selalu membalas jika diajak bicara. Juga apabila ia sedang merajuk. Lucy-Ann memandang ke arah belakang gua. Kiki tidak nampak di situ. Kemudian Lucy-Ann memperhatikan tempat penyimpanan bekal makanan. Tidak, Kiki juga tidak ada di situ! Ke mana burung itu? Ia tak mungkin terbang ke luar, karena ada tirai daun pakis yang menghalangi. Jadi mestinya masih ada dalam gua! Di tempat perbekalan ada sebuah senter. Lucy-Ann mengambilnya, lalu menyalakannya. Ia menyorotkannya berkeliling gua. Tapi Kiki tetap tidak bisa ditemukan. Kini Lucy-Ann mulai gelisah. Dinah dibangunkan. Sambil menggosok-gosok mata, anak itu duduk. Ia agak kesal, karena dibangunkan. "Ada apa?" tukasnya. "Padahal sedang enak-enaknya tidur!" "Aku tidak bisa menemukan Kiki," kata Lucy-Ann. "Aku sudah mencari ke mana-mana." "'Paling-paling pergi menyusul Jack," kata Dinah, semakin jengkel. Ia merebahkan diri lagi, sambil menguap lebar-lebar. Lucy-Ann menggoncang-goncangnya. "Jangan tidur lagi, Dinah. Sungguh, baru saja Kiki masih ada di sini — ia terbang ke belakang — tapi kini tahu-tahu ia lenyap!" "Biar saja — nanti kan kembali dengan sendirinya," kata Dinah. "Jangan ganggu aku lagi, Lucy-Ann." Dinah memejamkan matanya kembali. Lucy-Ann tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Ia takut pada Dinah. Anak itu bisa galak sekali, kalau marah. Lucy-Ann mendesah pelan. Ia ingin Jack dan Philip cepat-cepat kembali. Aduh, apakah yang terjadi dengan Kiki? Lucy-Ann bangun, lalu pergi ke belakang. Batu di situ berlipat lipat. Di balik salah satu lipatan terdapat rongga yang gelap. Lucy-Ann menjenguk di situ. Dikiranya Kiki bersembunyi di situ. Burung iseng itu kadang-kadang memang suka menyembunyikan diri, untuk mengejutkan orang yang mencari dengan seruan, "Huh!" Tapi Kiki ternyata tidak ada di situ. Lucy-Ann menyorotkan senter ke atas dan ke bawah memeriksa rongga itu. Tiba-tiba ia tertegun. Cahaya senter terarah ke suatu tempat. "Wah — rupanya di sini ada liang!" kata Lucy-Ann. "Ke situ rupanya Kiki tadi masuk!" Ia merangkak masuk ke dalam liang itu, yang letaknya agak tinggi. Kira-kira setinggi bahu. Liang itu tidak lebar, hanya cukup lapang untuk dimasukinya. Lucy-Ann mengira ia akan sampai di gua lain, di seberangnya. Tapi ternyata tidak! Liang itu agak menuju ke atas, berupa terowongan yang bulat dan sempit. Lucy-Ann merasa yakin, Kiki pasti masuk ke dalam liang aneh yang gelap itu. "Kiki!" serunya, sambil menyorotkan senter ke depan. "Di mana kau, Goblok? Ayo kembali!" Tidak didengarnya suara jawaban Kiki. Lucy-Ann merangkak terus, sambil menduga-duga berapa panjangnya liang itu. Bentuknya nyaris sebulat pipa. Mungkin liang itu dulu tempat air mengalir ke bawah. Tapi sekarang liang itu kering. Di dalamnya tak terdengar lagi bunyi deru air terjun, Walau Lucy-Ann sudah mendengarkan 'baik-baik. Tempat itu sangat sunyi. "Kiki! Kiki!" Dalam tidur, Dinah mendengar seruan itu. Ia bangun, lalu duduk dengan perasaan sebal. Tapi ia tidak melihat Lucy-Ann dalam gua. Kini ia yang merasa takut! Diingatnya kata Lucy-Ann tadi, bahwa Kiki tiba-tiba lenyap. Dan kini, kelihatannya Lucy-Ann yang menghilang. Tirai daun pakis terjulur ke bawah, menutupi mulut gua. Lucy-Ann takkan mungkin pergi ke luar, tanpa memberi tahu Dinah terlebih dulu. Dinah memeriksa ruangan gua dengan seksama. Tapi Lucy-Ann tetap tidak ditemukan. Aduh— apakah yang terjadi dengan anak itu, dan dengan Kiki? Saat itu terdengar suara teriakan sekali legi. Kedengarannya samar-samar, seperti di kejauhan Dinah pergi ke bagian belakang gua. Ia menemukan celah yang tersembunyi di situ. Ia bergegas, mengambil sebuah senter lagi yang terdapat di rak batu, lalu menerangi celah yang di belakang. Matanya terbelalak karena heran, ketika melihat sepasang sepatu menjulur ke luar dari sebuah liang, yang letaknya kira-kira setinggi bahu dari dasar gua. Dipegangnya pergelangan kaki Lucy-Ann, lalu ditariknya. Sambil menarik, Dinah berteriak-teriak "Kau mau ke mana, Lucy-Ann? Ada apa dalam lubang itu?" "Aku tidak tahu, Dinah," balas Lucy-Ann sambil berteriak pula. "Kebetulan saja aku menemukannya. Kurasa Kiki tadi masuk kemari. Apakah sebaiknya aku terus saja, untuk mencarinya? Tap kau juga harus ikut." "Baiklah," kata Dinah. "Kau masuk saja dulu.” Lucy-Ann beringsut-ingsut semakin jauh dalam liang sempit itu. Tahu-tahu liang melebar. Diterangi sorotan senter, Lucy-Ann melihat bahwa di bawahnya ada suatu gua Tapi gua ini sangat lapang! Ia berhasil keluar dari liang, lalu memandai berkeliling gua. Kelihatannya mirip bangsal, tapi bangsal di bawah tanah. Langit-langitnya tinggi sekali. Entah dari sudut mana dalam ruang remang-remang yang luas itu terdengar suara bernada murung. "'Kasihan, kasihan!" "Di sini kau rupanya, Kiki!" seru Lucy-Ann. Ia kaget, karena seketika itu juga ia mendengar gema, "Kiki, Kiki, Kiki!" Bunyinya aneh dan asing! "Cepat, Dinah!" seru Lucy-Ann. Perasaannya tidak enak, mendengar bunyi gema itu. "Cepat Dinah, Dinah!" Gema sua a memantul dari segala arah. Kiki cepat-cepat datang ke tempat Lucy-Ann. Burung itu ketakutan. Begitu banyak terdengar suara dalam gua itu! Siapakah yang berteriak-teriak itu? Burung kakaktua tidak mengenal gema. "Kiki yang malang," celotehnya ketakutan. "Kasihan Kiki!" "Kiki, Kiki, Kiki," terdengar gemanya. Kiki bergidik sambil memandang berkeliling. la men-cari-cari, siapa yang memanggilnya. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa. Tiba-tiba ia menguak dengan keras, seolah-olah menantang. Seketika itu juga terpantul suaranya dan segala arah. Kedengarannya, seolah-olah ruang gua itu penuh dengan burung kakaktua. Kiki benar-benar tercengang. Masa — ada begitu banyak burung dalam ruangan gelap itu, tapi ia tidak melihat seekor pun? Sementara itu Dinah muncul dari dalam liang, lalu berdiri di samping Lucy-Ann. "Wah! Luasnya tempat ini!" katanya. “Tempat ini, patini, ini!" bunyi gemanya. "Segala ucapan kita menggema di sini," kata Lucy-Ann. "Aneh!" "Aneh, aneh!" kata gema. "Lebih baik kita berbisik-bisik," kata Dinah sambil berbisik. Seketika itu juga ruang gua dipenuhi suara bisikan misterius. Bunyinya malah semakin mengerikan kedua anak perempuan itu. Mereka saling mendekap ketakutan. Dinah yang paling dulu sadar. "Itu kan hanya gema," katanya. "Gua seluas ini memang sering bergema. Aku ingin tahu, adakah orang lain yang pernah ke sini sebelum kita!" "Kurasa tidak ada," kata Lucy-Ann. Ia menyorotkan senternya berkeliling. "Bayangkan — mungkin saat ini kita menginjakkan kaki di tempat yang belum pernah didatangi manusia!" "Yuk — kita memeriksa tempat ini sebentar," kata Dinah. "Kelihatannya tidak banyak yang bias dilihat Tapi biar saja, sambil menunggu Jack dan Philip kembali." Kedua anak perempuan itu melangkah lambat-lambat dalam gua besar yang gelap. Bunyi langkah mereka menggema. Sekali Dinah bersin. Dengan sekejap mata terdengar bunyi mengejut beruntun-runtun, dari segala arah. Dinah dan Lucy-Ann sampai kaget mendengarnya. "Jangan bersin lagi, Dinah," kata Lucy-Ann. “Tidak enak rasanya mendengar bunyi gemanya. Lebih seram daripada suara Kiki menguak tadi!" Mereka sudah hampir mengitari seluruh gua, ketika mereka sampai ke sebuah lorong yang menuju ke luar. Lorong itu sempit, tapi tinggi - diapit dinding batu. "Coba lihat itu!" kata Dinah tercengang. "Di sini ada lorong. Mungkin dari sini kita bisa menuju ke salah satu tempat" "Mungkin saja," kata Lucy-Ann. Matanya bersinar-sinar. "Jangan lupa, kedua orang itu kan kemari karena hendak mencari harta karun! Kita tidak tahu harta karun macam apa—tapi mungkin saja barang itu tersembunyi di salah satu tempat di pegunungan sini." "Kalau begitu kita telusuri saja lorong ini," kata Dinah. "Yuk, Kiki! Kami tidak ingin meninggalkan dirimu di sini." Kiki terbang menghampiri, lalu bertengger di bahu Dinah. Kedua anak perempuan itu memasuki lorong sempit berdinding batu itu. Mereka tidak bercakap-cakap. Cahaya senter mereka menerangi lorong di depan mereka. Apakah yang akan mereka temukan nanti? Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 12 DI BALIK AIR TERJUN Lorong itu ternyata berkelok-kelok, dan agak Inenurun Dasarnya tidak rata, sehingga kedua Anak perempuan itu berkali-kali tersandung. Pada tu tempat langit-langit sangat menurun, sehingga keduanya terpaksa merangkak untuk bisa melewati. Tapi dengan segera ruangan di atas kepala menjadi lapang kembali. Setelah agak lama berjalan, mereka mendengar bunyi sesuatu yang tidak mereka ketahui. Bunyi itu berat. berderu! Dan tidak henti-hentinya terdengar. “Bunyi apa itu?" kata Dinah. "Apakah kita sekarang sudah mendekati perut gunung, Lucy-Ann? Itu kan bukan bunyi api yang berkobar-kobar? Bunyi apakah itu yang begitu dahsyat, perut bumi?" "Aku tidak tahu," kata Lucy-Ann lirih Seketika itu juga ia ingin kembali. Api yang menderu- deru dalam bumi? Hii — ia sama sekali tidak kepingin melihatnya! Baru membayangkannya saja, napasnya sudah langsung terasa sesak. Tapi Dinah tidak ingin kembali — karena sudah terlanjur berjalan sampai di situ. "Apa? Kita kembali, sebelum tahu sampai ke mana lorong ini," katanya. "Tidak bisa! Jack dan Philip pasti tertawa terpingkal-pingkal nanti, jika mereka mendengar cerita kita. Kita jarang mendapat kesempatan menemukan sesuatu lebih dulu dari mereka berdua. Siapa tahu — mungkin kita nanti bahkan menemukan harta karun yang entah apa itu, Lucy-Ann!" Lucy-Ann sama sekali tidak peduli terhada harta karun. Hanya satu yang diingininya saat itu yaitu kembali ke gua yang dikenalnya, ke gua yang aman dengan tirai pakisnya yang hijau. "Kalau begitu, kau saja kembali sendiri," tukas Dinah. "Dasar penakut!" Tapi Lucy-Ann lebih takut lagi disuruh kembali sendiri lewat gua gema. Karena itu mau tidak mau. ia terpaksa ikut dengan Dinah. la berjalan dekat sekali di belakang anak itu, sementara bunyi yang menderu-deru masih terdengar terus. Makin lama semakin keras! Akhirnya kedua anak itu tahu, apa yang menimbulkan bunyi itu. Ah — tentu saja, air terjun Bodoh sekali mereka tadi, tidak memikirkar kemungkinan itu. Tapi kedengarannya memang lain, dari dalam gunung! "Ternyata kita tadi tidak berjalan menuju ke .ialam gunung," kata Dinah. "Lorong ini ujungnya di salah satu tempat dekat air terjun. Tapi di mana ya, tepatnya?" Mereka kaget sekali, ketika akhirnya lorong mulai agak terang. Lorong itu menikung, dan mereka sampai di suatu tempat yang remang-remang. Keremangan itu bergerak-gerak. Aneh! Dari arah depan terasa datang tiupan angin sejuk, membasahi rambut mereka. "Lucy-Ann!" seru Dinah dengan heran. "Ternyata kita sampai di belakang air terjun. Lihatlah, itu kan air — yang menyiram dengan deras dari atas! He — kau bisa mendengar aku? Aduh, bisingnya suara air!" Lucy-Ann tegak seperti terpaku, dengan mata menatap ke depan, la kaget mendengar bunyi seribut itu. Air terjun membentuk tirai tebal yang memisahkan tempat mereka berada dari dunia luar. Air menghambur ke bawah, berkilat-kilat dan memantulkan berbagai warna, tanpa henti. Kede-rasannya mengagumkan kedua anak perempuan itu. Mereka merasa diri mereka begitu kecil dan lemah, ketika mereka memandang banyaknya air yang tercurah ke bawah, dekat sekali di depan mereka. Mereka merasa kagum, karena bisa berdiri dekat sekali padanya, tapi tidak apa-apa — kecuali basah sedikit karena kabut lembab yang memenuhi tempat itu. Pinggiran lorong tempat mereka sangat lebar. Lebarnya sama dengan air terjun. Pada salah satu pinggirnya terdapat sebongkah batu yang tingginya selutut. Kedua anak perempuan itu duduk di situ, sambil memperhatikan pemandangan mengagumkan di depan mereka. ' Apa kata Jack dan Philip nanti?" kata Dinah. "Yuk, kita tinggal di sini sampai mereka kembali. Jika kita tetap duduk di atas batu ini — di pinggir air terjun — mereka tentunya bisa melihat kita nanti. Keduanya pasti tercengang, jika melihat kita melambai-lambai dari sini. Baik dari atas maupun dari bawah tidak ada jalan untuk sampai kemari. Satu-satunya jalan lewat belakang, dari lorong yang kita lalui tadi." "Ya kita kagetkan mereka nanti," kata Lucy-Ann. la sudah tidak takut lagi sekarang. "He— dari sini kita bisa melihat gua kita! Maksudku, yang kelihatan tanaman pakis besar yang tumbuh di depannya. Kita akan bisa dengan mudah melihat Jack dan Philip, apabila mereka kembali nanti." Selama itu Kiki diam saja. Burung itu kaget ketika tahu-tahu berada di belakang dinding yang terdiri dari air mengalir, la duduk bertengger sambil memperhatikan air terjun. Sekali-sekali matanya terkejap. "Mudah-mudahan saja Kiki tidak mencoba terbang, menembus air terjun," kata Lucy-Ann dengan nada cemas. "Kalau ia mencoba juga pasti ia akan mati terbanting ke batu di bawah karena terseret air!" "Kiki tidak sekonyol itu," kata Dinah. "la tahu apa yang akan terjadi, jika ia melakukan perbuatan seperti itu. Tapi ada kemungkinan ia akan terbang ke luar lewat pinggir. Kalau itu dilakukan olehnya, takkan berbahaya!" Lama juga anak-anak itu duduk di situ. Rasanya tidak bosan-bosannya mereka memandang air terjun yang menderu-deru, Tiba-tiba Lucy-Ann berseru pelan, sambil memegang lengan Dinah. "Lihatlah! Jack dan Philip-kah yang datang itu? Ya, betul - itu mereka! Mereka mengangkut sebuah karung. Bagus! Sekarang bekal makanan kita pasti cukup." Mereka memperhatikan kedua anak laki-laki itu berjalan dengan susah payah di sela batu- batu, menuju gua tempat persembunyian mereka. Tiba-tiba Dinah kaget "Ada apa?" kata Lucy-Ann, ketika melihat perubahan air muka anak itu. "Lihatlah — ada orang mengikuti mereka!" kata Dinah. "Itu — he, itu kan satu dari kedua laki-laki itu! Dan itu satunya lagi! Aduh, kurasa Jack dan Philip tidak tahu bahwa mereka diikuti dari belakang dengan diam-diam. Pasti kedua laki-laki itu hendak mengintai ke mana mereka pergi. Aduh — tempat persembunyian kita pasti ketahuan sekarang! Jack! Philip! Jack — awas!" Dinah maju sampai ke pinggir sekali. Sambil berpegang pada pakis yang tumbuh di situ, ia menjulurkan badannya ke luar. la melambaikan tangan sambil berteriak-teriak. Dinah lupa, yang bisa mendengar dan melihatnya bukan Jack dan Philip saja, tapi juga kedua laki-laki itu. Tapi sayang — Jack dan Philip begitu sibuk memilih jalan sambil membawa karung yang berat, sehingga mereka tidak mendengar dan melihat Dinah. Tapi kedua laki-laki yang membuntuti mereka melihatnya. Keduanya menatap dengan heran. Dari kejauhan mereka tidak bisa mengetahui apakah Dinah laki-laki atau perempuan, orang dewasa atau anak-anak Soalnya, pinggiran air terjun bergerak-gerak terus, dan kadang-kadang menutupi Dinah dari pandangan. Mereka hanya bisa melihat bahwa ada orang menandak-nandak sambil melambai-lambai di balik air terjun. "Lihatlah!" kata laki-laki yang satu pada temannya. "Itu — di balik air terjun! Rupanya di situ mereka bersembunyi. Astaga! Bagaimana mereka bisa sampai di situ?" Kedua laki-laki itu menatap air terjun sambil melongo. Mata mereka bergerak-gerak, mencari- cari jalan yang menuju ke tempat sosok tubuh samar itu menandak-nandak Sementara itu Jack dan Philip sudah sampai di depan pakis yang menutupi lubang gua. Mereka masih tetap belum menyadari adanya kedua laki-laki yang mengikuti dari belakang, maupun Dinah yang melambai-lambai dari balik tirai air terjun. Philip menyibakkan daun- daun pakis ke samping, sementara Jack menarik karung yang berat ke dalam. Napasnya tersengal-sengal, karena karung itu berat Sesampai di dalam, keduanya menjatuhkan diri ke atas lumut . Jantung mereka berdegup keras, karena capek mendaki lereng terjal menuju gua sambil membawa karung berat Mula- mula keduanya sama sekali tidak menyadari bahwa Dinah dan Lucy-Ann tidak ada di situ. Tidak begitu jauh di bawah mulut gua, kedua laki-laki tadi kebingungan. Bagitu terpesona mereka tadi memperhatikan Dinah yang menandak-nandak di balik air terjun, sehingga tidak sempat melihat Jack dan Philip menyelinap di sela pakis, masuk ke dalam gua. Ketika mereka mengalihkan pandangan dari air terjun, mereka melongo. Tahu-tahu kedua anak laki-laki tadi sudah lenyap! "Eh! Ke mana mereka?" tanya Juan. "Tadi kulihat masih ada di atas batu itu!" "Ya, betul! Tapi kemudian perhatianku teralih pada orang yang melambai-lambai dari balik air terjun. Hanya sebentar saja aku tidak memperhatikan, dan tahu-tahu mereka kini lenyap," kata Pepi menggerutu. "Tapi sudah jelas ke mana mereka pergi. Pasti mereka mengambil jalan yang menuju ke air terjun itu. Di situlah mereka rupanya bersembunyi. Pintar juga — karena siapa yang akan mengira ada orang bersembunyi di balik air yang terjun dengan deras itu! Nah — sekarang kita sudah tahu di mana mencari mereka. Kini kita menuju ke air, lalu mendaki tebing sampai ke pinggiran yang nampak itu. Sesampai di situ, kita bereskan mereka!" Kedua orang itu mulai memanjat ke bawah, dengan harapan akan menemukan jalan yang menuju ke pinggiran yang menonjol di balik air terjun. Sulit sekali gerak mereka di atas batu- batu yang licin dan basah. Dalam gua, Jack dan Philip dengan segera pulih dari rasa capek Mereka duduk, lalu memandang berkeliling mencari-cari Dinah dan Lucy-Ann. "He — ke mana mereka?" kata Jack dengan heran. "Mereka tadi kan berjanji akan tetap ada di sini, sampai kita kembali. Aduh — jangan-jangan mereka keluyuran sendiri! Pasti tersesat mereka nanti!" Kedua anak perempuan itu tidak ada dalam gua. Itu sudah jelas. Jack dan Philip tidak tahu bahwa di bagian belakang ada liang, tersembunyi di balik lipatan batu. Karenanya mereka kebingungan. Jack menyingkapkan daun pakis, lalu memandang ke luar. la kaget sekali, ketika langsung melihat kedua laki-laki yang merangkak-rangkak di sela batu- batu besar, tidak jauh dari air terjun. "Coba kaulihat ke luar sebentar!" katanya pada Philip. Tirai pakis ditutupnya sedikit, karena khawatir kalau kelihatan dari luar. "Itu — kedua laki-laki itu! Aduh, jangan-jangan mereka tadi melihat kita masuk kemari! Bagaimana mereka bisa sampai di sini? Tadi kita kan melihat mereka di dekat pesawat, ketika kita hendak menuju ke semak belukar itu!" Sementara itu Dinah sudah menjauh dari pinggir lorong, la tidak tahu pasti, apakah kedua laki-laki yang di luar itu melihat Jack dan Philip, ketika keduanya masuk ke dalam gua yang tersembunyi di balik tanaman pakis besar. Tapi pokoknya, ia harus memberi tahu mereka tentang munculnya kedua laki-laki itu. Dinah merasa yakin, baik Jack maupun Philip pasti tidak tahu bahwa mereka tadi dibuntuti. "Yuk, Lucy - Ann!" desa Dinah. "Kita harus kembali ke tempat Jack dan Philip. Aduh — coba kaulihat kedua laki-laki itu! Kurasa mereka sedang berusaha mencari jalan kemari. Rupanya mereka tadi melihat atau melambai lambai. Ayo cepatlah sedikit!" Lucy-Ann mengikuti Dinah, menyusur lorong gelap yang berliku-liku, kembali ke gua gema. la gemetar karena menahan ketegangan. Dinah berjalan secepat mungkin, sambil menyorotkan senter ke depan. Kedua anak perempuan itu sama sekali lupa pada Kiki. Burung kakatua itu ditinggal di belakang air terjun. Kiki masih bertengger di atas batu, dengan sayap basah kena kabut, la memperhatikan kedua orang yang memanjat dengan penuh minat, sehingga tidak mendengar ketika Dinah dan Lucy-Ann pergi. Akhirnya anak-anak perempuan itu sampai lagi di gua gema. Dinah berhenti berjalan, la berpikir sebentar. "Nah! Di mana liang tadi?" katanya. "Liang tadi, liang tadi, tadi," terdengar gema suaranya, seolah-olah mengejek. "Ah —diam!" bentak Dinah. "Diam, diam, diam!" bentak gema membalas. Dinah menyorotkan senternya ke sana dan ke sini. Secara kebetulan saja ia menemukan liang yang mereka lalui tadi. Dengan segera ia sudah menyusup ke dalam, lalu merangkak maju. Lucy-Ann menyusul dekat sekali di belakangnya. Kasihan — ia merasa seolah-olah setiap saat akan ada yang memegang kakinya dari belakang, la hampir saja membentur sepatu Dinah di depannya, karena ia bergegas- gegas merangkak, la ingin cepat-cepat keluar dari liang sempit itu. Jack dan Philip masih mengintip kedua laki-laki yang di luar dari sela-sela daun pakis, ketika kedua adik mereka masing-masing muncul dari liang di belakang gua. Kedua anak perempuan itu menghampiri abang-abang mereka dengan gerak menyelinap. Setelah dekat, mereka langsung menubruk. Jack dan Philip nyaris terpekik karena kaget! Philip memukul, karena mengira yang menyergap dari belakang itu pasti musuh! Dinah menjerit, karena telinganya kena pukul, la membalas. Detik berikutnya kedua anak itu sudah berguling-guling di atas lumut "Aduh, aduh, jangan berkelahi!" keluh Lucy-Ann ketakutan. "Ini kami, Jack! Philip! Kami — aku dan Dinah!" Philip membebaskan diri dari pitingan Dinah, lalu duduk Sementara Jack memandang sambil melongo. "Eh — dari mana kalian tiba-tiba muncul?" tanyanya. "Aduh, kaget sekali kami tadi, ketika kalian tiba-tiba menerpa dari belakang! Ke mana kalian tadi?" "Di belakang ada liang, dan kami masuk ke situ," kata Dinah menjelaskan sambil memandang Philip dengan mata melotot "He, tahukah kalian bahwa kedua laki-laki itu tadi mengikuti kalian dari belakang? Mereka tadi tidak jauh di belakang kalian. Kami sudah takut saja, jangan-jangan mereka melihat kalian masuk kemari!" "Mereka mengikuti kami?" kata Jack. "Aduh, kami sama sekali tidak tahu! Coba kalian mengintip sebentar ke luar. Lihatlah, apakah mereka mencari-cari kami di bawah." Bab 13 AMAN DALAM GUA Keempat anak itu mengintip ke luar, dari sela-sela daun pakis. Lucy-Ann menahan napas. Ya, betul — itu dia kedua laki-laki tadi. Keduanya merangkak-rangkak di atas batu, dekat sekali ke air terjun.- "Tapi apa yang mereka cari di bawah situ?" kata Jack dengan heran. "Kenapa di situ mereka mencari kami? Tentunya mereka tahu bahwa kami tadi tidak lewat di situ, apabila mereka membuntuti kami." "Rupanya mereka melihat aku melambai-lambai memanggil kalian, dari balik air terjun," kata Dinah. "Lalu mereka menyangka, di situ tempat persembunyian kita. "Memanggil kami dari balik air terjun?" kata Philip, ia benar-benar bingung sekarang. "Apa maksudmu, Dinah? Sudah sinting kau ini rupanya!" "Aku tidak sinting!" tukas Dinah. "Di situ aku dan Lucy-Ann berada, ketika kalian berdua mendaki tebing sebelah sana itu, menuju ke sini. Kami berdiri di belakang air terjun. Aku tadi berusaha setengah mati untuk menarik perhatian kalian, karena aku ingin memberi tahu bahwa kalian diikuti oleh kedua laki-laki itu." 'Tapi — tapi bagaimana kalian bisa sampai di belakang air terjun? Kalian ini macam-macam saja! Kan berbahaya, memanjat-manjat batu yang licin — hanya untuk pergi ke balik air terjun. Coba kalau kalian tadi...." "Kami tadi bukan lewat situ, Goblok," kata Dinah. "Kami melalui jalan lain." la bercerita pada Jack dan Philip, tentang liang sempit yang terdapat di belakang gua dan yang menuju ke gua gema, dan juga tentang lorong yang menuju ke belakang air terjun. Kedua anak laki-laki itu mendengarkan ceritanya dengan terheran heran. "Astaga! Luar biasa!" kata Jack. "Yah — kurasa kedua laki-laki itu melihatmu berdiri di situ, Dinah — dan karenanya sesaat tidak memperhatikan kami berdua. Dan tepat ketika itulah kami menyusup kemari, menembus tirai pakis ini. Untung saja!" "Rupanya itulah sebabnya kenapa mereka sekarang merangkak-rangkak di atas batu-batu yang basah dan licin itu," kata Philip sambil nyengir. "Mereka mengira di situ tempat persembunyian kita, di belakang air terjun! Karena itulah mereka berusaha datang ke situ, untuk mengejar kita. Mereka tidak tahu bahwa bukan itu jalan yang sebenarnya. Aku tidak melihat kemungkinan mereka akan bisa sampai ke balik air terjun, lewat batu-batu yang terdapat di depan itu. Jika mereka tidak berhati-hati, mungkin mereka akan dihanyutkan air, lalu terbanting ke bawah." Lucy-Ann bergidik, karena ngeri. "Hii! Aku tidak mau melihatnya," katanya. Ia tidak mau lagi mengintip dari sela-sela daun pakis. Tapi Dinah serta kedua anak laki-laki itu memandang terus dengan asyik. Mereka merasa aman dalam gua yang terlindung pakis. Asyik rasanya memperhatikan kedua laki-laki itu berjalan tergelincir-gelincir di atas batu. Keduanya nampak semakin marah. Kiki masih tetap ada di balik air terjun. Diperhatikannya kedua laki-laki yang merangkak-rangkak itu dengan penuh minat. Tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh. Tertawanya itu didengar kedua laki-laki itu, mengatasi deru air terjun. Mereka kaget, lalu berpandang-pandangan. "Kaudengar itu?" tanya Juan. "Ada yang menertawakan kita! Awas, jika aku berhasil menangkap mereka! Mereka mestinya ada di balik air terjun itu. Tapi bagaimana mereka bisa masuk ke situ?" Air terjun tidak bisa dimasuki, baik dari atas maupun dari bawah. Mustahil! Kenyataan itu disadari kedua laki-laki itu, setelah berulang kali mereka terjatuh. Sekali seorang dari mereka terpeleset dari atas batu yang licin, nyaris terjerumus ke dalam air yang membanjir dengan deras dari atas. Akhirnya mereka duduk pada suatu bagian batu yang menonjol, agak jauh dari tempat air terjun. Mereka menyeka kepala Keduanya kepanasan, sementara pakaian mereka basah kuyup. Mereka marah-marah. Tapi mereka juga bingung. Dari mana datangnya kedua anak laki-laki tadi? Mungkinkah di dekat-dekat situ ada perkemahan? Atau jangan-jangan mereka bersembunyi di daerah pegunungan! Ah — tidak mungkin — karena mestinya mereka akan kelihatan, berkeliaran mencari makan! Tidak — mestinya orang-orang tak dikenal itu hanya sedikit jumlahnya, dan mereka yang mengirim kedua anak laki-laki itu mencari makanan. Anak-anak memperhatikan kedua laki-laki itu dengan asyik. Mereka senang melihat kedua musuh mereka bingung. Asyik rasanya bisa melihat segala gerak-gerik keduanya, sementara mereka sendiri tidak kelihatan. Bahkan Lucy-Ann pun kini berani mengintip lagi, setelah tahu bahwa kedua laki-laki itu tidak lagi berjalan sambil terpeleset-peleset dekat air terjun. "Lebih baik kita pergi saja dari sini," kata Juan kemudian. "Jika di situ tempat mereka bersembunyi, biar saja dulu. Lebih baik kita menjemput orang lagi, untuk membantu kita menjaga di sini. Dengan begitu setiap orang yang muncul dari balik air terjun, pasti akan ketahuan. Yuk — aku sudah bosan dengan urusan ini!" Kedua laki-laki itu berdiri. Jack memperhatikan mereka dari sela-sela daun pakis Apakah mereka hendak kembali ke pondok di lembah? Atau mungkin ke pesawat terbang? Jack cepat-cepat menutup dedaunan di depannya dan mendorong anak-anak yang lain ke belakang, ketika ia melihat bahwa kedua laki-laki itu akan lewat agak dekat ke gua. “Jangan bicara," kata Jack memperingatkan, "mungkin mereka nanti lewat di dekat sini." Kedua laki-laki itu ternyata lewat dekat sekali. Mereka memilih jalan yang lewat di depan gua. Anak-anak tidak bergerak sedikit pun, sementara di luar terdengar langkah kedua laki-laki yang lewat. Lucy-Ann nyaris terpekik, ketika dengan tiba-tiba tanaman pakis bergoyang-goyang. Cepat-cepat didekapkannya tangan ke mulut. "Mereka masuk— kita ketahuan," pikir anak itu. Jantungnya nyaris berhenti berdenyut. Pakis bergoyang-goyang lagi. Tapi hanya itu saja rupanya yang terjadi. Bunyi langkah semakin menjauh. Anak-anak mendengar kedua laki-laki itu bercakap-cakap. Tapi apa yang mereka katakan, tidak terdengar jelas. "Sudah pergikah mereka?" tanya Dinah dalam hati. Dipandangnya Jack dengan alis terangkat Jack mengangguk Ya, mereka sudah pergi. Aduh — bukan main ngerinya anak-anak tadi, ketika pakis bergoyang-goyang. Padahal salah seorang dan kedua laki-laki itu hanya berpegang ke situ, supaya jangan terjatuh. Juan dan Pepi sama sekali tidak menduga bahwa tak sampai semeter dan tempat mereka lewat tadi bersembunyi empat orang anak. Jack menyibakkan tirai daun pakis, untuk mengintip lagi ke luar. Kedua laki-laki itu tidak kelihatan. Jack merasa yakin, mereka pasti sudah kembali ke lembah. Tapi ia tidak berani keluar, untuk memeriksa. "Lebih baik kita diam-diam saja dulu di sini," katanya. "Kita makan dulu. Setelah itu aku akan menyelinap ke luar, untuk melihat keadaan. Mana Kiki?" Anak-anak tidak ada yang tahu.. Tapi kemudian Dinah teringat, burung kakaktua itu tadi ikut dengannya, di belakang air terjun. Lalu ketika ia bersama Lucy-Ann bergegas-gegas kembali untuk memberi tahu Jack dan Philip mengenai kedua laki-laki itu, karena gugup mereka berdua lupa pada Kiki. Jadi mestinya kakaktua itu masih ada di sana. "Sialan! Kalau begitu, sebaiknya kita jemput saja," kata Jack. "Tapi saat ini aku malas bergerak, karena capek sehabis mengangkat karung berat sejauh tadi." Saat itu terdengar suara di luar gua. Kedengarannya suram, dan seperti menyesali. "Kiki yang malang, sendirian saja! Kasihan Kiki, kasihan sayang!" Anak-anak tertawa mendengarnya. Dengan hati-hati Jack menyibakkan daun-daun pakis. sedikit ke samping. Karena siapa tahu, mungkin kedua laki-laki tadi masih ada di sekitar situ. Kiki masuk dengan sikap memelas. Ia terbang ke bahu Jack, lalu menggigit-gigit telinga tuannya itu dengan perasaan sayang. "Semua masuk!" Kini suara Kiki sudah terdengar agak riang lagi. Ia menggertak-gertakkan paruh. Dinah mengusap-ngusap jambul burung itu, sehingga tegak. "Rupanya Kiki tadi terbang dari balik air terjun, lalu langsung menuju kemari," katanya. "Kiki pintar! Burung pintar!" "Hidup Ratu,” kata Kiki. "Bersihkan kaki!" Jack mengeluarkan alat pembuka kaleng, sementara anak-anak memilih kaleng-kaleng serta botol-botol yang akan dibuka. Biskuit masih ada yang tersisa dalam sebuah kaleng. Anak-anak memilih corned beef untuk dimakan bersama biskuit itu, serta buah aprikos sekaleng besar. Jack menyibakkan tirai daun pakis agak ke samping, sehingga ada sinar matahari yang masuk ke dalam gua. Sekali lagi anak-anak makan dengan nikmat. Kiki kena marah, karena terlalu rakus memakan buah aprikos. Agak lama juga anak-anak itu menunggu, sebelum mereka berani muncul dari dalam gua. Matahari sudah rendah di sebelah barat, ketika akhirnya Jack keluar dari balik tanaman pakis, lalu memandang berkeliling dengan cermat. Kedua laki-laki tidak kelihatan lagi. Jack menemukan tempat yang agak tinggi. Jika ia duduk di situ, ia akan bisa memandang ke segala arah dengan leluasa. "Kita silih berganti menjaga," katanya. "Setengah jam lagi kau datang ya, Philip!" Anak-anak melewatkan waktu sambil berkeliaran di sekitar tempat itu. Mereka asyik memakan buah-buahan hutan. Nikmat sekali rasanya! Kiki juga ikut makan, sambil tidak henti-hentinya bergumam, "Hmmm!" Anak-anak silih berganti menjaga di tempat yang agak tinggi. Tapi tidak ada sesuatu yang luar biasa Penglihatan menjadi samar-samar, ketika matahari sudah menghilang di balik gunung. Mereka lantas masuk lagi ke dalam gua. "Pasti nyaman tidur di sini malam ini," kata Lucy-Ann senang. "Lumut ini empuk dan halus sekali, seperti beledu kelihatannya." Ia mengusap-usap lumut yang terhampar di dasar gua. Rasanya juga halus, seperti beludru. Ia membantu Dinah menghamparkan mantel-mantel serta selembar selimut sebagai alas tidur nanti, serta menggulung pullover dan baju hangat untuk dijadikan bantal. "Sekarang kita minum air buah dan makan beberapa potong biskuit," kata Dinah, ketika anak-anak sudah duduk semua di atas pembaringan mereka. Ia membagi-bagikan biskuit Sementara itu Jack mendorong daun-daun pakis ke samping, lalu mengikatnya erat-erat. "Udara harus bisa masuk dengan leluasa," katanya. "Hawa di sini pasti pengap jika daun-daun ini kita biarkan tertutup, karena kita kan berempat!" "Berlima," kata Dinah. "Jangan lupa Kiki!" "Enam." kata Philip, sambil mengeluarkan kadalnya dari dalam kantong. "Jangan lupa Lizzie!" "Aduh, kusangka kadal itu sudah minggat," kata Dinah dengan perasaan sebal. "Aku tidak melihatnya sehari ini." Sehabis makan dan minum, anak-anak merebahkan diri. Sementara itu di luar sudah gelap. Enak rasanya berbaring di atas lumut yang empuk. "Coba aku bisa tahu pasti bahwa Ibu tidak gelisah memikirkan kita, aku pasti bisa lebih menikmati petualangan ini," kata Philip, sambil menyelubungi tubuh dengan selimut. "Aku sama sekali tidak tahu di mana kita berada. Tapi yang jelas, tempat ini sangat indah. Bagus ya, bunyi air terjun itu — kedengarannya seperti nyanyian di malam hari!" "Ya — tapi nyanyian yang nyaring," kata Jack, Ia menguap. "Walau begitu, tidurku takkan terganggu karenanya. Aduh, Kiki! Jangan bertengger di perutku, dong! Aku heran, kenapa kau selalu memilih tempat itu kalau mau tidur. Sana — bertenggerlah di kakiku!" "Bersihkan kakimu," tukas Kiki. Tapi ia terbang juga ke kaki Jack. Ia bertengger di situ, lalu menyelipkan kepalanya di bawah sayap. "Besok, aku dan Philip perlu mendatangi gua gema yang kalian ceritakan tadi, serta berdiri di balik air terjun," kata Jack. "Bayangkan — masa kalian berdua bisa mengalami petualangan kecil seperti itu!" "Apa — petualangan kecil?" kata Lucy-Ann. "Itu petualangan besar — apalagi ketika tiba-tiba kami menyadari bahwa kami berada di belakang air terjun!" Agak lama juga Dinah masih terjaga. Ia takut sekali apabila ia sudah tertidur, tahu-tahu Lizzie merayap di atas tubuhnya. Ia sudah berjaga-jaga, siap untuk merasakan rayapan kaki-kaki kecil. Tapi Lizzie sudah meringkuk di ketiak Philip. Anak itu merasa geli tergelitik, setiap kali kadal kecil itu bergerak-gerak. Suara air terjun berderu-deru terus sepanjang malam. Angin bertiup, menggerak-gerakkan daun pakis. Seekor binatang liar, mungkin seekor rubah, datang menghampiri gua. Ia berdiri di luar, sambil mengendus-endus. Dengan segera ia lari, ketika tercium bau manusia di dalam. Anak-anak tidur nyenyak semuanya. Tidak ada yang bergerak. Hanya Philip yang terbangun sejenak, karena merasakan gerakan-gerakan. Ternyata Lizzie yang terbangun, lalu pindah tempat ke belakang telinga Philip. Anak itu memejamkan matanya kembali. Menjelang pagi, anak-anak terbangun karena terdengar bunyi berderum-derum. Bunyi itu bahkan lebih nyaring daripada deru air terjun. Jack langsung duduk. Ia heran. Bunyi apakah itu? Bunyi itu makin lama makin nyaring. Kedengarannya kini seperti datang dari atas. Apakah itu? "Itu bunyi pesawat!" seru Jack. "Pesawat terbang! Ada pesawat datang untuk menyelamatkan kita! Cepat — kita harus ke luar!" Anak-anak bergegas ke luar. Mereka mendongak, mencari-cari pesawat yang datang. Mereka melihatnya, bergerak meninggi. Rupanya tadi pesawat itu terbang dekat sekali ke lereng gunung, dan membangunkan mereka karena bunyinya yang keras. "Pesawat itu datang untuk menyelamatkan kita?" tukas Philip. "Mana?! Itu kan pesawat yang kita tumpangi kemari, Goblok!" Bab 14 TAWANAN YANG MALANG Betul — itu pesawat kedua laki-laki itu! Anak-anak sempat mengenalinya, sementara mereka memperhatikannya menghilang di kejauhan. Pesawat itu menuju ke barat. "Mungkinkah pesawat itu hendak kembali ke pelabuhan udara di mana pesawat Bill berada?" kata Jack menduga-duga. "Aku ingin tahu, apakah Bill mengetahui tindak-tanduk kedua orang itu?" "Kita sendiri saja tidak begitu banyak tahu, kecuali bahwa mereka ke sini untuk mencari harta karun," kata Philip. "Tapi aku sama sekali tidak bisa membayangkan, harta karun apa yang menurut mereka ada di sini!" "Aku juga tidak bisa menebaknya," kata Jack. "Tapi kini mereka pergi. Akan kembali lagikah mereka kemari?" "Itu pasti," kata Philip. "Mereka takkan cepat menyerah! Mungkin mereka sekarang hendak menyampaikan laporan bahwa di sini ada orang lain — dan siapa tahu, mungkin mereka mengira kita juga sedang mencari-cari harta karun itu! Dan mungkin saja mereka nanti kembali dengan membawa bantuan, untuk mencari kita!" "Aduh," kata Lucy-Ann kaget "Aku tidak mau mereka berhasil menemukan kita!" "Apakah kedua-duanya yang pergi itu?" kata Philip. "Kurasa ya," jawab Jack "Tapi bisa saja kita memeriksa sebentar. Jika yang berangkat hanya seorang, temannya pasti saat ini ada di dekat pondok mereka. Ia takkan tahu kita ini terdiri dari berapa orang! Mungkin saja ia mengira ada orang dewasa di antara kita — dan karenanya tidak berani pergi jauh-jauh seorang diri!" Tapi ketika anak-anak kemudian pergi menyelidiki, mereka tidak melihat siapa-siapa dalam lembah. Di tempat perkemahan tidak nampak asap mengepul. Api sudah dipadamkan. Sedang pintu pondok kini dikunci. Anak-anak menggoncang-goncang dan menendang-nendang daun pintu, tapi tetap tidak bisa dibuka. "Wah — coba kita tahu orang-orang itu hendak pergi dengan pesawat terbang, kita kan bisa membonceng," kata Jack sambil nyengir. "Aku ingin tahu, kapan mereka kembali — jika mereka kembali, tentunya!" "Kurasa paling cepat besok pagi," kata Philip. "Tentunya mereka akan berangkat lagi malam-malam. Yuk — kita memeriksa peti-peti itu lagi." Tapi tak ada yang bisa dilihat di situ. Peti-peti itu masih tetap kosong, dan masih diselubungi terpal. Anak-anak bermain-main selama beberapa jam, lalu makan di bawah pohon. Makanan diambil dari persediaan yang masih tersembunyi di dalam semak belukar. Sehabis makan Philip mengajak kembali ke air terjun. Ia ingin tahu jalan ke gua gema. Ia ingin pergi pula ke balik air terjun. Anak-anak berangkat, setelah menghapus segala jejak yang nampak di sekitar pondok. Tapi sesampai di gua, Jack berseru dengan nada jengkel, sambil merogoh-rogoh kantong. "Ada apa?" tanya Lucy-Ann. "Mau tahu apa yang terjadi? Alat pembuka kaleng tertinggal di lembah!" kata Jack. "Bayangkan — konyol tidak?! Aku tadi berpendapat, mungkin kita masih ingin membuka kaleng makanan lagi. Karena itu alat pembuka kuletakkan di atas akar pohon di mana kita berpiknik — dan rupanya sekarang masih ada di situ. Pokoknya, tidak ada dalam kantongku!" "Aduh, Jack! Kita tidak bisa makan nanti, kalau tidak ada alat pembuka kaleng," kata Philip. Sudah dibayangkannya, malam itu akan kelaparan. "Aduh, kau ini benar-benar keledai goblok!" "Ya, aku tahu," kata Jack sedih. "Yah — apa boleh buat! Aku harus kembali untuk mengambilnya. Philip, kau pergi saja bersama Dinah dan Lucy-Ann melihat gua gema, sedang aku akan turun ke lembah bersama Kiki untuk mengambil alat pembuka kaleng. Sialan! Tapi ini memang salahku sendiri." "Aku ikut, Jack," kata Lucy-Ann. Ia merasa kasihan pada abangnya. "Tidak, nanti kau terlalu capek," kata Jack "Sana — kau ikut saja dengan Philip dan Dinah. Lagi pula, aku bisa lebih cepat kalau berjalan sendiri. Tapi aku istirahat dulu sebentar, sebelum berangkat lagi. Lain kali saja aku melihat gua itu." Ia duduk di atas lumut. Anak-anak yang lain menemani duduk. Mereka merasa kasihan padanya. Mereka tahu, Jack pasti kesal terhadap dirinya sendiri. Tapi lebih mengesalkan lagi, apabila tidak bisa makan. Jadi alat pembuka itu perlu diambil! Setelah beristirahat selama setengah jam, Jack sudah merasa mampu lagi berjalan jauh. Ia segera berangkat, menuruni batu-batu dengan tangkas. Anak-anak yang lain tahu, Jack tidak mungkin tersesat. Semua merasa sudah mengenal baik daerah sekitar lembah. Kiki duduk di atas bahu Jack. Sambil berjalan, keduanya saling bercakap-cakap. Kiki merasa senang, karena kali itu ia sendiri bersama tuannya. Biasanya ada saja orang lain. Mereka berdua saling mengoceh dengan asyik. Akhirnya Jack tiba di bawah pohon, di mana mereka tadi makan-makan. Ia mencari-cari alat pembuka kaleng. Ia sudah khawatir saja, jangan-jangan barang itu tidak ada lagi di situ. Tapi ternyata masih ada, terletak di atas akar. Diambilnya barang itu, lalu dikantongi. "Syukurlah," katanya. "Syukur kukur," oceh Kiki. "Hilang sayang!" "Ya, betul — sayang kalau hilang," kata Jack. "Tapi sekarang kita harus bergegas kembali. Sebentar lagi sudah petang, dan aku tidak ingin kembali dalam gelap. Yuk, Kiki — kita kembali ke atas gunung!" "Jack dan Jill," oceh Kiki. "Jack dan Kiki, maksudmu," kata Jack sambil nyengir, lalu berpaling untuk kembali. Tapi tiba-tiba ia tertegun, lalu memasang telinga. Ia merasa mendengar bunyi yang sudah dikenalnya di kejauhan. Bunyi menderum. "Aduh, Kiki! Begitu cepat mereka sudah kembali?" kata Jack. Ia memandang ke arah barat, di mana langit masih nampak agak terang. "Betul — itu memang pesawat terbang! Tapi apakah pesawat kedua orang itu?” Pesawat terbang itu semakin mendekat Tiba-tiba Jack mendapat akal. Ia lari ke pondok, lalu memanjat sebuah pohon yang letaknya tidak jauh dari tempat api unggun. "Kau harus diam sekarang, Kiki," katanya tegas. "Jangan mengoceh. Mengerti? Sssst!" "Sayang, sayang!" bisik Kiki dengan suara parau. Setelah itu ia membungkam, sambil merapatkan diri ke leher Jack. Pesawat terbang semakin mendekat, berputar makin lama makin rendah. Akhirnya meluncur menuju landasan berumput. Roda-rodanya mencecah tanah, terlambung-lambung sedikit, lalu berhenti. Dari tempatnya bersembunyi, Jack tidak bisa melihat pesawat itu. Tapi ia memperkirakan, orang-orang itu pasti kemudian akan datang ke pondok, atau setidak-tidaknya ke tempat api unggun. Dan perkiraannya tepat! Tidak lama kemudian orang-orang itu muncul. Jack nyaris saja terjatuh, ketika berusaha mengintip mereka dari sela-sela daun. Hari sudah agak gelap, jadi sukar baginya untuk bisa melihat dengan jelas. Ternyata yang datang empat orang. Jack memicingkan mata, berusaha melihat dengan lebih jelas. Dilihatnya bahwa satu dari keempat orang yang datang itu rupanya seperti tawanan, karena tangan orang itu diikat di belakang punggung. Aneh! Orang itu berjalan terhuyung-huyung dengan kepala membungkuk. Dari caranya berjalan terdapat kesan bahwa orang itu merasa pusing. Sekali-sekali ia didorong, supaya berjalan lurus. Mereka menuju ke tempat api unggun. Laki-laki yang bernama Juan menyalakan api, sementara Pepi pergi ke dalam pondok. Diambilnya anak kunci dari kantongnya, lalu dibukanya pintu pondok. Beberapa saat kemudian ia keluar lagi, membawa beberapa kaleng berisi sup dan daging. Laki-laki yang menjadi tawanan duduk di rumput dengan kepala tertunduk. Nampak jelas bahwa ia tidak sehat. Atau ia bersikap begitu, hanya karena takut? Jack tidak mengetahui sebab sebenarnya. Laki-laki yang keempat duduk dekat api. Menurut perkiraan Jack, orang itu bertugas menjaga tawanan. Laki-laki itu diam saja, hanya matanya saja yang bergerak-gerak, memperhatikan Juan dan Pepi. Mulanya kedua laki-laki itu berbicara dengan suara pelan. Jack tidak bisa menangkap kata-kata mereka. Orang-orang itu mula-mula makan sup panas. Disusul dengan daging asin yang disimpan dalam botol. Mereka memakannya dengan roti yang dibawa dari pesawat. Laki-laki yang ditawan memperhatikan mereka makan. Tapi ia tidak ditawari apa-apa. Ketika tawanan itu mengatakan sesuatu dengan suara lirih, Juan tertawa. Ia berbicara pada penjaga. "Bilang padanya, ia tidak akan mendapat makanan maupun minuman sama sekali, sampai ia mau mengatakan apa yang ingin kami ketahui," katanya. Penjaga mengulangi perkataannya itu dalam bahasa yang kedengarannya asing bagi Jack. Tawanan menjawab. Tahu-tahu penjaga menempelengnya. Jack kaget bercampur marah melihat kejadian itu. Bayangkan, memukul orang yang tidak berdaya! Pengecut! Tawanan berusaha mengelak. Kemudian ia membungkuk dengan sikap lesu. "Katanya, kau sudah memiliki peta. Jadi mau apa lagi?" kata si penjaga. "Peta itu tidak bisa kami pahami, karena terlalu ruwet," kata Juan. "Jika ia tidak bisa menjelaskannya besok ia harus menunjukkan jalannya pada kami." Si penjaga menerjemahkan kata-kata itu pada tawanan, yang kemudian menggeleng. "Katanya, ia terlalu lemah — takkan sanggup berjalan sejauh itu," kata si penjaga. "Kalau begitu, akan kami seret dia," kata Pepi, sambil menyelipkan seiris lidah asin di antara dua keping roti. "Bilang padanya, ia harus menunjukkan jalan pada kami besok. Jika tidak mau, ia takkan diberi makan dan minum. Kalau sudah setengah mati kelaparan, pasti ia menyerah juga akhirnya." Selesai makan, Juan menguap lebar-lebar. "Aku tidur sekarang," katanya. "Dalam pondok ada kursi untukmu, Luis. Tawanan kita, biar menggeletak di lantai saja." Tawanan itu meminta agar ikatan dilepaskan. Tapi permintaan itu tidak diluluskan. Jack merasa kasihan padanya. Sementara itu api unggun dipadamkan, dan keempat laki-laki itu masuk ke dalam pondok. Jack membayangkan bahwa Pepi dan Juan pasti sebentar lagi bisa merebahkan diri mereka di atas kasur. Satu-satunya kursi yang enak di situ, ditempati oleh orang yang bernama Luis. Sedang tawanan yang malang itu harus terkapar di lantai yang keras, dengan tangan terikat ke belakang punggung. Jack menunggu sampai keadaan dirasakannya sudah aman. Lalu dengan hati-hati ia turun dari atas pohon. Selama itu Kiki tidak berbunyi sedikit pun. Jack berjingkat-jingkat, menghampiri pondok, lalu mengintip ke dalam lewat jendela. Dilihatnya ada lilin menyala di dalam. Diterangi cahayanya yang berkelip-kelip, ia bisa mengenali sosok tubuh keempat orang itu. Tawanan nampak sedang berusaha mengatur letak berbaring di lantai. supaya agak nyaman. Saat itu hari sudah hampir gelap. Mudah-mudahan saja aku nanti bisa menemukan jalan kembali ke gua, pikir Jack, Ia merogoh kantongnya. Perasaannya lega, ketika teraba olehnya senter di situ. Ah — syukur barang itu dibawanya tadi! Matanya sangat awas, jadi ia bisa berjalan dengan cukup cepat. Hanya satu dua kali ia tertegun. karena ragu harus lewat mana ia saat itu. Tapi Kiki selalu tahu jalan. Burung kakaktua itu terbang mendahului sedikit, lalu memanggil Jack dengan seruan. Atau suitan! "Untung ada kau, Kiki!" kata Jack. "Kalau tidak, bisa tersesat aku tadi. Anak-anak yang lain sudah gelisah saja memikirkan keadaannya. Ketika hari sudah gelap dan Jack belum muncul juga. Lucy-Ann langsung bermaksud hendak mencarinya. "Pasti Jack tersesat," katanya. Ia sudah hampir menangis. "Ya — dan kita ikut-ikut tersesat pula nanti, jika berkeliaran dalam gelap di daerah pegunungan ini," kata Philip. "Kurasa Jack tadi sibuk mencari-cari alat pembuka kaleng. Ketika ia melihat hari mulai gelap, ia lantas memutuskan lebih baik tidak mencoba kembali malam ini. Pasti besok pagi ia pulang." Anak-anak itu tidak bisa berbuat apa-apa malam itu. Dinah membenahi pembaringan. Ketiga anak itu merebahkan diri di atasnya. Lucy-Ann menangis tanpa suara. Ia merasa yakin, pasti ada sesuatu yang menimpa diri Jack. Kemudian terdengar bunyi gemeresik pelan di dekat gua. Tirai daun pakis tersibak ke samping. Anak-anak yang ada di dalam cepat-cepat duduk. Jantung mereka berdebar keras. Jack-kah yang datang itu — atau orang-orang tak dikenal yang mencari-cari mereka? "Halo!" sapa suara yang mereka kenal baik. Suara Jack! "Di mana kalian?" Ia menyalakan senter dan menyorotkannya ke dalam gua. Dilihatnya wajah tiga orang anak yang memandang dengan gembira. Lucy-Ann buru-buru menubruk abangnya. "Aduh, Jack — kami sangka kau sudah tersesat," katanya. "Apa yang kaulakukan, sampai baru sekarang kembali? Kami sudah lapar sekali! Kau berhasil menemukan kembali alat pembuka kaleng itu?" "Ya — ini dia kubawa! Aku juga membawa berbagai berita," kata Jack "Bagaimana jika aku menceritakannya sementara kita makan?" Bab 15 PENCARIAN YANG SIA-SIA Beberapa kaleng makanan dibuka dengan segera. Kiki terkekeh dengan gembira, ketika melihat buah nenas kegemarannya. Lucy-Ann duduk merapatkan diri pada Jack "Apakah yang kaualami tadi? Cepatlah ceritakan — aku tak sabar lagi!" "Biar aku makan dulu sedikit," kata Jack, menjengkelkan anak-anak yang lain. Ia tahu, mereka ingin sekali mendengar kabar yang dikatakannya tadi. Tapi sebetulnya ia sendiri pun ingin menceritakannya cepat-cepat. Karena itu tidak lama kemudian ia mulai bercerita. "Jadi pesawat itu sudah kembali!" seru Philip, ketika Jack sudah selesai bercerita. "Lalu kedua laki-laki itu, apakah mereka juga datang lagi?" Jack menuturkan pengamatannya, mengenai keempat orang yang turun dari pesawat. Lucy-Ann merasa kasihan, mendengar nasib tawanan yang malang itu. "Aku mulai mengerti sekarang," kata Philip kemudian. "Rupanya di salah satu tempat dalam lembah ini ada harta tersembunyi. Mungkin milik penghuni rumah-rumah yang terbakar di sini. Kedua laki-laki itu mendengar kabar mengenai harta itu, lalu entah dengan cara bagaimana, berhasil menguasai peta yang menunjukkan tempat harta itu disembunyikan. Tapi peta itu tidak bisa mereka pahami. Karena itu mereka lantas menculik seseorang yang mengetahui letak harta itu." "Ya, benar," kata Jack. "Tawanan itu orang asing — maksudku bukan orang Inggris. Mungkin ia dulu pernah tinggal di lembah ini, bahkan mungkin ia sendiri yang menyembunyikan harta itu. Kini ia diculik oleh kedua laki-laki itu, dan akan dipaksa menunjukkan tempat penyembunyian itu pada mereka. Ia tidak diberi makan dan minum, sampai ia bersedia menunjukkan." "Jahat sekali orang-orang itu!" kata Dinah. Anak-anak yang lain sependapat dengannya. "Menurutmu, maukah ia menunjukkannya pada mereka?" tanya Lucy-Ann. "Mudah-mudahan saja, demi keselamatannya sendiri," kata Jack "Tapi baiklah kukatakan apa rencanaku. Kuusulkan, seorang dari kita nanti membuntuti mereka, untuk melihat di mana harta karun itu disembunyikan. Orang-orang itu takkan mungkin bisa membawa semuanya sekaligus. Siapa tahu kita nanti mendapat bantuan, lalu menyelamatkan sisa harta karun. Tidak mungkin itu milik mereka!" "Apakah harta itu. menurut perkiraanmu?" tanya Lucy-Ann Ia sudah membayangkan emas berbatang-batang, serta batu permata yang indah-indah. "Aku tidak tahu," kata Jack. “Tapi kurasa saat ini kita berada di pedalaman benua Eropa. di mana dulu pernah ada perang berkecamuk. Dan kalian tahu juga kan, waktu itu banyak sekali harta yang disembunyikan di berbagai tempat. oleh orang-orang yang baik maupun jahat. Kurasa harta semacam itulah yang kini sedang dicari orang-orang itu. Mereka berbicara dalam bahasa Inggris, tapi mereka bukan orang Inggris. Mungkin orang Amerika Selatan. Tapi aku tidak tahu pasti!" Anak-anak yang lain membisu, memikirkan ucapan Jack. Mungkin ia benar, pikir mereka. Tapi Lucy-Ann merasa kurang enak, membayangkan akan membuntuti orang-orang itu. Bagaimana jika mereka kemudian tahu, lalu berbalik dan menangkap anak yang membuntuti? "Kurasa sebaiknya aku dan Philip saja yang membuntuti besok," kata Jack. "Aku lebih senang jika Dinah dan Lucy-Ann tidak terlibat dalam urusan ini." Ucapannya itu menimbulkan kemarahan Dinah. Sedang Lucy-Ann, dalam hati merasa lega. "Kalau ada sesuatu yang asyik, selalu kalian sendiri yang melakukannya," tukas Dinah. "Tidak — aku harus ikut!" "Kalau kubilang tidak, tetap tidak!" balas Jack, ia menyalakan senter, lalu menyorotkannya ke muka Dinah. "Sudah kukira matamu melotot," katanya. "Sudahlah, Dinah — kau tidak perlu marah-marah. Kau dan Lucy-Ann kan sudah mengalami petualangan kemarin siang, ketika kalian menemukan gua gema dan lorong yang menuju ke belakang air terjun. Sekarang giliran kami, dong!" "Ya deh," kata Dinah menggerutu. Tapi ia tidak mendesak lebih lanjut. Diam-diam Lucy-Ann malah lega. "Mana Lizzie?" tanya Dinah, ia tidak mau tidur, sebelum tahu pasti di mana kadal itu berada. "Tidak tahu," kata Philip mengganggu. "Di salah satu tempat! Barangkali di bawah bantalmu." "Ia ada di sini," kata Jack. "Lizzie menempel di leherku, berseberangan dengan Kiki. Hangat Jeherku jadinya!" "Sayang!" kata Kiki, lalu terkekeh dengan suara lantang. "Diam!" seru anak-anak serempak. Tidak ada yang senang mendengar kekehan Kiki. Burung itu menyelipkan kepalanya ke bawah sayap. Tersinggung rupanya! Anak-anak merebahkan diri di pembaringan. Mereka sudah sangat mengantuk. "Malam kita yang keempat di lembah ini," kata Philip. "Lembah petualangan! Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi sesudah ini." Tidak lama kemudian semuanya sudah pulas. Lizzie berpindah tempat. Dilintasinya tubuh Lucy-Ann, ia meringkuk sambil menempel pada Dinah. Anak itu pasti tidak mau, jika ia tahu. Tapi ia tidak tahu, karena sudah tidur nyenyak. Keesokan paginya anak-anak bangun dengan perasaan riang. "Sungguh," kata Dinah, sambil menurunkan beberapa buah kaleng dari atas rak batu, "aku kini merasa seolah-olah sudah lama sekali tinggal dalam gua ini. Aneh — betapa cepatnya orang akan terbiasa pada hal-hal yang baru." "Bagaimana kita bisa mengetahui kapan orang-orang itu berangkat, dan ke mana arah tujuan mereka?" kata Philip. "Mungkin kau masih ingat, kedua laki-laki itu kan datang ke arah sini, ketika mereka waktu itu berangkat sambil membawa peta," kata Jack. "Kurasa jika kita bersembunyi di batu besar berwarna hitam yang selalu kita lewati dalam perjalanan kemari, mungkin kita akan bisa melihat mereka. Setelah itu dengan mudah kita bisa membuntuti." Sehabis sarapan, keempat anak itu dengan berhati-hati pergi ke batu besar yang berwarna hitam, lalu bersembunyi di belakangnya. Sekali-sekali Jack mengintip, kalau-kalau ada sesuatu yang kelihatan. Setengah jam kemudian, tiba-tiba ia berseru dengan suara tertahan. "'Mereka datang! Keempat-empatnya! Tawanan masih terikat tangannya ke belakang. Kasihan, jalannya terhuyung-huyung." Keempat laki-laki itu lewat, agak jauh dari tempat anak-anak bersembunyi. Tapi mereka nampak dengan jelas. Anak-anak mengenali kedua laki-laki yang datang ke situ bersama mereka. Kata Jack, laki-laki yang satu lagi bernama Luis. Sedang nama tawanan tidak diketahuinya. Tapi kelihatan jelas tawanan itu lemas badannya, karena tidak makan dan minum. "Sekarang kalian tinggal di sini," kata Jack pada Dinah dan Lucy-Ann. "Setidak-tidaknya, sampai kami sudah tidak kelihatan lagi! Sesudah itu kalian harus kembali ke air terjun, lalu tetap berada di sekitar situ — supaya jangan tersesat. Ajak Kiki, Lucy! Lebih baik dia tidak ikut dengan kami." Lucy-Ann mengambil Kiki dari bahu Jack, lalu memegang kaki burung kakaktua itu erat-erat. Kiki menjerit marah. Anak-anak cepat-cepat berpaling, memandang ke arah di mana keempat laki-laki tadi menghilang. Mereka khawatir, jangan-jangan orang-orang itu mendengar jeritan itu. Tapi kelihatannya tidak! Jack bersiap-siap untuk berangkat, bersama Philip. "Aku membawa teropongku," katanya. "Dengan begitu kami nanti tidak perlu terlalu dekat membuntuti, supaya jangan ketahuan. Nah, kami berangkat sekarang!" Kedua anak laki-laki itu pergi sambil menyelinap. Mereka berjalan dari satu tempat yang terlindung, ke tempat aman berikutnya. Mereka masih bisa melihat keempat laki-laki itu berjalan di kejauhan. "Perlukah kita menandai jalan yang kita lewati?" tanya Philip. "Atau akan bisakah kita menemukan jalan kembali nanti?" "Sebaiknya sedapat mungkin kita membuat tanda-tanda, karena siapa tahu," kata Jack. "Nih— aku punya sepotong kapur putih. Kita tandai batu-batu dengannya. Di samping itu kita juga menakik batang-batang pohon." Anak-anak itu meneruskan langkah. Arah mereka mendaki, mengikuti keempat laki-laki yang berjalan di depan. Tapi mereka berjaga-jaga, jangan sampai terlalu dekat Tidak lama kemudian mereka tiba di suatu bagian yang sangat terjal. Sulit sekali berjalan di situ. Permukaan lereng terdiri dari batu-batu lepas. Mereka tergelincir-gelincir terus. "Mudah-mudahan mereka melepaskan ikatan tawanan mereka," kata Jack dengan napas tersengal-sengal. "Aku takkan mau mendaki seperti begini dengan tangan terikat ke belakang. Aku pasti takkan bisa menyelamatkan diri, apabila tergelincir." Ketika mereka akhirnya sampai di ujung bagian yang sulit dilalui itu, orang-orang yang di depan sudah tidak kelihatan lagi. "Sialan!" kata Jack. "Kita terlalu lambat berjalan tadi. Kini orang-orang itu lenyap!" Ia meneropong berkeliling. Kemudian dilihatnya empat sosok tubuh sedang mendaki di sebelah timur, di atas tempat mereka. "Itu mereka!" katanya. "Beres — aku bisa melihat mereka. Lewat sini, Jambul!" Kedua anak itu meneruskan langkah. Kini lebih cepat, karena jalan yang harus dilalui tidak sulit Sambil berjalan mereka memetik buah-buahan liar. Sekali mereka berhenti untuk minum, di suatu mata air jernih yang mengucur dari bawah batu. Mereka terus membuntuti keempat laki-laki yang berjalan di depan. Hanya sekali-sekali saja orang-orang itu lenyap dari penglihatan. Tapi itu pun hanya sebentar saja. Orang-orang itu tidak pernah menoleh ke belakang. Kelihatannya mereka juga tidak meneropong berkeliling. Rupanya mereka tidak beranggapan, akan ada orang membuntuti mereka. Akhirnya Jack dan Philip sampai di bagian lereng yang rusak. Batu-batu besar bergulingan di mana-mana. Pohon-pohon kelihatan patah-patah. Di sana sini nampak tanah dan batu terbongkar. Walau rumput sudah mulai tumbuh lagi di atasnya, tapi masih nampak jelas bahwa di situ pernah terjadi bencana alam. "Kurasa salju longsor," kata Jack "Menurut dugaanku, di sini pernah terjadi hujan salju yang lebat sekali. Salju bertimbun-timbun, lalu merosot ke bawah — membawa serta batu-batu besar, mematahkan pohon-pohon dan merusak lereng. Mungkin terjadinya musim dingin yang lalu." "Mana orang-orang itu?" kata Philip. "Aku tidak melihat mereka lagi. Tadi mereka mengitari tebing itu." "Ya! Sekarang kita harus berhati-hati, pada saat mengitarinya," kata Jack "Mungkin di situ kita bias ketahuan dengan mudah — karena di tempat ini tidak banyak tempat yang bisa di jadikan perlindungan." Dengan berhati-hati sekali keduanya mengitari tebing itu. Untung saja mereka begitu, karena hampir pada saat bersamaan mereka mendengar suara orang bercakap-cakap. Mereka melihat keempat orang tadi. Jack cepat-cepat mendorong Philip ke belakang. Di atas tebing itu tumbuh semak. Kedua anak itu memanjat ke situ, lalu menyeruak di sela-sela dedaunan supaya bisa mengintip ke luar. Ternyata mereka berada di atas semacam parit berbatu-batu. Dalam parit itu pun nampak bekas-bekas salju longsor. Di mana-mana batu bertumpuk-tumpuk. Tawanan orang-orang itu berdiri di depan salah satu tumpukan batu. Tangannya sudah tidak terikat lagi. Ia menuding ke arah batu yang bertumpuk-tumpuk, sambil mengatakan sesuatu dengan suara pelan. Penjaganya menerjemahkan kata-katanya. Jack memasang telinga, berusaha ikut mendengarkan. "Katanya, jalan masuk itu dulu di sini," kata si penjaga. Keempat laki-laki itu memandang batu yang bertumpuk-tumpuk. "Tepatnya di mana?" tukas Juan dengan nada tidak sabar. Dipandangnya tawanan dengan mata melotot. Tawanan itu menuding lagi, sambil menggumam. "Katanya, ia tidak tahu bahwa di sini terjadi batu longsor," kata Luis, si penjaga. "Katanya, rupanya jalan masuk itu sekarang tertutup batu. Jika kalian mau memindahkan sebagian dari batu-batu itu, mungkin kalian bisa menyusup masuk" Juan marah-marah, tapi tidak jelas pada siapa ia marah. Mungkin pada tawanan, tapi mungkin pula pada batu-batu yang menghalangi jalan masuk. Sambil berseru-seru pada Luis dan Pepi agar membantu, ia lantas bergegas-gegas berusaha menyingkirkan batu-batu. Tawanan mula-mula hanya duduk saja dengan murung di atas sebongkah batu. Tapi Juan berseru memanggilnya pula. Dengan lemas tawanan berdiri untuk ikut mengangkat. Tapi tubuhnya terlalu lemah. Tawanan itu mencoba menarik sebongkah batu. Ia terhuyung-huyung, lalu jatuh. Para penawannya membiarkan ia terkapar sementara mereka terus sibuk menyingkirkan batu-batu besar ke tepi. Napas mereka tersengal-sengal. Keringat bercucuran, membasahi kening. Jack dan Philip memperhatikan kesibukan mereka. Dilihat dari tempat persembunyian keduanya, nampaknya mustahil jalan masuk yang tertimbun batu itu bisa dibebaskan lagi. "Kurasa ada beratus-ratus batu besar yang bertumpuk-tumpuk di situ," bisik Jack pada Philip. "Tak mungkin mereka bisa menyingkirkan semuanya!" Kelihatannya ketiga orang itu juga berpendapat demikian. Setelah beberapa waktu sibuk, mereka berhenti mengangkat-angkat. Ketiganya duduk, untuk beristirahat. Luis, si penjaga, menuding tawanan mereka. "Bagaimana dengan dia?" katanya. "Bagaimana cara kita membawanya kembali?" "Ah, beri saja makan dan minum," kata Juan menggerutu. "Nanti kan segar lagi!" "Kita pergi saja sekarang," bisik Philip. "Sebentar lagi mereka pasti berangkat pulang ke lembah. Ayo! Tapi sayang, kita tidak berhasil menemukan apa-apa. Semula aku berharap, akan bisa ikut melihat harta yang dicari." "Jika tempatnya tertimbun di balik batu-batu besar itu, pasti diperlukan alat-alat besar untuk membebaskannya," kata Jack. "Batu-batu sebesar itu — takkan mungkin bisa dipindahkan dengan tangan. Yuk, kita harus cepat-cepat pergi dari sini." Kedua anak itu bergegas pergi. Untung mereka tadi menandai jalan yang dilewati. Kalau tidak, ada kemungkinan mereka tersesat. Setiba di air terjun, dengan segera Dinah dan Lucy-Ann menghujani mereka dengan berbagai pertanyaan. Tapi Jack dan Philip hanya bisa menggelengkan kepala. "Gua tempat harta karun itu tertimbun batu," kata Jack. "Mudah-mudahan saja orang-orang itu tidak langsung putus asa, lalu pergi dari lembah ini. Kalau itu terjadi, kita akan benar-benar terdampar di sini." Bab 16 MENYELAMATKAN TAWANAN Beberapa saat setelah Jack dan Philip sudah berada kembali dalam gua, tiba-tiba Lucy-Ann berseru. Anak itu sedang bertugas menjaga di mulut gua. "He! Ada seorang laki-laki di bawah! Lihatlah — itu, dekat air terjun! Dua orang — tidak, tiga!" Dengan cepat Jack menarik tali yang mengikat daun pakis, sehingga mulut gua tertutup kembali di belakang tanaman itu. Ia menyibakkannya sedikit dengan hati-hati, lalu mengintip ke luar. "Mestinya sudah kuduga mereka akan kembali lewat sini, untuk mencari kita," katanya. "Sialan mereka itu! Satu — dua — tiga orang. Mana tawanan tadi?" "Mungkin roboh di tengah jalan. Kasihan!" kata Philip, yang ikut mengintip ke luar. "Kelihatannya tadi pun sudah lemah sekali." Anak-anak memperhatikan ketiga laki-laki itu, untuk melihat apa yang akan mereka lakukan. Dengan segera niat orang-orang itu sudah kelihatan. Luis dan Juan akan kembali ke pondok di lembah. Sedang Pepi ditinggal dekat air terjun, untuk menjaga di situ, la harus mengamat-amati siapa saja yang keluar-masuk tempat itu, serta memperhatikan jalan yang dilalui. Anak-anak tidak dapat mendengar pembicaraan mereka, tapi niat orang-orang itu sudah jelas. Kemudian Luis dan Juan pergi. Anak-anak tidak ada yang tahu, bagaimana nasib tawanan. Pepi duduk di atas sebuah batu yang menghadap air terjun. Letaknya kira-kira sama tinggi dengan pinggiran lorong di balik air, di mana Dinah dan Lucy-Ann kemarin berada. "Sialan!" tukas Jack. "Bagaimana cara kita keluar-masuk sekarang, tanpa dilihat orang itu? Saat ini ia memang membelakangi kita, tapi siapa tahu kalau ia dengan tiba-tiba berbalik." Lucy-Ann prihatin memikirkan nasib tawanan yang malang. "Bagaimana jika ia jatuh di tengah jalan tadi, lalu dibiarkan terkapar begitu saja," katanya cemas. "Kalau itu yang terjadi, ia bisa mati, kan?" "Kurasa memang begitu," kata Jack, ia pun merasa cemas. "Aduh, Jack! Kita tidak bisa membiarkan dia mati begitu saja," kata Lucy-Ann. Matanya terbelalak ketakutan. "Aku takkan bisa tenang, selama belum tahu bagaimana nasibnya." "Perasaanku juga begitu," kata Jack. Philip dan Dinah mengangguk. "Sikapnya duduk tadi, kelihatan menyedihkan sekali. Aku yakin, orang itu sakit" "Tapi bagaimana kita bisa menyelidiki apa yang terjadi dengan dirinya, selama orang itu menjaga di luar?" kata Philip dengan nada suram. Anak-anak membisu. Urusan itu benar-benar sulit pemecahannya. Tapi tiba-tiba wajah Lucy-Ann nampak menjadi cerah kembali. "Aku tahu akal," katanya. "Ada satu jalan yang pasti, agar Pepi tidak melihat ada orang menyelinap keluar dari gua ini." "Cara yang bagaimana. maksudmu?" tanya Jack. "Jika satu atau dua dari kita pergi ke balik air terjun, lalu di situ menarik perhatian laki-laki yang di luar itu, ia pasti akan terus memperhatikan kita — sehingga tidak melihat ada orang menyelinap keluar dari gua ini," kata Lucy-Ann. "Betul juga," kata Jack. Philip menganggukkan kepala. "Ya, idemu itu bagus! Nah — tunggu apa lagi? Bagaimana jika sekarang ini juga kita mengadakan pertunjukan untuk laki-laki bernama Pepi itu? Lucy-Ann, kalau kau mau, kau bisa menandak-nandak bersama Dinah. Apabila sudah berada di balik air terjun, kalian berdua pasti aman. Orang itu tidak bisa mengapa-apakan kalian, kecuali jika ia tahu jalan lewat sini. Nanti, sementara kalian menarik perhatiannya, aku bersama Philip akan menyelinap ke luar, lalu mencari tawanan itu." "Tapi nanti kalian harus menunggu dulu, sampai sudah melihat kami di balik air terjun," kata Dinah sambil bangkit Bersama Lucy-Ann, ia menyusup masuk ke dalam liang yang terdapat di belakang gua. Jack dan Philip menunggu dengan sabar, sampai kedua anak perempuan itu nampak di balik air terjun. Setelah beberapa saat, Philip menarik lengan Jack. "Itu mereka! Hebat, adik-adik kita! Kelihatannya asyik mereka di sana? Apa itu, yang mereka lambai-lambaikan? Ah, rupanya mereka melepaskan pullover merah mereka lalu melambai-lambai dengannya. Lihatlah, mereka menandak-nandak!" Pepi melihat kedua anak perempuan itu dengan segera. Sejenak ia tertegun, karena kaget Tapi kemudian ia berdiri. Ia berseru-seru, sambil melambai-lambai. Dinah dan Lucy-Ann tidak mengacuhkannya. Keduanya menandak-nandak terus. Sementara itu Pepi berusaha dengan berbagai cara, untuk bisa datang ke balik air terjun. "Sekarang ada kesempatan bagi kita," kata Jack. "Ayo! Perhatian Pepi pasti akan terus terpaku ke arah Dinah dan Lucy-Ann." Dengan cepat Jack dan Philip menyelinap ke luar. Tirai daun pakis dirapatkan kembali di belakang mereka. Keduanya bergegas-gegas pergi, sambil berlindung terus supaya jangan ketahuan. Ketika Dinah dan Lucy-Ann melihat bahwa kedua abang mereka sudah keluar dari gua dengan selamat dan tidak kelihatan lagi, keduanya pergi dari belakang air terjun. Tugas mereka sudah selesai. Sementara itu Jack dan Philip menyelinap terus di sela-sela batu, sambil berjaga-jaga. Mereka baru berhenti sebentar, ketika sudah cukup jauh dari tempat Pepi menjaga. "Nah — sekarang bagaimana?" kata Jack "Kita kembali ke gua yang tertimbun batu, di mana harta itu rupanya berada sambil melihat-lihat barangkali tawanan itu roboh di tengah jalan? Atau kita ke arah yang berlawanan, ke pondok di lembah, untuk -melihat kalau-kalau tawanan itu sudah dibawa kembali ke sana?" "Sebaiknya kita ke pondok," kata Philip sambil berpikir-pikir. "Kurasa kecil sekali kemungkinannya orang-orang itu meninggalkan tawanan mereka begitu saja di tengah jalan. Mungkin mereka masih ingin mengorek keterangan lebih lanjut dari dia." Kedua anak laki-laki itu lantas pergi menuju pondok di lembah. Mereka sudah hafal jalan ke sana! Ketika masih jauh dari tempat itu, mereka sudah melihat asap mengepul. Dari kenyataan itu mereka tahu bahwa kedua laki-laki itu sudah kembali di perkemahan mereka. Tapi mereka tidak nampak. Begitu pula halnya dengan tawanan mereka. Jack dan Philip menyelinap-nyelinap, menghampiri pondok. Mereka mengintip dari sela-sela pohon. Mereka melihat pintu pondok tertutup. Mungkin terkunci. Apakah orang-orang itu ada di dalam? "Dengarlah! Bukankah itu suara mesin pesawat terbang?" kata Philip. "Ya, betul! Apakah orang-orang itu hendak berangkat lagi?" Kedua anak itu menuju ke suatu tempat, dari mana mereka bisa melihat pesawat terbang dengan bantuan teropong. Tidak—ternyata kedua laki-laki itu bukan hendak berangkat lagi. Mereka hanya melakukan sesuatu pada pesawat mereka. Mungkin membetulkan sesuatu. Tapi tawanan tidak ada bersama mereka. "Kau tinggal di sini dengan teropongku, Philip. Awasi terus orang-orang yang di pesawat itu," kata Jack, sambil menyodorkan teropongnya ke tangan Philip. "Kalau mereka berhenti bekerja lalu pergi ke arah pondok, beri tahukan padaku dengan segera. Aku sekarang hendak mengintip ke dalam pondok lewat jendela, untuk melihat apakah tawanan itu ada di dalam. Aku khawatir tentang nasibnya." "Beres," kata Philip, lalu mulai meneropong. Jack bergegas pergi. Tidak lama kemudian ia sudah tiba di pondok. Dicobanya membuka pintu. Ya—ternyata memang dikunci. Kini ia menyelinap ke jendela, lalu mengintip ke dalam. Tawanan itu ada di situ, ia duduk di sebuah kursi. Kelihatannya sangat menyedihkan. Mukanya dibenamkan dalam tangannya. Sementara Jack masih mengintip terus, terdengar orang itu mengeluh. Jack merasa kasihan sekali padanya "Coba aku bisa menolongnya ke luar," pikir "Dengan jalan memecahkan kaca jendela — percuma! Lubangnya terlalu sempit. Aku takkan bisa masuk lewat situ. Dan andaikan bisa, tawanan itu takkan bisa lolos di situ. Apa yang bisa ku lakuan sekarang? Pintu takkan mungkin bisa kudobrak, karena terlampau kokoh!" Dua tiga kali ia mengitari pondok itu. Tapi ia tetap tidak berhasil menemukan jalan masuk. Akhirnya ia berdiri di depan pintu. Ia menatapnya dengan perasaan benci. Pintu jahat! Tapi kemudian ia melihat sesuatu — yang sama sekali tak terduga-duga. Ia melihat sebatang paku tertancap di ambang pintu. Dan pada paku itu tergantung — anak kunci! Sebuah anak kunci berukuran besar! Pasti itulah anak kunci pintu yang dihadapi. Kalau tidak—untuk apa digantungkan di situ? Rupanya orang-orang itu sengaja menggantungkannya di tempat itu, supaya yang datang bisa langsung masuk, tanpa perlu menunggu orang yang membawa anak kunci. Tangan Jack gemetar. Diambilnya anak kunci itu dari tempatnya tergantung, lalu dimasukkannya ke dalam lubang pada daun pintu. Anak kunci diputar. Agak berat memang — tapi ia bisa memutarnya. Pintu terbuka. Jack melangkah masuk. Tawanan mendongak, ketika mendengar pintu terbuka. Ia menatap Jack dengan pandangan heran, sementara Jack memandangnya sambil nyengir. "Aku datang untuk membebaskan Anda," kata Jack. "Anda mau ikut?" Orang itu nampaknya tidak mengerti. Ia masih saja menatap Jack, dengan kening agak berkerut. "Bicara pelan," kata orang itu. Jack mengulangi ucapannya, dengan lambat-lambat. Kemudian ia menepuk dadanya, sambil berkata, "Aku teman. Teman! Mengerti?" Orang itu rupanya mengerti. Ia mulai tersenyum. Tampangnya menyenangkan. Nampak ramah, jujur — tapi sedih, pikir Jack, ia mengulurkan tangannya. "Ikut denganku," katanya. Orang itu menggeleng, lalu menuding kakinya. Ternyata kakinya terikat erat dengan seutas tali. Dan orang itu rupanya begitu lemah, sehingga tidak mampu melepaskan ikatan itu. Jack cepat-cepat mengambil pisau saku dari kantongnya, lalu memotong tali yang mengikat kaki orang itu. Setelah ikatan terlepas, orang itu mencoba berdiri. Terhuyung-huyung, seperti hampir jatuh. Jack cepat-cepat menopangnya. Dalam hati ia berpikir. Orang itu takkan mampu berjalan sendiri, sampai ke gua. Ia kelihatannya semakin lemah. "Yuk," kata Jack. "Kita tidak punya waktu lebih lama lagi." Dikantonginya potongan-potongan tali yang diirisnya tadi. Kemudian ia membimbing orang itu ke luar. Dengan seksama pintu dikunci kembali, lalu anak kunci digantungkan ke paku. Ia memandang bekas tawanan itu sambil nyengir. "Biar Juan dan Luis bingung," katanya. "Mereka pasti akan menyangka, Anda bisa keluar walau pintu terkunci. Ah—aku ingin bisa ada di sini nanti, apabila mereka membuka pintu lalu melihat Anda tidak ada lagi." Jack membimbing orang itu, lalu mengarahkannya ke pepohonan yang ada di dekat situ. Orang itu berjalan dengan langkah gontai. Sekali-sekali ia mengerang, seakan-akan terasa sakit baginya apabila berjalan. Jack semakin merasa yakin, orang itu pasti takkan mampu diajak berjalan sampai ke gua. Sejenak Jack bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana jika bekas tawanan itu disembunyikan dulu dalam kandang sapi, di mana ia bersama anak-anak yang lain bersembunyi pada hari pertama kedatangan mereka? Orang itu bisa ditaruh dalam kotak kandang yang paling belakang. Lalu besok ia dijemput, apabila badannya sudah agak kuat. Ya — sebaiknya itulah yang dilakukan! "Tunggu di sini sebentar," kata Jack, ia ingin memberitahukan apa yang terjadi pada Philip, dan meminta padanya agar terus berjaga-jaga sampai orang itu sudah selamat dalam kandang. Philip sangat kaget ketika mendengar laporan Jack, ia langsung mengangguk, untuk menyatakan setuju untuk terus menjaga sampai Jack datang kembali menjemputnya. "Orang-orang itu kelihatannya sedang membongkar mesin pesawat," kata Philip. "Jadi masih agak lama juga mereka sibuk di sana." Jack memapah bekas tawanan itu ke kandang sapi. Agak lama juga waktu yang diperlukan untuk itu, karena orang itu tertatih-tatih langkahnya. Begitu sampai di tempat tujuan, orang itu roboh. Napasnya terengah-engah. Nampak jelas bahwa ia sakit. Tapi di situ tidak ada dokter yang bisa merawatnya. Yang ada hanya Jack, yang menolongnya dengan lemah lembut. Orang itu nampak sangat berterima kasih atas pertolongan itu. "Anda tinggal di sini sampai besok, pada saat mana aku akan datang lagi untuk membawa Anda ke tempat persembunyian yang lebih aman," kata Jack. Ia berbicara lambat-lambat "Akan kutinggalkan air dan sedikit makanan untuk Anda di sini." Jack bermaksud hendak membukakan beberapa kaleng makanan, dari perbekalan yang masih tersembunyi dalam semak. Ia bisa mengambilnya dengan mudah, lalu meninggalkannya di sisi orang itu. Tahu-tahu orang itu menepuk dadanya sendiri. "Otto Engler," katanya. Diulanginya nama itu beberapa kali. Jack mengangguk, lalu menuding dadanya pula. "Jack Trent," katanya memperkenalkan diri. "Aku Jack — Anda Otto." "Kawan," kata orang asing itu. "Kau — Inggris?" "Aku Inggris," kata Jack membenarkan. "Anda?" "Austria," jawab orang itu. Caranya menyebutkan kata itu terdengar aneh. "Kawan! Kawan baik. Kenapa kau di sini?" Jack berusaha menjelaskan kenapa ia ada di situ Tapi rupanya orang asing itu tidak mampu memahami kata-katanya. Ia menggeleng. "Tidak mengerti," katanya. Kemudian ia mendekatkan diri pada Jack, lalu berbisik. "Kau tahu tentang harta?" Mula-mula Jack tidak menangkap makna kalimat itu. Logat orang itu aneh sekali! Tapi akhirnya ia mengerti. "Harta?" kata Jack. "Tidak banyak. Anda tahu — harta?" "Aku tahu semua," kata orang itu. "Semua. Aku bikin gambar di mana harta. Kau anak baik. Aku percaya!" Bab 17 PETA HARTA KARUN Mulanya Jack bersemangat, ketika mendengar kata-kata orang yang bernama Otto Engler itu. Tapi saat berikutnya, ia merasa lesu. Ia sudah tahu, di mana harta itu tersembunyi. Di belakang batu yang bertumpuk-tumpuk. Tapi apa gunanya mengetahui hal itu? Takkan ada yang bisa mengambilnya di situ. "Aku tahu — di mana harta,'' kata Jack, ia berusaha berbicara selambat mungkin, dengan kalimat yang pendek-pendek. "Aku melihat Anda tadi pagi. Anda menunjukkan tempat itu pada orang-orang. Tapi tempat itu tertimbun batu-batu besar. Orang-orang itu tidak bisa masuk ke gua. Otto Engler tertawa sebentar. Kelihatannya ia memahami kata-kata Jack. "Mereka bodoh," katanya. "Sangat bodoh. Di situ tidak ada harta!" Jack memandangnya. Ia tidak mengerti. "Maksud Anda — Anda menipu mereka?' katanya kemudian. "Anda tahu di situ ada batu jatuh — lalu Anda mengajak mereka ke situ, sambil berpura-pura bahwa di situlah dulu jalan masuk ke gua di mana terdapat harta, tapi kini tertimbun batu? Jadi sebetulnya di balik tumpukan batu itu tidak ada harta sama sekali?" Sambil mengerutkan kening, Otto berusaha memahami kata-kata Jack, ia menggelengkan kepala. "Tidak ada harta di situ," katanya. "Aku menipu Juan dan Pepi. Tangan mereka sampai sakit, ketika menarik — eh — mengangkat batu-batu tadi!" Mau tidak mau, Jack meringis, membayangkan tipuan itu. Tapi, kalau begitu — di mana harta itu? "Kubuatkan peta — untukmu," kata Otto. "Kutunjukkan juga jalan keluar dari lembah. Lewat Celah - Berangin. Kau dan kawan-kawanmu pergi lewat situ, lalu bawa peta ke kawan baikku. Sekarang sudah tiba waktunya menemukan harta itu." "Tapi, kenapa Anda tidak ikut saja dengan kami?" kata Jack. "Anda pasti bisa menunjukkan sendiri jalan keluar pada kami — lewat celah itu — lalu mendatangi kawan baik Anda." "Aku sakit parah," kata Otto. "Jika dokter tidak ada, dan — eh, apa namanya — obat.." "Ya, obat," kata Jack. "...kalau aku tidak mendapat obat cepat-cepat, aku mati," kata Otto. "Jantungku lemah. Lemah sekali! Aku sakit sekali. Sekarang tidak bisa jalan jauh. Jadi kaubawa peta harta! Kau anak baik. Kau keluar lewat celah, pergi ke Julius. Julius kawan baik. Nanti semua beres." "Baiklah," kata Jack. "Sayang aku tidak bisa berbuat lebih banyak untuk menolong Anda sekarang, Otto. Tapi aku akan berusaha secepat mungkin mendatangi Julius, lalu kembali dengan membawa bantuan bagi Anda. Akan mampukah Anda berjalan ke tempat persembunyian kami , besok lalu bersembunyi di sana, selama kami pergi?" "Bagaimana?" kata Otto. "Kau bicara terlalu cepat. Aku tidak mengerti." Jack mengulangi perkataannya. Kini lambat-lambat. Otto mengangguk. Sekarang ia mengerti. "Kautinggal aku di sini sekarang. Besok aku barangkali cukup kuat ikut denganmu ke tempat kalian." katanya. "Kita lihat saja. Jika tidak, kau harus pergi lewat celah — cari Julius. Aku bikin peta sekarang, dan aku bikin juga gambar jalan ke celah. Celah Berangin. Sangat sempit, tapi tidak sulit...eh..," "Dilalui?" sela Jack. Otto mengangguk. Dikeluarkannya pensil serta buku catatan dari kantongnya. Ia mulai menggambar sementara Jack memperhatikan dengan penuh minat. Dalam peta yang digambar, nampak ada air terjun. Begitu pula sebongkah cadas berbentuk aneh, serta pohon yang batangnya melengkung. Lalu mata air. Otto membuat panah-panah kecil, untuk menunjukkan arah yang harus dituju. Jack memperhatikan dengan asyik Setelah selesai menggambar, Otto melipat peta itu, lalu menyerahkannya pada Jack. "Julius pasti tahu," kata Otto, "Ia akan mengerti peta itu. Ia dulu tinggal di rumah petani besar yang tidak jauh dari sini. Tapi musuh-musuh kami membakar sampai habis. Juga rumah petani-petani lainnya. Semua harta benda kami dirampas. Sapi, kuda, babi — semua! Banyak kawan kami mati terbunuh. Hanya sedikit berhasil lari." "Sekarang tunjukkan jalan ke celah," kata Jack. Sekali lagi Otto menggambar peta. Air terjun nampak kembali di dalamnya. Jack menuding gambar itu. "Aku tahu air ini," katanya lambat-lambat, agar bisa dimengerti oleh Otto. "Tempat sembunyi kami dekat Sangat dekat!" "Ah!" kata Otto. Nadanya senang. "Jalan ke celah, lewat sebelah atas air ini. Kau mesti memanjat ke tempat air keluar dari lereng gunung. Nih — kugambarkan jalannya." "Lalu kalau sudah ada di luar, bagaimana kami bisa menemukan Julius?" tanya Jack. "Di seberang celah ada desa — sebagian rusak terbakar," kata Otto menjelaskan dengan kalimat patah-patah. "Tanya pada siapa saja yang kalian jumpai di situ, di mana Julius. Semua pasti tahu! Ah — Julius dulu selalu berjuang melawan musuh. Semua orang kenal Julius, ia mestinya sekarang orang besar! Tapi jaman ini aneh. Mungkin ia tidak besar lagi sekarang, karena dunia sudah damai. Tapi, semua pasti kenal Julius, ia tahu apa yang harus dilakukan, jika kauberikan peta harta padanya. Aku juga akan menulis surat padanya." Otto menuliskan surat yang pendek, lalu menyerahkannya pada Jack. Surat itu dialamatkan pada Julius Muller "Sekarang kau harus tinggalkan aku di sini," kata Otto. "Kau kembali ke kawan-kawanmu. Kalau. aku agak baik besok, aku ikut denganmu. Tapi hari ini, jantungku payah. Payah sekali. Di sini — sakit!" Ia menekankan tangannya ke dada. setinggi letak jantung. "Yah — kalau begitu selamat tinggal, dan terima kasih," kata Jack, lalu berdiri. "Mudah-mudahan saja Anda aman di sini. Ini daging untuk Anda, serta buah-buahan. Kaleng-kaleng ini sudah kubuka semua. Nan — sampai besok!" Otto Engler tersenyum lesu, lalu terhenyak ke dinding kandang. Dipejamkannya matanya. Ia kehabisan tenaga. Jack merasa kasihan sekali pada orang itu. Ia harus berusaha selekas mungkin mencari bantuan, apabila Otto besok ternyata masih tetap lemah. Julius perlu segera didatangi siapa pun juga orang itu. Jika ia memang teman Otto, mungkin ia akan bisa cepat-cepat memanggil dokter. Jack keluar dari kandang. Perasaannya sudah kembali agak riang sekarang. Wah — apa kata anak-anak nanti, jika mereka tahu bahwa memiliki peta di mana digambarkan gua tempat harta disembunyikan. Bukan itu saja, tapi juga petunjuk jalan keluar dari lembah! Jack melihat Philip datang berlari-lari, dengan napas tersengal-sengal "Orang-orang itu baru saja meninggalkan pesawat mereka, dan kini sedang menuju ke pondok," katanya. "Yuk, kita harus cepat-cepat pergi dari sini. Bekas tawanan itu sudah aman dalam kandang?" "Ya! Mudah-mudahan saja para penawannya tidak mencarinya ke situ," kata Jack. "Yuk, kita kembali ke gua. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Dinah dan Lucy-Ann sendiri di sana." 'Tapi dalam pulang ini, kita harus berjaga-jaga," kata Philip, ketika mereka berangkat "Siapa tahu, mungkin Pepi bosan mengamat-amati air terjun serta Dinah dan Lucy-Ann yang menandak-nandak di belakangnya, lalu memutuskan untuk menggabungkan diri kembali dengan kedua kawannya." "He — kau tahu, aku tadi mendapat apa?" kata Jack, ia tidak sabar lagi, ingin menceritakan pengalamannya dengan bekas tawanan itu. "Mendapat apa?" tanya Philip. '"Peta yang menunjukkan tempat harta disimpan!" jawab Jack. "Tapi kita kan sudah tahu tempatnya," kata Philip. "Di belakang tumpukan batu-batu runtuh, yang kita lihat tadi pagi." "Bukan di situ!" kata Jack dengan bangga. "Pepi serta kedua kawannya ditipu oleh Otto — oleh bekas tawanan itu. Otto hanya pura-pura saja, ketika ia mengatakan bahwa harta itu ada dalam gua yang terdapat di belakang tumpukan batu! Ia tahu bahwa di tempat itu ada batu longsor. Tapi ia berpura-pura tidak tahu apa-apa mengenainya, dan mengatakan bahwa tempat harta disimpan tertutup oleh tumpukan batu itu. Mengerti?" "Astaga! Jadi selama itu, harta itu ada di tempat lain!" kata Philip. "Hebat sekali! Dan kau sekarang benar-benar memiliki peta yang menunjukkan di mana harta itu sebenarnya disimpan, Jack? Dan kau sudah tahu sekarang, apa sebenarnya harta itu?" 'Tidak — aku lupa menanyakannya tadi," kata Jack. "Tapi banyak hal lain yang kuketahui sekarang. Aku memperoleh petunjuk, jalan mana yang harus kita tempuh untuk sampai ke celah yang menuju keluar dari lembah ini! Padaku juga 4 ada sepucuk surat, ditujukan pada seseorang bernama Julius. Aku juga sudah tahu sekarang, apa sebabnya segala bangunan di sini habis terbakar. Kata Otto tadi, jika ia besok sudah merasa cukup kuat, ia sendiri akan mengantarkan kita ke celah. Tapi ia memberikan peta-peta itu padaku, untuk berjaga-jaga apabila ia tidak bisa ikut dengan kita. Peta-peta itu jelas sekali!" Philip sangat bergembira. Kabar yang disampaikan Jack memang hebat sekali! Sekarang kelihatannya mereka akan bisa meninggalkan lembah itu — mencari bantuan — dan mungkin bisa ikut hadir pada saat harta yang disembunyikan ditemukan kembali. "Awas!" desis Jack dengan tiba-tiba. "Kurasa aku melihat sesuatu bergerak-gerak di sebelah sana!" Dengan cepat kedua anak itu bersembunyi di balik semak. Untung saja — karena saat berikutnya Pepi muncul dari sela pepohonan. Orang itu berjalan dengan cepat, menuju ke arah mereka. Tapi ia tidak melihat kedua anak itu. Ia lewat, tanpa sedikit pun menoleh ke arah semak "Pasti ia kelaparan, dan ingin makan sekarang," kata Jack sambil nyengir. "Untung aku melihatnya tadi — kalau tidak, kita pasti ketahuan sekarang! Yah — sekarang kita bisa bergegas-gegas, tanpa perlu khawatir ketahuan. Aduh — laparnya perutku!" Kedua-duanya sudah lapar sekali. Pikiran mereka dipenuhi bayangan ikan salem dalam kaleng, ikan sarden, daging lidah asin, begitu pula berbagai jenis buah. Mereka mempercepat langkah. Alangkah lega perasaan mereka, ketika akhirnya mereka menyibakkan tirai daun pakis ke samping dan melihat kedua anak perempuan yang duduk dalam gua. Dinah sudah menyiapkan hidangan makanan yang sedap. "Kau hebat, Dinah!" seru Jack. "Mau rasanya aku memelukmu!" Dinah tertawa nyengir. "Pepi sudah pergi," ,katanya. "Kalian melihatnya di tengah jalan tadi?" "Bukan melihatnya lagi — kami bahkan nyaris menubruknya," kata Philip. "Aduh — mampu aku rasanya menyikat ikan salem ini sekaleng penuh! Kalian sendiri bagaimana tadi, ketika kami sedang tidak ada di sini? Semua beres?" "Membosankan," kata Dinah. “Tak ada yang kami lakukan, selain sekali-sekali pergi ke balik air terjun dan menandak-nandak di situ, supaya perhatian Pepi tetap terarah pada tempat itu. Kalian haus melihatnya tadi — bagaimana ia bersusah-payah, mencari-cari jalan untuk bisa naik ke atas, Sekali kami bahkan mengira ia sudah dihanyutkan air. Ia terpeleset, lalu jatuh. Ada kira-kira dua puluh menit ia lenyap. Perasaan kami lega, ketika ia muncul kembali." "Lalu bagaimana dengan kalian sendiri?" tanya Lucy-Ann pada Jack dan Philip. "Kelihatannya begitu riang! Ada kabar baik? Bagaimana nasib tawanan yang malang itu?" Dengan mulut penuh berisi makanan, Jack dan Philip menceritakan pengalaman mereka sehari itu. Kedua adik mereka mendengarkan dengan asyik. Semua berebut-rebut melihat, ketika Jack mengeluarkan kedua peta dari kantongnya. "Peta harta karun!" seru Lucy-Ann. "Aku kepingin sekali melihat peta semacam ini. Ah! Lihatlah ini air terjun kita! Harta karun itu kan tidak disimpan di dekat-dekat sini?" "Kapan kita mulai mencarinya?" tanya Dinah dengan mata bersinar-sinar. "Kita takkan mencarinya sekarang," kata Jack. Seketika itu juga tampang Dinah berubah, nampak lesu. Jack menjelaskan sebabnya. "Kita harus cepat-cepat keluar dari lembah ini, lalu mencari orang yang bernama Julius. Rupa-rupanya ialah yang nanti akan menangani tugas pengambilan harta, yang entah apa itu. Maaf jika kalian terpaksa merasa kecewa, Dinah dan Lucy-Ann — tapi kita benar-benar harus berusaha pergi secepat mungkin dari sini, dan memberitahukan pada Bibi Allie dan Bill di mana kita saat ini berada. Kalau kita sekarang mencari-cari harta karun itu, akan banyak waktu berharga yang terbuang nanti. Dan kurasa karena kita sekarang sudah diberi tahu di mana letak celah yang menuju ke luar, kita harus mengambil jalan itu. Kita harus mencari pertolongan, untuk kita sendiri — dan juga untuk Otto. Kasihan, ia sakit parah!" Jack memang benar. Hal itu jelas sekali. Dinah mendesah, karena merasa kecewa. "Aku sebetulnya kepingin sekali pergi mencari harta itu," katanya. "Tapi biarlah! Mungkin orang yang bernama Julius itu mau mengizinkan kita ikut dalam usaha pencariannya nanti. Untuk itu aku mau saja tinggal lebih lama di sini!" Sementara itu hari sudah mulai gelap. Jack dan Philip sudah capek sekali. Mereka merebahkan diri di atas pembaringan yang telah disiapkan oleh Dinah. Mereka sudah sangat mengantuk. Tapi Dinah dan Lucy-Ann, begitu pula Kiki, masih kepingin mengobrol. Soalnya, hari itu sangat membosankan bagi mereka. Kedua anak perempuan itu sibuk bercerita dan bertanya-tanya, sekali-sekali disela ocehan Kiki. Tapi Jack dan Philip sudah tidak punya tenaga lagi untuk menjawab. "Hari ini Kiki mondar-mandir terus, keluar-masuk gua gema, sambil menjerit dan berteriak-teriak," kata Lucy-Ann. "Ia sudah tidak takut lagi pada suara gema. Wah — kalian mesti mendengar berisiknya gema tadi, ketika ia menirukan bunyi peluit kereta api!" "Untung saja aku tidak mendengarnya," kata Jack mengantuk. "Sudahlah — kalian diam sekarang. Kita harus tidur dengan segera, karena besok kita akan sibuk sekali. Menjemput Otto, lalu pergi mencari celah, lalu mendatangi Julius." "Kelihatannya petualangan kita ini sudah hampir berakhir," kata Lucy-Ann. Dugaannya itu keliru! Bab 18 BERANGKAT KE CELAH BERANGIN Keesokan paginya anak-anak mengintip dari sela-sela daun pakis, untuk melihat apakah Pepi menjaga lagi di luar. Tapi orang itu tidak kelihatan batang hidungnya. "Aku ingin tahu bagaimana Juan dan Luis kemarin, ketika mereka tiba kembali di pondok mereka, membuka pintu — dan saat itu melihat bahwa tawanan mereka sudah tidak ada lagi," kata Jack sambil nyengir. "Mereka pasti tercengang! Mana mungkin orang itu minggat, karena pintu dikunci dari luar?" "Ah — mereka pasti menduga salah seorang dari kita yang membebaskannya." kata Dinah. "Mereka pasti marah-marah! Tapi mudah-mudahan saja mereka tidak lantas mencari ke kandang sapi, sehingga menemukannya kembali. Tawanan itu mungkin akan membuka rahasia kita." "Kurasa tidak," kata Jack dengan segera. "Orang itu tampangnya ramah dan nampak bisa dipercaya. Agak mirip Bill, tapi tidak begitu jantan." "Aku ingin Bill tahu-tahu muncul di sini," kata Lucy-Ann sambil mendesah. "Sungguh, aku ingin sekali hal itu terjadi. Aku tahu kalian berdua selama ini mampu sekali menangani segala-galanya dengan baik sekali," sambungnya sambil memandang Jack dan Philip, "tapi entah kenapa, jika Bill muncul aku langsung merasa benar-benar aman." "Tapi kau sekarang kan sudah cukup aman?" tanya Jack. "Bukankah aku sudah berhasil menemukan tempat persembunyian yang sangat baik?" "Ya — memang," kata Lucy-Ann. "Aduh, Philip! Lihatlah — Kiki mengejar Lizzie!" Lucy-Ann melihat Lizzie muncul di kaki Philip. Kiki yang saat itu kebetulan sedang ada di dekat situ, langsung menguak dengan gembira lalu berusaha mematuk kadal itu. Tapi Lizzie lebih lincah. Dengan cepat ia menyusup masuk ke sepatu Philip. "Jangan, Kiki!" kata Philip. "Nah — kita sekarang harus mulai sibuk." "Ayo sibuk, sibuk," kata Kiki menirukan dengan segera. "Aduh, Kiki ini pandai sekali menirukan kata-kata," kata Lucy-Ann. "Sekarang ia memerintah kita!" Kiki menguak sambil menegakkan jambulnya tinggi-tinggi. Ia membuai-buai tubuhnya ia sering begitu, apabila merasa puas terhadap dirinya sendiri. "Burung sombong! Angkuh!" kata Jack, sambil menggaruk-garuk jambul kakaktua itu. "Kau jangan mengganggu Lizzie lagi, ya. Ia kan binatang peliharaan Philip yang paling manis." "Memang — kalau dibandingkan dengan segala binatang menjijikkan, seperti tikus, labah-labah, kumbang dan landak yang biasa dibawa bawa olehnya," kata Dinah sambil bergidik. "Aku lebih suka pada Lizzie, dibandingkan dengan binatang-binatang lainnya itu." "Astaga!" kata Lucy-Ann dengan heran. "Kau ada kemajuan, Dinah!" Lizzie dan Kiki ikut sarapan dengan anak-anak. Kiki memperhatikan dengan pandangan tajam, jangan sampai Lizzie mengambil sesuatu yang diinginkan olehnya sendiri. Ketika anak-anak selesai sarapan, mereka lantas mengatur rencana untuk hari itu. "Mula-mula kita menjemput Otto," kata Jack. "Maksudku dengan kita — aku dan Philip. Lucy-Ann, kau dan Dinah tidak perlu ikut Kalian berdua sebaiknya menyiapkan bekal makanan yang akan kita bawa, apabila kita nanti berangkat mencari celah di sela gunung. Di tengah jalan kita pasti perlu makan." "Beres," kata Dinah. "Mudah-mudahan kalian nanti menemukan Otto dalam keadaan yang sudah lebih baik. Jika kalian sudah kembali kemari bersama dia, kita makan dulu sebelum berangkat. Setelah itu kita meninggalkan lembah ini lewat celah, lalu mencari Julius — dan sekaligus berusaha mengirim kabar pada Ibu dan Bill. Mungkin setelah itu Bill akan datang ke sini dengan pesawatnya...." "Lalu ikut mencari harta karun itu, dan mengizinkan kita membantu," kata Lucy-Ann. "Ya — aku setuju!" Setelah itu Jack berangkat bersama Philip. Kiki ditinggal bersama Dinah dan Lucy-Ann. Dengan cepat kedua anak laki-laki itu berjalan menyusuri lereng gunung. Tapi mereka tetap berjaga-jaga, menghadapi kemungkinan bertemu dengan Pepi serta kedua kawannya. Tapi mereka tidak melihat siapa-siapa. Dengan berhati-hati mereka menuju ke kandang sapi. Jack menyuruh Philip berjaga-jaga di luar, untuk memberi tahu jika ada orang mendekat Kemudian ia sendiri berjingkat-jingkat mendekati kandang, lalu mengintip ke dalam. Ia tidak mendengar suara sedikit pun di situ. Dari tempatnya berdiri, Jack tidak bisa melihat kotak yang paling belakang. Dengan berhati-hati ia melangkah masuk, berjalan di antara puing-puing yang berserakan di mana-mana. Ia memanggil-manggil dengan suara pelan. "Otto! Aku datang lagi! Bagaimana Anda sekarang?" Tak terdengar suara Otto menjawabnya. Jangan-jangan orang itu masih tidur, pikir Jack. Dihampirinya kotak kandang yang paling belakang. Ternyata tempat itu kosong. Otto tidak ada di situ. Dengan cepat Jack memandang berkeliling. Apakah yang telah terjadi di situ? Kemudian ia melihat bahwa kaleng-kaleng makanan yang sudah dibuka olehnya untuk Otto, ternyata sama sekali belum disentuh. Otto belum memakannya sedikit pun. Apa sebabnya? "Aduh — rupanya Juan dan Luis langsung mencarinya, ketika mereka melihat bahwa ia sudah tidak ada lagi dalam pondok," pikir Jack. "Mereka kemari, dan menemukannya di sini. Astaga! Lalu, apakah yang mereka lakukan kemudian terhadapnya? Kita sekarang harus lebih berjaga-jaga, karena siapa tahu orang-orang itu mengintai. Mereka pasti tahu, ada orang yang membebaskan Otto — juga apabila Otto sama sekali tidak bercerita tentang aku." Jack kembali ke tempat Philip. "Otto tidak ada lagi di dalam," katanya. "Bagaimana jika kita mengintip sebentar ke dalam pondok? Mungkin kita akan melihat sesuatu di sana. Mungkin Otto sudah dikurung kembali di dalam." "Kita panjat saja lagi pohon besar yang pernah kita naiki," kata Philip. "Kau masih ingat, kan — dari mana kita bisa melihat pesawat terbang. Jika orang-orang itu nampak ada di dekat pesawat mereka, kita akan tahu bahwa kita bisa mendatangi pondok dengan aman. Aku tidak ingin mengambil risiko ketahuan. Mungkin orang-orang itu kini sedang mengintai, menunggu kemungkinan kita datang lagi. Jika kita sampai tertawan oleh mereka, nanti Dinah dan Lucy-Ann bingung. Mereka takkan tahu apa yang harus dilakukan." "Baiklah! Biar aku saja yang memanjat pohon itu," kata Jack, ia langsung memanjat, diikuti oleh Philip. Sesampai di atas, Jack meneropong ke arah pesawat terbang — tapi saat itu juga ia berseru dengan nada kaget "Astaga! Pesawat itu tidak ada lagi di tempatnya!" "Ah, masa!?" kata Philip agak tidak percaya. "Tapi — aku sama sekali tidak mendengar bunyi mesinnya. Kau?" "Yah — kemarin malam rasa-rasanya aku seperti mendengar bunyi berderum-derum, ketika aku sudah hampir pulas," kata Jack. "Ya, kalau kuingat kembali sekarang, mestinya pesawat terbang itu yang kudengar suaranya kemarin malam. Yah — rupanya orang-orang itu sudah lari, karena kita. Mereka ketakutan ketika mengetahui bahwa di sini ada orang lain — di suatu tempat persembunyian yang tidak bisa mereka temukan — orang-orang yang membebaskan tawanan mereka." "Ya — dan ketika mereka menyadari bahwa harta karun itu tidak bisa diambil karena terhalang tumpukan batu besar, kurasa mereka lantas beranggapan tidak ada gunanya lebih lama lagi berada di sini," sambung Philip. "Jadi sekarang mereka sudah pergi. Syukur, kalau begitu! Sekarang kita bisa kembali ke gua, menjemput Dinah dan Lucy-Ann, lalu cepat-cepat pergi ke celah gunung. Terus terang saja, aku semula agak khawatir jika kita harus membawa Otto! Karena dari ceritamu, aku mendapat kesan bahwa kita takkan bisa berjalan cepat apabila ia ikut. ? Tambahan lagi apabila dalam perjalanan ia tiba-tiba mengalami serangan jantung, kita pasti tak tahu apa yang harus dikerjakan." "Aku ingin tahu, ke mana ia dibawa oleh mereka," kata Jack. "Mudah-mudahan saja mereka mengembalikannya ke tempat asalnya dan memanggilkan dokter untuknya, setelah mereka kini tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa diperoleh dari dirinya." Keduanya turun lagi, lalu bergegas-gegas kembali ke gua, untuk kemudian berangkat mencari celah. Dinah dan Lucy-Ann heran melihat kedua anak laki-laki itu begitu lekas kembali. Mereka lebih heran lagi ketika melihat bahwa Otto tidak ada bersama keduanya. "Mana Otto?" tanya Dinah. "Dalam sumur," sela Kiki. Burung kakaktua itu menjerit karena jengkel, sebab tidak ada yang memperhatikan komentarnya itu. "Otto tidak ada lagi dalam kandang — dan pesawat terbang juga sudah tidak ada dalam lembah," kata Jack menjelaskan. "Rupanya orang-orang itu sudah pergi, jengkel karena tidak berhasil mengambil harta karun. Tapi biar saja mereka pergi!" “Betul!" kata Dinah, ia merasa lega, karena musuh sudah tidak ada lagi. "Nah — apa yang akan kita lakukan sekarang?" "Kita pergi mencari celah itu," kata Jack. "Peta yang dibuatkan Otto, ada padaku. Untung saja ia memberikan peta itu. Tanpa peta, takkan mungkin kita akan bisa berhasil menemukan Celah Berangin. Rupanya hanya satu celah itu saja yang menuju ke luar. Celah Berangin! Yuk, kita berangkat sekarang. Bekal makanan sudah kausiapkan, Dinah?" "Beres," kata Dinah. "Sekarang — dari sini kita ke mana? Ke atas, atau ke bawah?" "Ke atas," kata Philip, sambil mengamat-amati peta yang dikeluarkan Jack dari kantongnya. "Ke atas — ke hulu air terjun. Ini, lihatlah — di sini letak awalnya. Dari situ kita menyusur tebing berbatu-batu ini — ini, yang digambar oleh Otto di sini! Kemudian kita akan sampai di suatu hutan yang lebat. Lihatlah! Lalu mendaki lereng terjal, sampai pada suatu tebing lagi. Kemudian kita akan tiba di semacam jalanan. Kurasa itu jalan celah yang dulu dilalui orang-orang lembah sini, apabila mereka hendak ke luar. Aku baru akan merasa lega, apabila kita nanti sudah sampai di jalan itu." "Aku juga," kata Dinah sepenuh hati. "Pasti enak rasanya, apabila jalanan itu sudah nampak. Mungkin kita bahkan akan menjumpai orang berjalan di situ." "Kurasa itu tidak mungkin! Soalnya, kita tidak melihat ada orang lain di lembah sini, di samping orang-orang yang mencari harta," kata Jack. "Tapi agak aneh juga jika dipikir-pikir. Ada suatu celah yang bisa dilalui untuk keluar-masuk lembah, tapi tempat ini kelihatannya tidak pernah lagi didatangi orang. Kenapa ya?" "Kurasa pasti ada sebabnya yang jelas,'" kata Dinah. "Tapi sudahlah — kita berangkat saja sekarang! Bagian pertama perjalanan kita nanti cukup mudah, karena kita harus terus menyusur tepi air." Tapi ternyata perjalanan itu tidak semudah sangkaan Dinah. Tebing yang harus dilewati sangat curam, sehingga anak-anak itu terpaksa memanjatnya dengan bersusah-payah. Tapi mereka berhasil melakukannya, karena sementara itu mereka sudah terlatih baik. Sepanjang pendakian, air tidak henti-hentinya menghambur ke bawah di samping mereka. Bunyinya berisik sekali! Lucy-Ann sudah kepingin cepat-cepat mencapai sisi atas air terjun itu. Di sana bunyi berisik pasti akan sangat berkurang! Setelah beberapa lama memanjat, akhirnya mereka sampai di sisi atas air terjun. Ternyata air itu mengalir keluar dari sebuah lubang besar yang menganga di dinding gunung, dan langsung menghunjam ke bawah. Pemandangan itu benar-benar menakjubkan! "Perasaanku menjadi aneh, melihat air sebegitu banyak membanjir keluar dari dalam gunung," kata Lucy-Ann. la duduk. "Tahu-tahu saja muncul dari dalam lubang besar itu." "Kurasa pada saat salju mencair atau ada hujan lebat, banyak sekali air yang meresap ke dalam tanah di puncak gunung ini," kata Jack. "Dan air itu dengan sendirinya harus mengalir keluar lagi. Ini salah satu alirannya!"' "Ke mana kita sekarang?" kata Dinah, ia sudah tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas meninggalkan tempat itu. "Kita naik lagi, lewat sisi tebing itu," kata Jack. "Wah — kelihatannya agak sempit, dan lewat di sebelah atas air terjun! Kau nanti jangan melihat ke bawah, Lucy-Ann! Nanti kau pusing." "Aku tidak berani berjalan di situ," kata Lucy-Ann. "Nanti kutolong," kata Jack. "Kau takkan apa-apa — asal jangan memandang ke bawah." Anak-anak meniti tepi tebing. Lucy-Ann berjalan sambil memegang tangan Jack erat-erat Kiki terbang di atas kepala mereka, sambil berteriak-teriak memberi semangat. "Lihat mereka lari! Lihat mereka lari!" seru burung kakaktua itu. Rupanya ia teringat pada salah satu lagu kanak-kanak yang pernah didengarnya. Lucy-Ann terkikik, karena geli. "Kami bukan lari, Kiki," katanya. "Aduh — syukurlah, kita sudah sampai di seberang! Sekarang kita harus menyusur dalam hutan itu, kan?" Jack mempelajari petanya. "Ya — kita harus melalui hutan itu. Mana pedomanku. Aku akan mengatur arah dulu, supaya kita bisa berjalan lurus — mengikuti petunjuk yang digambarkan oleh Otto dalam peta ini." Anak-anak memasuki hutan, yang terdiri dari pohon-pohon pinus. Dalam hutan sunyi, dan agak gelap. Tidak ada semak tumbuh di bawah batang-batang pohon pinus yang menjulang tinggi. Angin menghembus seperti berbisik-bisik di sela pepohonan. "Sssst!" desis Kiki, menyuruh angin jangan berbisik-bisik. "Ssst!" "Kita sudah sampai di ujung hutan!" seru Jack, yang berjalan paling depan. "Sekarang masih harus dilalui lereng terjal lagi menuju ke tebing berikut — dan di situ kita kan bisa melihat jalan celah terbentang di bawah. Yuk, kita terus!" Bab 19 KEKECEWAAN BESAR — DAN RENCANA BARU Lumayan juga beratnya mendaki lereng terjal yang banyak batunya, menuju tebing yang bisa mereka lihat agak tinggi di atas kepala. Lucy-Ann sudah mau menangis saja rasanya, karena ia berulang kali terpeleset ke bawah. "Setiap kali aku mendaki selangkah, terpeleset lagi dua langkah ke bawah," keluhnya. "Kalau begitu berpegangan saja padaku," kata Philip. Setiap kali Lucy-Ann melangkah maju, ia membantu dengan jalan menyentakkan ke atas. Anak-anak kepingin beristirahat sebentar, ketika akhirnya mereka mencapai tebing itu. Setelah duduk beberapa saat, mereka merasa tenaga mereka sudah pulih kembali. Sementara itu sudah tinggi sekali mereka mendaki. Mereka melihat gunung-gunung yang lebih tinggi lagi, menjulang di balik gunung-gunung yang nampak dari lembah. Pemandangan itu sangat mengagumkan. "Dikelilingi gunung-gunung tinggi itu, aku merasa diriku sangat kecil dan tak berarti," kata Lucy-Ann. Anak-anak yang lain juga berperasaan begitu. "Yuk — sekarang kita mengitari tebing yang menjorok itu. Sebentar lagi, pasti akan sudah nampak jalanan. Untung saja tepi tebing ini tidak begitu sempit. Mobil pun mungkin bisa lewat di sini." Tapi ternyata tepi tebing itu tidak begitu mudah dilalui seperti sangkaan Lucy-Ann, karena banyak batu berhamburan di situ. Mereka harus merangkak-rangkak untuk melaluinya. Jack dan Philip berjalan lebih dulu, untuk mencarikan lintasan yang aman. Mereka merasa lega ketika sudah melewati bagian yang berbatu-batu, dan sampai di tepi tebing yang lebih rata. Mereka melalui bagian lereng yang menikung. Tiba-tiba anak-anak melihat jalanan terbentang di bawah mereka. Ya — itu benar-benar sebuah jalan. Mereka berdiri di atas, sambil memandang dengan asyik. "Tak kusangka aku akan begini senang melihat jalanan," kata Dinah. "Jalan keluar dari lembah! Akhirnya kita mencapai jalan menuju ke suatu tempat di luar!" "Lihat," kata Lucy-Ann, "jalan itu berkelok-kelok, datang dari bawah. Tapi ke mana arah selanjutnya aku tidak tahu, karena terlindung di balik tikungan itu." "Tadi dari sini nampak celah itu — Celah Berangin," kata Jack sambil menuding. "Kalian lihat, di mana gunung ini hampir bertemu dengan gunung sebelah? Mestinya di situlah letak celah itu. Letaknya tinggi, dan sangat sempit. Kurasa kita harus berjalan satu-satu pada saat melaluinya nanti." "Siapa bilang, kata Philip mencemooh. "Pasti celah itu cukup lebar untuk dilalui gerobak. Hanya kelihatannya saja sempit, karena letaknya jauh dari sini." "Yuk — kita turun ke jalan," kata Dinah, lalu mulai turun. Tempat mereka berada saat itu sekitar enam sampai tujuh meter di atas jalanan. "He — jalan itu penuh dengan rumput dan semak belukar," kata Jack heran. "Itu tandanya jarang dilalui akhir-akhir ini. Aneh, ya! Satu-satunya jalan keluar, mestinya kan selalu terpelihara baik." "Ya, memang sangat aneh," kata Philip. "Tapi biar sajalah! Setidak-tidaknya kita tahu ini jalan, walau dipenuhi semak." Anak-anak menyusur jalan itu, mengarah ke atas. Jalan itu berliku-liku, mengikuti bentuk lereng gunung. Akhirnya mereka bisa melihat jelas di mana Celah Berangin seharusnya terdapat Suatu celah sempit, terjepit di antara dua gunung. Hawa di tempat tinggi itu dingin sekali. Angin berhembus keras. Untung tubuh anak-anak hangat, karena bergerak terus sedari tadi. Coba kalau tidak, pasti mereka menggigil kedinginan. "Nah, sekarang tinggal melewati tikungan berikut — lalu setelah itu pasti kita akan bisa melihat celah itu!" seru Jack dengan gembira. "Sebentar lagi kita akan sudah berhasil keluar dari lembah misterius!" Mereka melewati tikungan. Ya — itu dia celah yang dituju. Atau tepatnya, bekas celah. Celah Berangin sudah tidak ada lagi! Celah sempit di antara kedua gunung tinggi itu penuh dengan batu-batu besar bertumpuk-tumpuk. Celah itu tidak bisa dilewati lagi. Semula anak-anak hanya bisa memandang saja sambil melongo, seolah-olah tidak memahami apa yang mereka lihat di depan mereka. "Apakah yang sebetulnya telah terjadi di sini?" kata Jack, ketika ia akhirnya pulih dari kekagetannya. "Kelihatannya seperti sehabis gempa! Kalian pernah melihat keadaan sekacau ini?" "Di dinding celah sebelah kiri kanannya ada lubang-lubang besar," kata Philip. "Lihatlah, bahkan di sebelah atas pun nampak lubang-lubang yang menyerupai kawah." Anak-anak memandang sambil membisu. Kemudian Jack menoleh. "Kalian mau tahu, apa yang menurutku terjadi di sini?" katanya. "Nah — ketika dulu di sini terjadi peperangan, pesawat-pesawat terbang musuh menghujani celah ini dengan bom, sehingga jalanan tertutup batu-batu yang jatuh dari atas. Segala kerusakan di sini, pasti disebabkan oleh ledakan bom." "Ya, kurasa kau benar, Jack," kata Philip. "Kelihatannya memang begitu! Pesawat-pesawat terbang melintas di atas celah ini, lalu menjatuhkan bom-bom ke jalan, sehingga tidak bisa dilewati lagi." "Jadi maksudmu — kita tidak bisa keluar?" tanya Lucy-Ann. Suaranya bergetar. Philip mengangguk. "Ya — kurasa begitu," katanya. "Tak ada yang bisa melampaui tumpukan batu begitu tinggi, yang menutupi celah ini. Itu rupanya yang menyebabkan selama ini tidak ada orang datang untuk tinggal di lembah sini. Kurasa sebagian besar dari penghuninya dulu tewas dalam peperangan, sedang sisanya melarikan diri lewat celah sini. Kemudian celah dibom sehingga buntu, dan karenanya tidak ada yang bisa kembali kemari. Lalu orang-orang yang datang bersama kita dengan pesawat terbang — maksudku Juan beserta kawan-kawannya — rupanya mendengar selentingan bahwa dalam lembah ini tersembunyi harta karun. Mereka lantas berpikir, mungkin mereka bisa masuk kemari dengan pesawat terbang. Memang itulah satu-satunya kemungkinan yang masih ada untuk masuk kemari." Lucy-Ann terhenyak, lalu menangis. "Aduh, aku sangat kecewa," keluhnya. "Padahal kusangka kita akan berhasil melarikan diri dari lembah sepi ini! Kini ternyata kita masih tetap terkurung di dalamnya — dan — tidak ada yang bisa datang untuk menyelamatkan kita!" Anak-anak yang lain duduk di sebelah Lucy-Ann. Mereka juga bingung. Dengan perasaan putus asa mereka memandang celah yang tersumbat Padahal mereka tadi sudah berharap-harap akan berhasil meninggalkan lembah itu, mencari Julius lalu menyampaikan laporan padanya mengenai harta karun. "Yuk — kita makan saja dulu," kata Dinah mengusulkan. "Setelah itu perasaanku pasti akan lebih enak." "Ya! Makan, makan!" kata Kiki dengan segera. Anak-anak tertawa. "Goblok! Pikiranmu cuma makan saja," kata Philip. "Bagimu, celah tersumbat bukan persoalan ya, Kiki? Kau bisa terbang melintasinya! Sayang kami tidak bisa mengikatkan surat ke kakimu, lalu menyuruhmu terbang mendatangi Julius untuk minta tolong." "Tidak bisakah kita mencobanya?" kata Lucy-Ann dengan segera. "Mana mungkin, konyol!" kata Jack. "Pertama, surat yang kita ikatkan ke kaki Kiki, mungkin akan dirobeknya kemudian. Kecuali itu, ia kan tidak tahu harus terbang ke mana Kiki memang pintar—tapi tidak sepintar itu!" Setelah selesai makan, perasaan anak-anak agak lebih enak. Mereka duduk membelakangi celah, karena sebal melihat keadaannya yang tersumbat. "Kurasa kini kita terpaksa kembali lagi ke gua," kata Dinah kemudian. "Kemungkinan lain, kelihatannya sama sekali tidak ada " Mereka masih agak lama juga beristirahat di tempat itu. Sinar matahari sangat terik Tapi angin berhembus dengan keras, sehingga anak-anak tidak merasa kepanasan. Lucy-Ann bahkan mencari perlindungan di balik batu, karena ia kedinginan. Setelah beristirahat, mereka kembali. Suasana saat itu tidak segembira ketika mereka berangkat paginya. Mereka tidak begitu banyak bicara. Bayangan akan terpaksa tinggal dalam lembah sunyi itu, setelah begitu besar harapan akan bisa ke luar, menyebabkan semuanya merasa lesu. Apalagi Lucy-Ann! Melihat keadaan adiknya yang begitu sedih, Jack lantas mencari-cari sesuatu yang bisa memulihkan semangatnya. Kemudian terpikir olehnya sesuatu yang benar-benar tak terduga sebelumnya. "Bergembiralah, Lucy-Ann," katanya. "Mungkin kita sekarang akan mencari harta karun itu, sebagai pengimbang kekecewaan kita." Lucy-Ann berhenti berjalan. Ia memandang abangnya dengan bersemangat "Sungguh?" katanya. "Aduh, Jack! Ya — yuk, kita mencari harta karun!" Anak-anak yang lain berhenti, lalu berpikir-pikir sebentar. "Yah, kenapa tidak?" kata Philip. "Kita tidak bisa memberi tahu Julius mengenainya, karena kita tidak bisa melewati celah. Orang-orang itu sudah pergi, begitu pula Otto. Tinggal kita sendiri di sini. Jadi tidak ada salahnya, jika kita mencari harta karun itu. Pasti mengasyikkan — sambil mengisi waktu!" "Bagus sekali!" kata Dinah girang. "Tepat itulah yang kuingini — mencari harta karun. Kapan kita mulai? Besok?" "He — bagaimana jika kita nanti benar-benar menemukannya!" kata Philip. Air mukanya nampak bersemangat. "Apakah kita akan boleh memiliki sebagian daripadanya?" "Untung Otto menyerahkan peta itu padamu, Bintik!" kata Dinah pada Jack, la selalu menyapa anak laki-laki itu dengan sebutan demikian, jika ia sedang sangat senang. "Coba kita lihat sebentar!" Jack mengeluarkan peta itu dari kantongnya, lalu dikembangkan di depan mereka semua. Otto menandainya dengan gambar-gambar penunjuk arah, seperti yang tertera pada peta jalan ke celah. "Lihatlah benda-benda yang digambarkannya di sini," kata Jack. "Ini, batu besar yang aneh bentuknya ini, misalnya. Bentuknya seperti orang bermantel panjang, dengan kepala berbentuk bundar. Jika kita melihat batu itu, kita pasti akan langsung mengenalinya." "Dan ini—apa ini? Pohon berbatang bengkok?" tanya Dinah. "Ya, betul! Tapi bagaimana kita bisa tahu, di mana kita harus mencarinya? Kita kan tidak bisa berkeliaran ke segala arah di lereng gunung, mencari-cari batu berbentuk aneh, pohon yang batangnya melengkung dan macam-macam lagi." "Tentu saja tidak," kata Jack. "Kita harus mulai dengan cara yang benar. Jadi dari awalnya. Sedang awalnya air terjun yang sudah kita kenal. Di sini Otto menggambar jalan dari kandang sapi ke air terjun. Tapi kita langsung mulai dari air terjun, jadi tak usah lagi memperhatikan jalan yang ini. Nah — lalu dari ujung atas air terjun itu kita harus mencari letak pohon yang bengkok ini, lalu pergi ke situ. Dari situ, kita mencari benda ini — ah, apa katanya waktu itu — o ya, di sini terdapat bagian berupa batu hitam yang licin permukaannya. Nah, setiba di situ, kemudian kita harus mencari mata air. Dari mata air, kita mencari di mana batu berbentuk aneh itu. Di sekitar situlah letaknya harta karun." "Astaga!" kata Lucy-Ann. Matanya terbelalak. "Yuk — kita kembali ke air terjun, lalu langsung mulai mencari dari tempat itu. Ayo!" Sambil nyengir, Jack melipat peta kembali. Dipandangnya wajah ketiga anak yang berseri-seri. "Harta ini tak banyak gunanya bagi kita, karena kita terkurung dalam lembah ini," katanya. "Tapi walau begitu setidak-tidaknya kita bisa melakukan sesuatu yang mengasyikkan!" Mereka meneruskan langkah. Pikiran mereka sibuk dengan niat akan berburu harta karun. Coba mereka nanti benar-benar berhasil menemukan harta yang dicari-cari tanpa berhasil oleh Juan beserta kawan-kawannya! Kalau Bill tahu, pasti ia menyesal. karena tidak ikut dengan anak-anak. Kata Bill, mereka itu selalu saja menemui petualangan yang asyik-asyik. Ketika mereka tiba kembali di air terjun, matahari sudah menghilang di balik gunung. Awan mendung menggelapi langit di atas kepala mereka. Hujan mulai menetes satu-satu. Anak-anak memandang langit dengan perasaan kecewa. "Sialan!" kata Philip. "Kurasa sebentar lagi akan turun hujan lebat. Tak ada gunanya berangkat dalam keadaan cuaca seperti begini. Lebih baik kita cepat-cepat berlindung dalam gua, sebelum kita basah. Nah — sekarang hujan sudah benar-benar turun!" Tepat pada waktunya mereka memasuki gua mereka yang nyaman. Hujan lebat turun berderu-deru, menambah kebisingan bunyi air terjun. "Hujanlah semaumu!" seru Jack. "Tapi besok cuaca pasti cerah — dan kami akan berburu harta karun" Bab 20 TANDA-TANDA MENUJU KE HARTA Malam itu mereka tidur nyenyak, karena capek sekali. Hujan turun sepanjang malam. Tapi menjelang fajar, awan mendung menyingkir. Ketika matahari terbit, langit nampak cerah sekali. Lucy-Ann sangat gembira ketika ia menyingkapkan tirai daun pakis yang basah, lalu memandang ke luar. "Segala-galanya nampak bersih, seperti baru dicuci," katanya. "Lihatlah — bahkan langit pun nampak bersih sekali. Lihatlah!" "Ini hari yang betul-betul cocok untuk berburu harta," kata Jack. "Mudah-mudahan rumput lekas kering kena panas sinar matahari. Kalau tidak, bisa basah sepatu kita nanti!" "Untung banyak kaleng yang kita ambil dari pondok orang-orang itu," kata Dinah, Ia mengambil beberapa buah dari rak batu. "Masih adakah yang tersisa dalam semak di mana kita mula-mula menyembunyikannya, Jack?" "Masih banyak," jawab Jack. "Kemarin aku mengambil satu atau dua kaleng untuk Otto, tapi sisanya masih banyak. Kapan-kapan kita ke sana, untuk mengambil persediaan itu." Tirai daun pakis mereka singkapkan ke samping, lalu mereka ikat. Mereka sarapan sambil duduk-duduk di depan gua, menghadap pegunungan yang nampak di kejauhan, dan dilatarbelakangi langit yang kini sudah menjadi lebih biru warnanya. "Kita berangkat sekarang?" kata Jack, ketika semua sudah selesai makan. "Kiki! Ayo, keluarkan kepalamu dari kaleng itu. Kau kan sudah tahu, kaleng itu tidak ada isinya lagi.” "Kasihan Kiki!" kata Kiki. "Sayang, sayang!" Mereka bergegas ke luar. Semuanya cepat sekali kering, kena panas sinar matahari. "Lihatlah, batu itu berasap!" kata Lucy-Ann dengan heran. Ia menuding ke arah batu-batu yang terdapat di dekat gua. Batu-batu itu seperti berasap, karena air hujan yang menempel di situ menguap kena panas matahari. "Sebaiknya kita membawa bekal," kata Jack. "Kau sudah menyiapkannya, Dinah?" "Tentu saja," kata Dinah. "Kan repot, kalau kita harus jauh-jauh kembali ke sini untuk mengambil makanan nanti." "Mula-mula kita harus naik ke pangkal air terjun ini, seperti kemarin,"' kata Jack. "Ikuti saja aku! Aku tahu jalannya." Tak lama kemudian mereka sudah berada di ujung atas air terjun. Sekali lagi mereka melihat air yang memancur keluar dari dalam gunung. Kelihatannya dua kali lebih banyak dan deras, dibandingkan dengan keadaannya kemarin. "Kurasa ini karena hujan kemarin malam," kata Philip. "Air bertambah banyak dalam gunung. Jadi air terjun ini juga bertambah besar dan deras!" "Ya, itulah penyebabnya," kata Jack, ia terpaksa berteriak, karena bunyi air mengalir keras sekali. "Aduh, Kiki! Jangan berteriak dekat kupingku!" Air terjun itu menggairahkan Kiki. Suaranya berisik sekali pagi itu. Lama-kelamaan Jack menyuruhnya pergi dari bahunya, karena tidak tahan lagi mendengar pekik jeritnya. Burung kakaktua itu terbang. Ia mendongkol! "Nah — sekarang bagaimana dengan pohon yang bengkok?" kata Dinah. Sementara itu anak-anak sudah berada di tempat yang agak lebih tinggi dari pangkal air terjun. "Aku sama sekali tidak melihat ada pohon yang bengkok batangnya di sini!" Memang benar, beberapa pohon yang ada di situ, batangnya lurus semua. Tapi tiba-tiba Lucy-Ann berseru, sambil menuding ke arah bawah. "Itu kan pohonnya? Itu — agak di bawah kita, di seberang air terjun!" Anak-anak yang lain mendatangi Lucy-Ann, lalu ikut memandang dari situ. Ternyata anak itu benar. Di seberang air terjun, sedikit di bawah tempat mereka berdiri, nampak sebatang pohon yang bengkok. Apa yang menyebabkan batangnya begitu melengkung, tidak diketahui oleh mereka. Angin di situ tidak lebih keras bertiup dibandingkan dengan di tempat lain. Tapi pokoknya, pohon itu bengkok batangnya. Dan itu yang penting bagi mereka! Anak-anak menyeberangi air terjun dengan melewati batu-batu yang berserakan di sebelah atasnya. Akhirnya mereka sampai di dekat pohon yang bengkok. "Tanda yang pertama," kata Jack. "Bukan, yang kedua," kata Dinah. "Yang pertama, air terjun." "Ya deh yang kedua," kata Jack. "Sekarang yang ketiga — batu hitam yang datar dan licin permukaannya. Kurasa tentunya berupa dinding." Mereka memandang berkeliling, mencari-cari batu hitam. Sekali itu mata Jack yang tajam yang berhasil paling dulu melihatnya. Letak batu agak jauh, dan kelihatannya sulit dicapai. Untuk pergi ke situ, mereka harus mendaki sepanjang tebing terjal. Tapi mereka harus lewat di situ. Karenanya mereka langsung berangkat. Setelah ruas pertama dilampaui, pendakian menjadi agak lebih mudah. Di sana-sini terdapat berbagai jenis tanaman dan semak yang berakar dalam di tebing itu. Tumbuh-tumbuhan itu dapat dijadikan pegangan. Jack menolong Lucy-Ann melalui bagian-bagian yang sulit. Tapi Dinah menolak bantuan Philip, apalagi karena ia tahu bahwa abangnya masih selalu membawa kadalnya. Mereka memerlukan waktu paling sedikit setengah jam untuk mencapai dinding batu hitam itu, sambil memanjat dan merangkak-rangkak. Padahal tadi kelihatannya tidak sebegitu jauh. Namun akhirnya mereka sampai juga di situ, walau dengan napas tersengal-sengal. "Aneh kelihatannya batu hitam ini," kata Jack, sambil meraba-raba permukaan batu yang halus. "Batu apa ini, ya?" "Masa bodoh," kata Dinah, ia tidak sabar ingin melanjutkan perjalanan. "Sekarang tanda apa lagi yang harus kita cari? Ini sudah yang ketiga." "Mata air," kata Philip. "Betul kan, Jack? Atau lebih baik kita periksa lagi di peta?" "Tidak usah — aku sudah hafal," kata Jack. "Berikutnya, mata air — walau aku sama sekali tidak melihatnya. Padahal aku sudah haus sekali! Tanganku juga kotor karena memanjat tadi, dan lututku sama saja!" "Ya, memang — kita semua perlu mencuci badan sebentar," kata Philip. "Menggosoknya bersih-bersih!" "Bersihisihisih," kata Kiki, lalu tertawa terkekeh-kekeh. "Sudahlah, Kiki," kata Jack. "Kalau kau masih tertawa juga, kau nanti yang kugosok bersih-bersih." Dari tempat mereka berdiri, sama sekali tak nampak mata air. Lucy-Ann nampak sangat kecewa. "Ayo, jangan sedih!" bujuk Jack "Mata air itu mungkin memang tidak nampak dari dekat dinding batu ini — tapi kalau ada di dekat sini, kita pasti bisa menemukannya." "Lebih baik kita memasang telinga dulu, mendengarkan bunyinya," kata Dinah. Anak-anak lantas mendengarkan baik-baik. "Sssst!" desis Kiki, mengganggu perhatian mereka. Jack memukul paruhnya. Kiki menguak dengan sedih. Tapi sesudah itu ia diam. Suasana tenang kembali. Saat itu anak-anak mendengar bunyi air mengalir. Bunyi menggelegak pelan tapi riang! "Aku mendengarnya!" seru Lucy-Ann dengan gembira. "Bunyinya seperti datang dari arah situ." Ia meloncat menghampiri sekelompok pohon. Dan benarlah — tersembunyi dalam rumput panjang terdapat sebuah selokan. Airnya mengucur, menuruni lereng. Jernih dan sejuk! "Asalnya dari sana — lihatlah," kata Jack, la menuding sebuah semak yang lebat. Air selokan itu mengalir dari bawah semak. "Tanda keempat!" "Kini yang kelima, tanda yang terakhir!" kata Lucy-Ann bersemangat "Aduh — betulkah kita sudah berada di dekat harta karun itu? Ternyata letaknya tidak sebegitu jauh dari gua kita! Rasa-rasanya masih terdengar samar bunyi air terjun, ketika kita tadi sibuk mendengarkan bunyi air mengalir di selokan." "Aku juga merasa seperti mendengarnya," kata Dinah. "Nah — sekarang apa lagi yang harus kita cari?" "Batu yang aneh bentuknya," kata Jack. "Kalian tahu kan — kelihatannya seperti orang bermantel panjang, dengan kepala berbentuk bundar" "Itu gampang!" kata Philip dengan gembira. Ia menunjuk ke atas. "Itu dia — kelihatan jelas di depan langit!" Anak-anak mendongak. Ternyata kata Philip tadi benar. Mereka melihat batu berbentuk aneh, terpampang jelas di depan latar belakang langit yang cerah. "Yuk, kita naik ke sana!" kata Jack bersemangat. "Ayo, pemburu harta!" Anak-anak memanjat tebing, menuju ke tempat batu berbentuk aneh itu. Di sekitarnya banyak batu-batu lain. Tapi batu yang itu jauh lebih tinggi, sehingga nampak menonjol. "Tanda kita yang terakhir!" kata Jack. "Nah! Sekarang — mana harta itu?" Ya. di mana harta itu? Lucy-Ann memandang ke sekeliling tempat itu. seolah-olah akan langsung bisa melihatnya terserak di situ. Anak-anak yang lain mulai mencari-cari lubang gua. Tapi tidak ada yang menemukan apa-apa. Kenapa kau kemarin tidak menanyakan pada Otto, di mana tepatnya harta itu harus dicari, apabila kita sudah sampai pada tanda terakhir?" keluh Dinah dengan nada capek dan kecewa. Ia menghampiri Jack. "Eh — waktu itu aku kan tidak tahu bahwa kita sendiri akan mencarinya?" balas Jack. "Kusangka Julius Muller yang memimpin usaha pencarian harta itu. Sudah pasti jika ia sampai di sini, ia akan tahu di mana letak harta itu." "Yah — benar-benar mengecewakan, kita sudah bersusah-payah sampai di sini dengan mengikuti petunjuk-petunjuk dalam peta, tahu-tahu sekarang tidak bisa menemukan apa-apa," kata Dinah, ia merasa sebal. "Aku bosan! Aku tidak mau mencarinya lagi. Kalian boleh saja terus kalau mau — tapi aku ingin beristirahat." Sambil berkata begitu ia merebahkan diri, lalu berbaring menelentang. Ia mendongak, memandang tebing terjal yang menjulang di atasnya. Di tebing itu terdapat bagian-bagian menonjol, berupa keping-keping batu. Tiba-tiba Dinah terduduk. "He!" serunya memanggil anak-anak yang lain. "Coba lihat ke atas sana!" Anak-anak menghampirinya. lalu ikut mendongak. "Kalian lihat keping-keping batu yang menonjol di sana-sini itu, terus sampai ke atas?" katanya. "Kelihatannya seperti rak-rak yang bertingkat-tingkat. Nah — sekarang pandanglah kira-kira ke setengah tinggi tebing. Kalian lihat keping batu yang agak jauh menonjol ke depan itu? Pandanglah sebelah bawahnya. Lubangkah itu?" "Kelihatannya memang seperti lubang,” kata Jack. "Tapi mungkin liang rubah. Tapi hanya itu saja satu-satunya lubang yang nampak di sekitar sini. Jadi lebih baik kita periksa! Aku akan naik ke situ. Kau ikut, Jambul?" "Tentu," kata Philip. "Jalan ke situ kelihatannya tidak begitu sukar. Dinah dan Lucy-Ann tidak ikut?" Dinah lupa bahwa ia tadi mengatakan sudah bosan. Ia ikut memanjat lewat tonjolan-tonjolan batu, menuju lubang yang nampak di bawah batu yang menjorok ke depan. Sesampai di situ, ternyata lubang itu sangat besar. Lubang itu dari atas tidak kelihatan, karena terlindung batu yang menonjol. Dari bawah pun hanya terlihat dari satu tempat saja. Dan Dinah justru berbaring di tempat itu! "Untung kau tadi kebetulan melihatnya, Dinah," kata Jack. "Kalau tidak, bisa seharian kita mencari tanpa berhasil menemukannya. Aku ingin tahu, apakah memang ini jalan masuk ke gua tempat harta itu." Anak-anak memandang ke dalam lubang itu. Kelihatannya gelap dan dalam. "Mana senterku?" kata Jack. Senter itu ada di kantongnya. Diambilnya benda itu, lalu dinyalakan. Anak-anak memandang ke dalam lubang, yang kelihatannya merupakan lubang biasa saja. Tidak ada apa-apa di situ. Tapi ketika Jack mengarahkan sinar senternya agak lebih ke bawah lagi, tiba-tiba Dinah merasa seperti melihat ada lorong di situ. "Kurasa lubang ini berujung di sebuah lorong," katanya bersemangat. Nyaris saja ia terjatuh ke dalam lubang. Kiki yang semula bertengger di atas bahu Jack, terbang memasuki lubang itu. Tidak lama kemudian terdengar suaranya dari dalam lubang. "Ada apa di situ, Kiki?" seru Jack. "Tiga tikus buta," jawab Kiki. Tentu saja ia bohong, karena dalam lubang itu sama sekali tidak ada tikus. Dan ia pun memang hanya mengucapkan kata-kata sebuah lagu kanak-kanak. "Tiga tikus buta — cul!" "Dasar pembohong," kata Jack. "Tapi pokoknya kita turun saja sekarang, untuk mencari..." "Tiga tikus buta," kata Kiki, lalu cekikikan. Suaranya persis seperti Lucy-Ann, kalau anak itu tertawa geli. Bab 21 MEMASUKI BERBAGAI GUA Jack masuk paling dulu. Ia merosot ke bawah. Ternyata lubang itu sama sekali tidak dalam. Dengan tubuh terjulur, ia hanya harus meluncur sejauh setengah meter saja sampai ke dasarnya. "Sekarang kau, Lucy-Ann," serunya dari bawah. Dibantunya anak itu merosot turun. Setelah itu menyusul Philip dan Dinah. Mereka semua bergairah. Mungkinkah mereka benar-benar berhasil menemukan gua harta yang dicari-cari? "Pasti ini tempat penyembunyian harta itu!" kata Jack. "Di dekat-dekat sini sama sekali tidak ada gua yang lain. Nanti, akan kusorotkan sebentar senterku ke sekeling tempat ini!" Penglihatan Dinah tadi ternyata benar. Di bagian belakang lubang, ada Sebuah lorong. Lorong itu lebar, dan cukup tinggi. Orang yang sangat jangkung pun bisa lewat di situ dengan leluasa. "Yuk — mestinya kita sudah dekat," kata Jack. Suaranya gemetar, karena bersemangat. Dengan Kiki bertengger di bahunya, ia mendului masuk ke dalam lorong. Anak-anak yang lain mengikutinya. Lucy-Ann berpegang erat-erat pada lengan baju abangnya. Ia agak ngeri, karena tidak tahu apa yang akan dijumpai nanti. Lorong yang mereka telusuri masih tetap lebar dan tinggi sepanjang jalan, tapi sangat berliku-liku. Arahnya menurun. Dan walau berkelok-kelok, tapi boleh dikatakan tetap menuju ke satu arah — yaitu ke tengah-tengah gunung. Tiba-tiba lorong itu berakhir. Jack tertegun. Napasnya tersentak. Di depannya terbentang pemandangan yang luar biasa. Cahaya senternya menerangi tiang-tiang berwarna putih mulus. Jumlahnya banyak sekali, menjulur ke bawah dari langit-langit sebuah gua. Apakah benda-benda itu? Lucy-Ann masih memegang lengan Jack, ia juga tersentak karena kaget. Matanya menatap tiang-tiang putih bersih itu. Ia juga melihat bahwa dari dasar gua juga menjulang tiang-tiang yang semacam. Ada di antaranya yang bersambung dengan tiang yang menjulur dari atas, sehingga langit-langit gua itu kelihatan seperti ditopang sejumlah tiang besar. "Apa itu, Jack?" bisik Lucy-Ann. "Itukah harta yang kita cari?" "Itu kan air yang membeku, menjadi tiang-tiang es?" kata Dinah dengan nada kagum. "Belum pernah aku melihat benda yang begitu indah seumur hidupku! Lihatlah, betapa putihnya. Indah sekali!" "Tidak, itu bukan es," kata Jack. “Itu stalaktit — setidak-tidaknya begitulah nama tiang-tiang yang menjulur dari atas. Stalaktit, kalau tidak salah terdiri dari kapur. Tapi hebatnya, bukan main!" Anak-anak berdiri dengan perasaan kagum. Mereka asyik memandang gua sunyi yang indah itu. Langit-langitnya sangat tinggi. Stalaktit-stalaktit berbentuk langsing berjuluran ke bawah dari situ, kemilau nampaknya kena sinar senter yang dipegang oleh Jack. "Tonggak-tonggak yang tumbuh dari bawah ke atas, kalau tidak salah namanya stalagmit," kata Jack. "Betul kan, Philip? Kau tahu tidak? Aku belum pernah melihat pemandangan seperti ini!" "Ya — namanya memang betul stalagmit," kata Philip. "Aku ingat, pernah melihat gambar-gambar mengenainya. Bukan main hebatnya pemandangan ini!" Stalaktit dan stalagmit. Kiki berusaha menyebutkan kedua perkataan itu, tapi tidak bisa. Ia pun kelihatannya kagum melihat temuan yang tak disangka-sangka itu. "Wah!" kata Lucy-Ann tiba-tiba. Ia menuding salah satu bentuk kapur itu, yang kelihatannya seperti selendang kuno yang terukir dari gading. "Lihatlah — batu ini kelihatannya persis selendang. Bahkan ada pola-polanya di situ! Lalu itu — kelihatannya seperti semacam gerbang. Dan berukir-ukir pula permukaannya. Ini pasti buatan manusia — atau mungkin tumbuh dengan sendirinya?" "Yah — memang betul buatan, tapi buatan alam," kata Jack. Ia berusaha memberi penjelasan pada adiknya. "Sama saja dengan kristal salju. Kristal salju terbentuk dan bukan tumbuh, karena kristal bukan sesuatu yang hidup." Lucy-Ann masih belum begitu mengerti. Dalam hati ia berpendapat, mungkin saja tonggak-tonggak indah yang bergelantungan itu mula-mula tumbuh, lalu kemudian membeku dalam wujudnya yang begitu memukau. "Kusangka tadi inilah harta yang dicari-cari!" katanya sambil tertawa kecil. "Aku tidak heran," kata Jack, "karena memang sangat indah! Bayangkan — menemukan gua seperti ini! Kelihatannya seperti katedral kuno yang besar di bawah tanah. Yang kurang hanya suara orgel saja, memainkan himne yang anggun dan megah." "Lihatlah — di bagian tengah gua ini kelihatannya ada jalanan," kata Dinah. "Aku tidak tahu apakah itu memang dari semula sudah begitu, atau dibuat oleh manusia. Kau lihat apa yang kumaksudkan, Jack?" "Ya," kata Jack, la menyorotkan senternya ke tempat itu. "Kurasa kedua-duanya benar! Ini jalanan alam, yang kemudian disempurnakan oleh manusia. Nah — bagaimana jika kita sekarang terus? Di sini tidak ada harta" Mereka menyusur ruangan alam yang besar dan sunyi itu lewat tengah-tengahnya, diapit tonggak-tonggak yang berjuluran di kiri dan kanan. Lucy-Ann menunjukkan sejumlah besar yang sudah bersambungan atas dan bawah. "Air yang mengandung kapur menetes ke bawah dari stalaktit dan membentuk stalagmit, yang tumbuh makin lama makin tinggi, sehingga akhirnya keduanya saling menyambung,"' kata Philip. "Proses pembentukan itu lama sekali — mungkin memakan waktu berabad-abad. Tidak heran apabila gua ini menimbulkan kesan tua dalam diri kita. Aku merasa seolah-olah waktu sama sekali tidak ada artinya di tempat ini. Tidak ada tahun, hari atau jam — di sini sama sekali tidak dikenal arti waktu." Lucy-Ann merasa tidak enak mendengar kata-kata itu. Dalam dirinya timbul perasaan aneh — seolah-olah saat itu ia sedang bermimpi. Cepat-cepat dipegangnya lengan Jack. Dengan langkah-langkah lambat, anak-anak menuju ke ujung belakang gua besar itu. Di situ terdapat semacam gerbang yang besar. Gerbang itu juga penuh dengan stalaktit, tapi yang tidak begitu jauh menjulur ke bawah. Anak-anak bisa lewat di bawahnya dengan leluasa. "Gerbang ini menyerupai lorong," kata Philip. Anak-anak kaget, karena suaranya menggema di situ. Kiki batuk-batuk, langsung terpantul dari dinding gerbang itu sehingga kedengarannya seperti batuk seorang raksasa! Kemudian mereka sampai di sebuah gua lagi. Langit-langit di situ tidak setinggi pada gua sebelumnya. Stalaktit yang bergantungan di situ tidak begitu besar. "Bersinarkah stalaktit-stalaktit ini dalam gelap?" tanya Dinah dengan tiba-tiba. '"Aku rasanya seperti melihat sinar pendar di sudut sana." Jack memadamkan senternya — dan seketika itu juga napas anak-anak tersentak. Mereka melihat beribu titik cahaya kemilau di langit-langit dan di dinding gua, nampaknya seperti bintang-bintang gemerlapan. Warnanya ada yang hijau. dan ada yang biru, berkelip-kelip menakjubkan sekali. "Astaga!" bisik Dinah kagum. "Apa itu? Hidupkah cahaya itu?" Anak-anak tidak ada yang tahu. Mereka hanya bisa menduga-duga, sambil terus memandang cahaya gemerlapan itu. "Mungkin sejenis kunang-kunang," tebak Jack. "Tapi indah sekali, ya?" Ia menyalakan senternya lagi. Sinarnya menerangi langit-langit gua. Seketika itu juga kemilau tadi menghilang. "Matikan lagi sentermu!" pinta Lucy-Ann. "Aku masih kepingin melihat cahaya indah itu Belum pernah aku melihat pemandangan yang begitu menakjubkan selama ini! Cahayanya berpendar-pendar, biru dan hijau. Kelihatannya seperti berkelip-kelip. Ah, kepingin rasanya membawa pulang barang seratus saja, lalu kutaruh di langit-langit kamar tidurku!" Anak-anak yang lain menertawakan ucapannya itu. Tapi mereka pun sangat kagum melihat kumpulan cahaya yang bersinar bagaikan bintang-bintang itu. Jack baru menyalakan senternya kembali, ketika semua sudah puas memandang. "Kedua gua ini benar-benar hebat sekali," kata Lucy-Ann sambil mendesah puas. "Gua apa lagi yang akan kita temukan setelah ini? Aku benar-benar merasa kita ini menemukan Gua Aladin — pokoknya salah satu gua ajaib!" Di ujung gua itu, yang oleh Lucy-Ann dinamakan Gua Bintang, terdapat sebuah lorong panjang yang condong ke bawah. "Kita sudah menemukan gua gema, gua stalaktit dan gua bintang," kata Lucy-Ann. "Aku suka petualangan yang begini. Sekarang aku ingin menemukan gua harta!" Lorong yang mereka lalui saat itu lapang, seperti lorong pertama yang mereka masuki tadi. Tiba-tiba nyala senter yang dipegang Jack menerangi sesuatu yang terletak di lantai lorong. Anak itu berhenti berjalan. "Lihatlah—apa itu?" katanya. Dinah membungkuk untuk mengambil benda itu. "Bros," katanya sambil mengamat-amati. "Tapi tanpa penitinya. Penitinya sudah tidak ada lagi. Mungkin patah — sehingga bros ini terlepas dari baju pemakainya. Indah sekali, ya?" Bros itu memang sangat indah. Besar, terbuat dari emas. Ukuran lebarnya hampir sepuluh senti, bertatahkan batu permata berwarna merah darah. "Batu delimakah ini?" kata Dinah dengan kagum. "Lihatlah, betapa kemilau! Wah, Jack —mungkinkah ini merupakan bagian dari harta yang kita cari?" "Mungkin saja," kata Jack. Semangat anak-anak mulai menggelora kembali. Jantung mereka berdebar keras. Bros dari emas, dengan hiasan batu delima! Lalu, apakah harta selebihnya? Bermacam-macam bayangan memenuhi pikiran anak-anak saat itu, gambaran yang serba indah — sementara mereka meneruskan langkah sambil tersandung-sandung. Mata mereka terpaku ke tanah, mencari-cari permata lainnya yang mungkin ada di situ. "Coba kita nanti menemukan sebuah gua, penuh dengan batu permata," kata Lucy-Ann. "Aduh — semuanya kemilau, bagaikan bintang dan matahari! Hmm — itulah yang kuharapkan." "Mungkin saja itu yang kita temukan," kata Dinah. "Dan kalau ternyata benar, aku akan menghiasi tubuhku dari ubun-ubun sampai ujung kaki dengan berbagai perhiasan. Aku akan pura-pura menjadi putri raja!" Lorong yang mereka lalui masih belum berakhir, masih terus saja mengarah ke bawah. Tapi ketika Jack memperhatikan pedoman yang dibawa, ternyata lorong itu tidak lagi menunjuk ke tengah gunung, melainkan ke arah sebaliknya. Mudah-mudahan saja lorong itu tidak secara tiba-tiba membawa mereka ke luar, tanpa menemukan harta karun yang tersembunyi. Tanpa disangka, tahu-tahu mereka sampai di ujung atas suatu tangga yang menuju ke bawah. Tangga itu ditatah dari dasar batu. Letaknya agak curam, dengan anak tangga yang lebar-lebar. Tangga itu melengkung, mengikuti arah lorong yang melengkung pula. "Seperti tangga putar saja," kata Jack mengomentari. "Akan tiba di mana kita nanti?" Anak tangga yang mereka lalui berjumlah sekitar dua puluh. Kemudian mereka sampai di depan sebuah pintu yang besar sekali. Pintu itu terbuat dari kayu yang kokoh, dengan paku-paku besi sebagai penguatnya. Anak-anak tertegun, memandang pintu itu. Apakah yang terdapat di belakangnya? Terkuncikah pintu itu? Siapa yang membuatnya, dan untuk apa? Mungkinkah itu pintu gua harta? Pada daun pintu itu tidak ada pegangan yang bisa diputar. Anak-anak bahkan sama sekali tidak melihat kunci terpasang di situ. Yang ada hanya gerendel yang besar-besar. Tapi gerendel-gerendel itu tidak berada pada posisi terpasang. "Bagaimana bisa membuka pintu yang tidak ada pegangannya?" kata Jack. Dicobanya mendorong, tapi pintu itu sedikit pun tidak bergerak dari tempatnya. "Coba kautendang — seperti waktu itu kita lakukan dengan pintu pondok," kata Philip mengusulkan. Jack menendang daun pintu keras-keras. Kakinya terasa sakit—tapi pintu tetap tertutup. Anak-anak memandangnya dengan kesal bercampur kecewa. Sudah sampai sebegitu jauh mereka menyelidiki — tapi kini terhalang pintu! Sialan. Jack menerangi seluruh permukaan pintu dengan senternya, dari atas sampai ke bawah. Tiba-tiba mata Lucy-Ann yang tajam melihat sesuatu. "Kalian lihat paku besi yang itu?" katanya sambil menuding. "Kelihatannya lebih licin dari yang lain-lainnya. Kenapa ya?" Jack menerangi paku yang ditunjuk oleh adiknya. Memang, paku itu lebih licin dan bersih. Ukurannya juga agak lebih besar, seperti semacam pasak. Permukaannya yang licin menimbulkan kesan sering dipegang. Jack mendorong paku itu. Tapi tidak berakibat apa-apa. Diketoknya dengan batu. Pintu tidak bergerak sama sekali. m "Coba aku sekarang," kata Philip, sambil mendorong Jack ke samping. "Arahkan sinar sentermu ke situ. Ya, begitu!" Philip memegang paku itu, lalu menggoncang-goncangnya. Rasanya seperti bergerak sedikit. Ia menggoncangnya sekali lagi. Tidak terjadi apa-apa. Kemudian timbul pikiran Philip untuk memutarnya. Ternyata paku itu bisa diputar dengan mudah sekali. Terdengar bunyi detakan nyaring — dan dengan pelan, pintu terbuka. Jack cepat-cepat memadamkan senter. Ia khawatir, jangan-jangan ada orang di dalam yang bisa melihat sinarnya. Padahal kalau memang benar ada orang di situ, ia pasti sudah mendengar bunyi pintu yang diketuk dan digedor-gedor tadi! Pintu sudah terbuka lebar. Di dalam nampak cahaya remang, menerangi semacam gua. Lucy-Ann mencengkeram lengan Jack, ia ketakutan. "Di dalam banyak orang," bisiknya ngeri. "Lihatlah!" Bab 22 AKHIRNYA — HARTA KARUN! Keempat anak itu tertegun di ambang pintu. Mereka berdiri dengan napas tertahan, karena menatap pemandangan yang menyebabkan bulu tengkuk mereka berdiri karena seram. Diterangi cahaya samar-samar, mereka melihat orang-orang berdiri dalam ruangan di belakang pintu. Mata mereka bersinar aneh. Gigi mereka berkilauan, memantulkan sinar remang. Pada lengan dan leher mereka bergantungan berbagai perhiasan. Anak-anak saling berpegangan. Mereka ketakutan. Siapakah orang-orang aneh yang membisu itu — yang berdiri dengan mata bersinar, dengan berbagai perhiasan memenuhi tubuh? Orang-orang tak dikenai dalam gua itu tidak bergerak sedikit pun. Mereka juga tidak mengatakan apa-apa. Mereka semua tegak, tidak ada yang duduk. Beberapa di antaranya menghadap ke arah anak-anak yang sedang ketakutan di ambang pintu, dan ada pula yang bersikap membelakangi. Kenapa mereka tidak berbicara? Kenapa tidak ada yang menuding anak-anak yang tiba-tiba muncul itu, sambil bertanya, "Siapa mereka?" Lucy-Ann menangis ketakutan. "Yuk, kita kembali. Aku ngeri melihat mereka. Mereka tidak hidup Hanya mata mereka saja yang berkilat-kilat" Tiba-tiba Kiki menjerit. Ditinggalkannya bahu Jack, terbang menghampiri salah satu sosok tubuh yang paling dekat lalu hinggap di bahunya. Sosok tubuh itu seorang wanita yang mengenakan pakaian yang indah kemilau. Tapi wanita itu masih tetap saja belum bergerak. Aneh! Anak-anak mulai agak berani, ketika melihat Kiki nampaknya sama sekali tidak takut pada orang-orang aneh itu. "Masak air!" kata Kiki, sambil mematuk rambut wanita yang diduduki bahunya. Anak-anak menahan napas. Apakah yang akan diperbuat wanita itu terhadap Kiki? Akan disihirkah burung iseng itu dengan tatapan matanya yang aneh, sehingga Kiki menjelma menjadi batu? Atau mungkin orang-orang itu sendiri yang pernah kena sihir, sehingga kini menjadi batu? "Yuk, kita kembali," desak Lucy-Ann. "Aku tidak suka pada gua ini. Aku tidak suka melihat orang-orang itu, yang matanya menyeramkan." Tiba-tiba Jack melompat, menuruni jenjang yang terdapat langsung di belakang pintu. Dengan langkah tegas dihampirinya sosok-sosok tubuh yang seperti terpaku itu. Lucy-Ann terpekik. Ia berusaha menangkap lengan abangnya, tapi terlambat. Jack langsung mendatangi wanita yang bahunya diduduki oleh Kiki. Diperhatikannya dari dekat mata yang terbuka lebar dan berkilat-kilat. Disentuhnya rambutnya. Kemudian Jack berpaling pada teman-temannya yang memandang dengan perasaan ngeri. "Kalian mau tahu, siapa dia ini? Ini kan patung — dengan pakaian indah, dengan rambut manusia — sedang matanya terbuat dari batu permata. Nah — apa kata kalian sekarang?" Anak-anak merasa sulit untuk mempercayainya. Tapi mereka lega mendengar kata-kata Jack yang begitu tegas, serta melihatnya berkeliaran di antara sosok-sosok tubuh yang masih tetap terpaku di tempat masing-masing. Mereka melihat bahwa Jack tidak diapa-apakan! Philip dan Dinah menuruni jenjang. masuk ke dalam gua. Tapi Lucy-Ann belum berani. Diperhatikannya anak-anak yang asyik mengamat-amati patung-patung aneh yang indah-indah itu. Akhirnya ia memberanikan diri, menyusul mereka. Dengan takut-takut dipandangnya patung wanita, yang bahunya ditenggeri Kiki. Ya — Jack memang benar. Wanita itu ternyata hanya patung yang indah belaka, dengan paras yang dibentuk dengan halus serta rambut tebal berwarna gelap. Matanya terbuat .dari batu permata, begitu pula giginya yang kemilau. Pada lehernya tergantung kalung-kalung emas bertatahkan batu-batu berharga, sedang jari-jarinya berhiaskan cincin beberapa buah. Sebuah ikat pinggang yang indah melilit pinggangnya. Belum pernah Lucy-Ann melihat ikat pinggang sebagus itu, penuh ukiran serta batu-batu kemilau berwarna merah dan biru. Berlusin-lusin jumlah patung yang terdapat di situ, pria dan wanita. Patung-patung wanita ada yang menggendong bayi yang montok-montok dan berpakaian serba indah, dihiasi beribu-ribu mutiara yang kecil-kecil. Bayi-bayi itulah yang membuat Jack sadar patung-patung apa sebenarnya yang mereka lihat itu. "Kalian tahu, ini patung-patung apa?" katanya. "Ini patung-patung yang berasa dari berbagai gereja di negeri ini. Yang ini patung Bunda Maria — sedang bayi mungil ini tentunya Yesus. Itu rupanya mengapa patung-patung ini dihiasi dengan begitu banyak perhiasan yang indah-indah. Perhiasan ini disumbangkan oleh para jemaah, supaya mereka nampak indah." "Ya, betul! Dan patung-patung ini biasa diarak dalam pesta-pesta gereja," kata Dinah, ia teringat, ibunya pernah bercerita mengenai pesta semacam itu. "Bayangkan — patung-patung ini ternyata berasal dari gereja-gereja! Tapi untuk apa?" "Kurasa ini barang-barang curian," kata Jack. "Dicuri orang-orang yang gemar memancing di air keruh. Mereka memanfaatkan kesempatan yang timbul pada saat keadaan sedang kacau karena peperangan! Patung-patung ini mereka curi, lalu mereka sembunyikan di sini — untuk kemudian diambil begitu ada kesempatan!" "Nilainya pasti tak terbayangkan," kata Philip, sambil meraba-raba batu permata yang indah-indah itu. "Aduh, aku tadi kaget sekali, ketika pertama kali melihat patung-patung ini! Sungguh — kusangka mereka manusia!" "Aku juga menyangka begitu," kata Lucy-Ann, yang sementara itu sudah pulih lagi keberaniannya. "Tidak enak perasaanku, melihat mereka berdiri tanpa bergerak sedikit pun! Nyaris saja aku tadi menjerit ketakutan!" "Kita memang benar-benar tolol, tidak dari semula sudah menduga bahwa semuanya ini patung," kata Dinah. "Tapi dari manakah datangnya sinar yang menerangi tempat ini? Hanya remang-remang cahayanya, tapi sudah cukup untuk membuat kita bisa melihat di sini." Jack memandang berkeliling gua. "Kurasa cahaya pendar ini berasal dari dinding dan langit-langit gua," katanya kemudian. "Cahayanya agak kehijau-hijauan!" "He — di sini ada semacam lorong beratap melengkung," seru Philip, yang sementara itu sudah masuk lebih dalam. "Lihatlah sendiri! Kurasa di sebelah sana ada gua lagi." Anak-anak memasuki lorong pendek itu. Ternyata di ujungnya memang ada gua lagi, diterangi cahaya pendar kehijauan seperti dalam gua patung. Dalam gua itu terdapat barang-barang berukuran besar dan berbentuk persegi empat, bertumpuk-tumpuk. Di situ sama sekali tak ada patung. Anak-anak menghampiri barang yang bertumpuk-tumpuk itu, untuk memperhatikan dari dekat "He — ini kan lukisan!" seru Jack, ketika ia membalikkan salah satu benda persegi empat itu. "Lukisan yang besar-besar! Dari mana asal barang-barang ini? Juga dari gereja?" "Kurasa dari berbagai museum," kata Philip. "Lukisan-lukisan ini mungkin sangat termasyhur. Mungkin pula sudah tua sekali. Harganya pasti jutaan! Coba perhatikan lukisan yang itu — kelihatannya sudah kuno sekali. Wah! Barang-barang yang terdapat dalam kedua gua ini, nilainya pasti luar biasa! Aku ingat pernah membaca beberapa waktu yang lalu, tentang lukisan-lukisan yang nilainya sampai dua atau tiga juta pound!" "Tak kusangka sebegitu banyak uang yang ada di dunia ini," kata Lucy-Ann kaget. Dengan perasaan takjub dipandangnya lukisan-lukisan kuno yang terselimuti debu, sementara jarinya menelusuri tepi bingkai yang berukir-ukir. "Lukisan-lukisan ini ada yang dikeluarkan dari bingkainya untuk kemudian dibawa kemari," kata Jack. Ditariknya segulung kain kanvas tebal. "Lihatlah! Yang ini kelihatannya dirobek dari bingkainya lalu digulung, supaya lebih mudah diangkut." Di samping lukisan-lukisan berbingkai, masih ada sekitar lima puluh gulungan kanvas di situ. Jack menerangi lukisan demi lukisan dengan senternya. Tapi tidak ada yang menarik perhatian anak-anak. Kebanyakan merupakan lukisan orang-orang bertubuh agak gemuk dan bertampang garang. Ada juga yang menggambarkan adegan dari Kitab Suci, atau hikayat-hikayat kuno. "Wah, ini benar-benar penemuan yang hebat!" kata Jack bergairah. "Bayangkan —jika Juan dan kedua kawannya berhasil menemukan harta ini, lalu kemudian menjualnya, mereka pasti akan kaya raya!" "Tentu saja — memang inilah yang mereka cari-cari," kata Philip. "Sekarang aku mengerti, untuk apa peti-peti kosong itu! Untuk dipakai mengangkut segala harta ini. Mereka bermaksud membawa barang-barang ini pergi dari sini — sedikit demi sedikit. Hebat sekali ide mereka itu!" "Tapi mereka tertipu oleh Otto!" kata Jack. "Otto membawa mereka ke tempat batu longsor, lalu mengatakan gua harta ada di belakang tumpukan batu-batu itu — sehingga akhirnya mereka putus asa dan pergi dengan tangan hampa. Dasar orang-orang tolol!" "Sedang kita — kita menemukan segala-galanya!" kata Lucy-Ann dengan gembira. "Ah, coba aku bisa menceritakan penemuan ini pada Bill!" "Masih adakah gua lain-lainnya, kecuali yang dua ini?" tanya Jack pada dirinya sendiri. la pergi ke ujung gua lukisan itu. "Ya — di sini ada lagi lorong, menuju ke sebuah gua lainnya. Wah, di sini ada buku-buku. Dokumen-dokumen kuno! Cepat — lihatlah sendiri!" "Buku-buku kuno nilainya kadang-kadang sama tingginya seperti lukisan kuno," kata Philip, ia berdiri sambil memandang berkeliling, memperhatikan buku-buku besar bersampul tebal yang bertumpuk-tumpuk di tempat itu. "Coba perhatikan buku ini! Sebuah Kitab Suci, tapi ditulis dalam bahasa asing. Bukan main besarnya! Dan lihatlah — huruf-hurufnya yang kuno!" "Gua-gua ini memang merupakan tempat penyimpanan harta," kata Jack. "Harta yang berasal dari berbagai gereja, perpustakaan dan museum! Kurasa yang menyembunyikan dulu di sini panglima-panglima perang, dengan maksud mengambilnya apabila perang sudah selesai —lalu menjualnya dengan harga mahal sekali. Jahat sekali mereka itu, mencuri barang-barang begini!" "He — di sini ada lagi sebuah gua, tapi kecil!" seru Dinah, yang sementara itu berkeliaran sendiri. "Dan di dalamnya ada sebuah peti besar. Tidak, bukan hanya satu — tapi banyak! Apa isinya, ya?" Jack menghampiri salah satu peti besar itu, lalu membuka tutupnya. Matanya terbelalak, ketika melihat mata uang bertumpuk-tumpuk di dalamnya. Warnanya kemilau! "Emas!" kata Jack. "Rupanya ini mata uang emas salah satu negara. Tapi negara mana, aku tidak tahu. Aku belum pernah melihat mata uang emas seperti ini. Astaga! Peti-peti ini rupanya juga penuh berisi harta! Di mana-mana ada harta yang nilainya luar biasa tingginya!" "Aku rasanya seperti bermimpi," kata Lucy-Ann. Ia duduk di atas salah satu peti. "Sungguh! Mula-mula gua dengan es atau stalak - apa namanya tadi? Ah, pokoknya tonggak-tonggak putih itu — lalu gua berbintang, gua berisi patung-patung kemilau dengan perhiasan emas permata, kemudian gua lukisan, gua buku — dan sekarang, gua yang penuh dengan emas! Sulit rasanya percaya bahwa aku saat ini bukan sedang mimpi!" Kesemuanya itu memang luar biasa. Anak-anak duduk beristirahat sebentar di atas peti-peti. Sinar pendar kehijauan juga agak menerangi tempat itu — sinar yang tidak ketahuan dari mana asalnya, tapi nampak di mana-mana. Dalam ruangan itu sunyi sepi. Anak-anak bisa mendengar bunyi napas mereka sendiri. Mereka kaget, ketika Jack tiba-tiba terbatuk. Kemudian terdengar bunyi lain memecah kesunyian di situ. Bunyi yang sama sekali tak disangka-sangka akan terdengar di situ! "Tek-kotek-kotek!" "Suara apa itu?" kata Lucy-Ann pelan, setelah ia pulih dari kekagetannya. "Kedengarannya seperti ayam betina berkotek!" "Ah, paling-paling Kiki," kata Jack, ia mencari-cari burung kakaktua itu. Tapi Kiki bertengger tidak jauh dari situ, di atas sebuah peti. Kelihatannya murung. Ia sudah bosan, terus-menerus berada dalam gua. Anak-anak memandangnya. Mungkinkah yang berkotek tadi Kiki? Mereka menunggunya berbunyi lagi seperti tadi. Tapi Kiki diam saja. Sesaat kemudian terdengar kembali bunyi itu dengan jelas. "Tek-tek-tek-kotek! Kotek-kotek!" Jelas bukan Kiki yang bersuara. "Ayam betina!" kata Jack sambil meloncat berdiri. "Itu suara ayam betina, yang baru saja bertelur! Tapi — dalam gua di bawah tanah ini? Mana mungkin?" Anak-anak bergegas bangun semuanya. Dinah menunjuk ke arah belakang gua kecil itu. Di situ kelihatan ada tangga. "Bunyi itu datang dari sana," katanya. "Biar aku saja yang memeriksa, apakah itu benar-benar ayam," kata Jack. "Rasanya mustahil!" Dengan berhati-hati ia mendaki tangga yang menuju ke atas. Tepat pada saat itu terdengar kembali suara berkotek-kotek yang tadi. Kiki terbangun dari tidurnya. Ia kaget mendengar suara itu, lalu menirukannya. Seketika itu juga terdengar bunyi kotek beruntun-runtun, seolah-olah pemilik suara itu heran ada yang membalas panggilannya. Sementara itu Jack sudah sampai di ujung atas tangga. Di situ ada pintu lagi, tapi tidak begitu kokoh seperti pintu yang pertama. Pintu itu terbuka sedikit. Jack mendorongnya sedikit dengan hati-hati. Maksudnya agar ia bisa memandang ke belakang pintu, tanpa ketahuan — walau ia mengira hanya akan melihat seekor ayam betina di situ. Tapi ia melongo, ketika melihat pemandangan yang nampak di balik pintu. Dari belakang, Philip mendorongnya. "Ayo, terus dong! Ada apa sih?" Jack berpaling. "Aneh," katanya setengah berbisik, "tapi di sini ada sebuah ruangan kecil — seperti sel — dengan perabotan meja kursi dan lampu — yang menyala! Dan di atas meja ada makanan!" "Kalau begitu cepat turun," bisik Dinah. "Jangan sampai kita ketahuan! Pasti di sini ada orang yang menjaga harta, sampai teman-temannya datang mengambil. Yuk, turun!" Tapi terlambat! Saat itu juga terdengar suara seseorang, dari ruangan sempit yang baru saja diintip oleh Jack. Orang itu mengucapkan beberapa patah kata — tapi anak-anak tidak memahaminya, karena diucapkan dalam bahasa asing. Suara itu aneh, agak bergetar. Apakah yang akan terjadi sekarang? Bab 23 PENJAGA HARTA Anak-anak tidak berani bergerak. Bahkan bernapas pun mereka tidak berani. Siapakah yang ada dalam ruangan di ujung tangga itu? Saat itu terdengar kembali suara yang tadi, mengulangi kata-kata yang tidak dimengerti oleh anak-anak. Kemudian ada yang muncul di ambang pintu. Seekor ayam betina, berbulu coklat. Ayam itu menelengkan kepala, memandang anak-anak. "Kotek!" Ayam itu seolah-olah menyapa mereka dengan ramah. "Kotek-kotek!" "Kotek!" balas Kiki. Lucy-Ann berpegang pada Dinah. "Ayam itukah yang berbicara tadi?" bisiknya heran. Tentu saja bukan! Saat itu terdengar lagi suara gemetar yang tadi. Anak-anak heran, karena suara itu terdengar takut-takut. Tidak ada yang menghampiri Jack, yang saat itu masih berada di dekat ujung atas tangga. Anak itu memberanikan diri, lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Di bagian belakang ruangan itu, di bawah suatu lengkungan sempit yang menaungi, berdiri seorang laki-laki tua. Di belakangnya ada seorang wanita yang tuanya sama dengan laki-laki itu. Tapi ia lebih bungkuk. Keduanya tercengang memandang Jack. Setelah itu mereka saling pandang-memandang, sambil berbicara dengan cepat. Anak-anak tidak memahami kata-kata mereka. Lucy-Ann ingin tahu, apa yang dilakukan Jack dalam ruang di atas itu. Abangnya itu perlu ditemani! Ia menaiki tangga, mendatangi Jack. Kedua orang tua itu semakin kaget, ketika tahu-tahu muncul lagi seorang anak Kali ini anak perempuan tapi berambut merah dan dengan muka penuh bintik, seperti Jack. Kemudian wanita tua itu berseru pelan. Ia mendesak maju, menghampiri Lucy-Ann. Anak itu dirangkul dan diciumnya, sedang rambutnya yang. merah diusap-usap. Lucy-Ann kaget ia tidak begitu senang. Siapakah wanita tua aneh itu, yang tiba-tiba saja merangkul dan menciumnya itu? "Dinah! Philip!" serunya ke luar. "Ayo naik! Di sini ada dua orang tua dengan ayam mereka!" Tidak lama kemudian anak-anak sudah masuk semua ke dalam kamar bawah tanah yang sempit itu. Begitu laki-laki tua itu mendengar mereka bercakap-cakap, ia langsung ikut berbicara. Bahasa Inggrisnya aneh — terpotong-potong kedengarannya. "Ah, ah! Kalian anak Inggris? Bagus, .bagus! Dulu, dulu sekali, aku pernah ke negeri kalian yang indah. Di hotel yang besar, di London." "Aduh, untung ia bisa berbahasa Inggris," kata Philip. "Tapi — apa yang mereka lakukan di sini, dengan segala harta yang ada di tempat ini? Jangan-jangan mereka bersekongkol dengan Juan serta kedua temannya!" "Kemungkinan itu harus kita selidiki," kata Jack. "Mereka sendiri kelihatannya tidak berbahaya. Tapi mungkin masih ada lagi teman-teman mereka di sini." Ia menoleh pada laki-laki tua itu. Wanita yang tua masih sibuk dengan Lucy-Ann. Kelihatannya mereka berdua sudah lama sekali tidak melihat anak-anak. "Kecuali Anda, siapa lagi yang ada di sini?" tanya Jack. "Cuma aku dan Elsa, istriku, serta Martha — ayam betina kami," jawab laki-laki tua itu. "Kami menjaga segala barang yang ada dalam gua, sampai saat semuanya dikembalikan ke tempat masing-masing. Mudah-mudahan saja itu akan bisa cepat terjadi!" "Kurasa kedua orang tua yang malang ini belum tahu bahwa perang sudah lama berakhir," kata Jack pada anak-anak yang lain, dengan suara pelan. "Aku ingin tahu, siapa yang meninggalkan mereka di sini untuk menjaga barang-barang itu." Ia bertanya lagi pada laki-laki tua itu. "Siapa yang menyuruh Anda menjaga barang-barang itu?" "Julius Muller," jawab orang itu dengan segera. "Ah, dia itu orang hebat! Ia berjuang terus melawan musuh, juga ketika mereka menyerang lembah kami dengan tembakan, pemboman dan kemudian pembakaran rumah-rumah! Ialah yang berhasil mengetahui bahwa musuh memakai gua-gua pegunungan kami untuk menyembunyikan segala harta itu — harta yang dicuri dari gereja-gereja kami, serta dari berbagai tempat lain." "Persis seperti yang kami sangka," kata Philip dengan penuh minat "Lalu? Ceritakanlah lebih lanjut!" "Kemudian orang-orang lari dari lembah kami," sambung laki-laki tua itu. "Banyak di antara mereka yang terbunuh. Lembah menjadi kosong. Tinggal kami saja yang masih ada di sini — aku dan Elsa, istriku. Musuh tidak berhasil menemukan kami. Kami bersembunyi dengan babi dan ayam-ayam peliharaan kami. Lalu pada suatu hari Julius Muller menjumpai kami. Kami disuruhnya kemari, lewat suatu jalan yang diketahui olehnya. Kami harus menjaga harta ini. Bukan untuk musuh. Bukan — melainkan untuk dia serta rakyat kami. Kata Julius, pada suatu waktu musuh pasti akan bisa dikalahkan lalu lari dari sini. Saat itu ia akan kembali bersama yang lain-lainnya untuk mengambil harta. Tapi sampai sekarang ia belum muncul!" "Ia tidak bisa kemari, karena celah gunung buntu," kata Jack. "Tak ada lagi yang bisa keluar-masuk lembah, kecuali dengan pesawat terbang. Perang sudah lama berakhir. Tapi kini ada sekawanan orang jahat yang ingin mengambil harta itu. Mereka mendengar kabar mengenai harta yang tersembunyi di sini, lalu bermaksud hendak mencurinya." Laki-laki tua itu kelihatan takut. Tapi sekaligus juga bingung, seolah-olah penuturan Jack hanya setengahnya saja yang dimengerti olehnya. Menurut perasaan anak-anak, orang itu sudah begitu hidup terasing di bawah tanah, sehingga pikirannya tidak mampu menampung terlalu banyak berita dari luar. Bagi orang itu hal-hal yang penting hanyalah istrinya, harta yang harus dijaga — dan mungkin juga ayam betinanya. "Anda tinggal di sini? Dalam kamar ini?" tanya Lucy-Ann. "Lalu dari mana Anda mendapat makanan? Senangkah ayam Anda tinggal di bawah tanah?" "Di sini banyak sekali tersimpan makanan," kata laki-laki tua itu. "Bahkan bagi Martha, ayam betina kami pun tersedia jagung. Ketika kami datang kemari, kami masih punya enam ekor ayam, serta babi kami. Tapi babi kami itu kemudian mati. Begitu juga halnya dengan ayam kami — satu per satu mereka mati. Sekarang hanya Martha yang masih ada. Martha sudah tidak sering lagi bertelur. Paling-paling sekali dalam dua minggu." Martha berkotek dengan bangga. Mungkin ia membanggakan telurnya yang sekali dua minggu itu. Kiki menirukan koteknya, lalu menyusulkannya dengan bunyi leteran bebek. Ayam betina itu kelihatan kaget, begitu pula halnya dengan kedua orang tua itu. "Diam, Kiki!" kata Jack. "Kau ini — mau pamer saja!" "Burung apa itu?" tanya Pak Tua. "Apakah itu — apa yang namanya — burung kakaktua?" "Betul," kata Jack. "Kiki ini kepunyaanku. Ia selalu ikut ke mana saja dengan aku. Tapi tidak inginkah Anda mengetahui, bagaimana kami bisa sampai di sini?" "Ah ya — tentu saja!" kata Pak Tua. "Kau harus mengerti, segalanya ini datang dengan begitu tiba-tiba — sedang otakku sudah tumpul. Aku tak mampu menyerap berbagai hal sekaligus! Tapi berceritalah mengenai diri kalian. Istriku — tolong ambilkan makanan untuk anak-anak ini!" Elsa tidak mengerti, karena ia tidak bisa berbahasa Inggris. Karena itu suaminya mengulangi permintaannya sekali lagi, tapi dalam bahasa mereka. Kini wanita tua itu mengangguk, tanda mengerti. Ia tersenyum, memamerkan mulutnya yang ompong. Dibimbingnya Lucy-Ann, diajaknya ke tempat kaleng-kaleng dan botol-botol yang berjajar di atas sebuah rak batu. "Ia senang sekali pada Lucy-Ann," kata Philip. "Lihat saja, betapa sibuknya ia dielus-elus." Laki-laki tua itu mendengar ucapan Philip, dan ia mengerti. "Kami dulu punya seorang cucu perempuan," katanya. "Rupanya persis seperti anak itu. Berambut merah, dan berparas manis. Cucu kami itu tinggal bersama kami. Tapi pada suatu hari musuh datang. Cucu kami dibawa pergi. Sejak itu kami tidak pernah melihatnya lagi. Dan kini istriku melihat cucu kami yang hilang itu pada diri adik kalian. Kalian harus memaafkannya, karena mungkin ia benar-benar menyangka Greta sudah kembali." "Orang-orang tua yang malang," kata Dinah. "Alangkah sengsaranya hidup mereka. Terasing dalam gunung, menjaga harta untuk Julius Muller — menunggu-nunggu kedatangannya kembali, tanpa mengetahui apa yang terjadi di dunia luar! Kalau kita tidak datang, mungkin mereka takkan pernah keluar lagi." Anak-anak merasa girang, karena Elsa ternyata menyajikan makanan yang enak-enak bagi mereka. Tapi ia tidak mau melepaskan Lucy-Ann dari sisinya. Jadi anak itu harus ikut terus ke mana pun wanita tua itu pergi. Jack menceritakan pengalamannya bersama anak-anak yang lain pada laki-laki tua. Tapi nampak jelas bahwa orang itu tidak bisa benar-benar mengikuti ceritanya. Ia sendiri mengatakan, otaknya sudah tumpul. Ia tidak mampu menyerap begitu banyak berita mengenai dunia yang sudah hampir dilupakannya. Kiki benar-benar asyik saat itu. Martha, ayam betina peliharaan sepasang suami istri tua itu rupanya biasa menemani mereka. Ia berkeliaran di bawah meja sambil mematuk-matuk, serta menggeserkan tubuh pada kaki-kaki yang terjulur di situ. Kiki meloncat turun untuk menemani ayam itu. Burung kakaktua itu mengoceh terus, seolah-olah mengajak Martha mengobrol. Tapi pembicaraan itu tentu saja hanya sepihak. "Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan kaki?" katanya pada Martha. "Bersihkan hidungmu. Masak air!" Sebagai jawaban, Martha berkotek dengan sopan. "Hampi dampi," sambung Kiki. Rupanya kini ia hendak mengajarkan beberapa lagu kanak-kanak pada Martha. "Lihat, mereka minggat! Kwek-kwek-kwek!" Ayam betina itu kelihatannya kaget. Ia mengibaskan bulunya sambil menatap Kiki. "Kotekkotekkotek!" koteknya, lalu mematuk remah-remah makanan. Lucy-Ann dan anak-anak yang lain cekikikan, mendengar obrolan aneh itu. Tiba-tiba Lizzie muncul di atas meja, melihat begitu banyak makanan yang ada di situ. Elsa kaget melihatnya. "Ini Lizzie," kata Philip, memperkenalkan kadalnya. "Wah — pasti mereka menyangka kita ini tamu aneh," kata Dinah. Lizzie diawasi terus olehnya, kalau-kalau datang mendekat "Tahu-tahu muncul — dengan seekor kakaktua serta seekor kadal — lalu ikut makan!" "Kurasa mereka tidak- begitu berkeberatan. kata Philip. "Mereka malah senang ada yang menemani, setelah begitu lama sendirian terus!” Akhirnya mereka selesai makan. Elsa mengatakan sesuatu pada suaminya, dalam bahasa mereka. Kemudian Pak Tua menoleh ke arah anak-anak. "Istriku bertanya, kalian capek? Barangkali ingin beristirahat? Kami punya tempat yang nyaman, jika ingin menikmati sinar matahari!" Anak-anak tercengang mendengarnya. Matahari? Mana mungkin pasangan suami istri tua itu bisa melihat matahari — kecuali jika mereka pergi ke lubang di tebing gunung, melalui berbagai gua dan lorong yang berliku-liku? "Di mana tempat itu?" tanya Jack. "Ayo ikut," kata Pak Tua, lalu pergi meninggalkan ruangan sempit itu. Elsa membimbing Lucy-Ann. Semuanya mengikuti Pak Tua, yang berjalan menyusur lorong lebar yang digali di tengah batu. "Kurasa lorong-lorong bawah tanah ini dulu disebabkan oleh aliran air di sini," kata Jack. "Tapi kemudian air mengalir ke arah lain. Lorong-lorong menjadi kering, menjadi terowongan yang menghubungkan gua dengan gua yang lain." Lorong yang dilalui berkelok sedikit. Tahu-tahu di depan nampak cahaya terang. Sinar matahari! Ternyata mereka tiba di atas sebongkah batu pipih yang datar bagian atasnya. Tempat itu diterangi sinar matahari, dan dikelilingi pakis serta tanaman lain-lainnya. Asyik! "Ini jalan lain untuk masuk ke gua harta," kata Dinah menduga. Tapi dugaannya itu ternyata keliru. Bongkah batu besar itu menjorok ke luar, di atas jurang yang dalam sekali. Tidak ada yang bisa memanjat naik atau turun dari situ. Bahkan kambing gunung yang cekatan pun tidak bisa. Tempat itu memang enak untuk menikmati cahaya matahari, seperti kata Pak Tua tadi. Tapi hanya untuk itu saja! Martha mengais-ngais di atas batu. Anak-anak tidak mengerti, apa yang bisa ditemukannya di situ. Kiki duduk di dekatnya, sambil memperhatikan. Ia kini sudah berteman baik dengan Martha. Anak-anak juga merasa senang pada ayam betina yang montok itu. Martha kelihatannya merupakan binatang kesayangan kedua orang tua itu — seperti Kiki bagi mereka sendiri. Mereka berbaring di atas batu. Enak rasanya sinar matahari yang menghangatkan tubuh, setelah sekian lama berada di bawah tanah. Sementara masih berbaring di situ, perhatian mereka kemudian tertarik mendengar bunyi berderu-deru di kejauhan. "Itu air terjun kita," kata Lucy-Ann. "Wah — mestinya ada di dekat-dekat sini, jika kita bisa mendengar bunyinya!" Anak-anak terkantuk-kantuk. Pak Tua duduk di atas batu dekat mereka. la kelihatannya puas. Elsa sudah menghilang lagi ke dalam. "Aneh ya — kalau dipikirkan," kata Dinah. "Harta karun sudah kita temukan — tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kita terdampar di sini. Tidak bisa memberi kabar pada siapa-siapa. Kemungkinan untuk itu takkan datang, selama jalan celah masih terus buntu. Entah sampai kapan!" "Aduh —janganlah membicarakan hal-hal yang suram," kata Lucy-Ann memelas. "Pokoknya, .orang-orang jahat itu sudah pergi dari sini. Syukurlah! Aku takut sekali, ketika mereka masih ada di lembah sini. Untung mereka sudah pergi lagi sekarang!" Lucy-Ann terlalu lekas bergembira. Sesaat kemudian terdengar bunyi derum yang sudah mereka kenal. Anak-anak langsung terduduk mendengar bunyi itu. "Pesawat itu datang lagi! Sialan! Sekarang orang-orang jahat itu akan berkeliaran lagi di sini. Jangan-jangan mereka berhasil memaksa Otto untuk memberi keterangan pada mereka — di mana harta itu sebenarnya disembunyikan," kata Jack. "Sekarang kita harus hati-hati sekali" Bab 24 JUAN MENEMUKAN GUA Anak-anak berunding. Apakah yang sebaiknya mereka lakukan sekarang? Bagaimana jika orang-orang itu kini sudah tahu jalan masuk ke gua harta, lalu datang ke situ? Mereka pasti akan mengangkuti segala harta yang ada di situ. "Sedang kita tidak bisa mencegah mereka," kata Philip. "Mereka kasar-kasar. Serombongan anak serta sepasang orang tua takkan mampu mencegah niat mereka mengambil semua yang mereka ingini. Aku tidak melihat alasan lain kenapa mereka kembali, kecuali untuk mencari harta itu lagi sampai dapat." Anak-anak yang lain sependapat. "Coba kita bisa lari dari sini, lalu memberi kabar pada Bill," desah Philip. "Tapi sama sekali tidak ada kemungkinan itu." Pesawat terbang itu belum nampak. Anak-anak baru mendengar bunyinya saja. Sedang Pak Tua, kelihatannya sama sekali tidak mendengar apa-apa. Anak-anak lantas memutuskan, lebih baik ia jangan diberi tahu. Nanti ia panik! "Sekarang apa enaknya yang kita kerjakan?" kata Philip. "Tinggal di sini bersama Pak Tua dan istrinya, menunggu apakah orang-orang itu betul datang lalu mengambil harta yang tersimpan di sini? Dengan gampang kita bisa bersembunyi di dekat-dekat sini. Atau kembali ke gua kita, di dekat air terjun? Di sana aku merasa aman. Dan bekal makanan kita juga banyak di sana." "Di sini juga banyak." kata Dinah. "Lebih baik kita tetap di sini saja. Nanti kalau orang-orang itu betul-betul datang, kita bisa bersembunyi dalam gua stalaktit. Di situ banyak tempat persembunyian, di balik tonggak-tonggak itu. Mereka takkan melihat kita. Salah seorang dari kita bisa menjaga di sana, untuk melihat siapa yang keluar-masuk' "Mungkin kau benar," kata Jack. "Kita harus melihat apa yang terjadi. Apabila orang-orang itu ternyata sudah berhasil menemukan tempat gua harta, pasti akan banyak kesibukan di sini. Mengangkut barang-barang ke pesawat — berulang kali sampai seluruh harta yang ada di sini sudah dibawa pergi." "Aku takkan heran apabila mereka mendatangkan lebih banyak pesawat kemari, begitu mereka sudah tahu pasti di mana harta itu terdapat," kata Philip. "Kan repot dan memakan waktu lama, jika peti-peti itu diangkut satu per satu." "Lucy-Ann tertidur! Aku juga ah," kata Dinah. "Enak rasanya berbaring di sini, di tempat yang dihangatkan sinar matahari. Orang-orang itu belum datang sekarang. Jadi belum perlu ada yang menjaga dalam gua." "Kurasa masih lebih baik jika mulut gua yang dijaga," kata Philip sambil berpikir-pikir. "Dengan begitu setiap orang yang datang akan bisa kita lihat dengan segera." "Ya, itu memang gagasan yang lebih baik lagi," kata Jack, ia juga merebahkan diri, hendak tidur-tiduran sebentar. "Aku yakin, orang-orang itu takkan mungkin sudah datang hari ini. Sebentar lagi matahari terbenam. Mereka pasti akan menunggu sampai besok " Malam itu anak-anak bermalam di kamar tidur Elsa serta suaminya. Yang disebut kamar itu sebenarnya rongga gua yang kecil di sebelah kamar duduk, di mana anak-anak makan. Dalam kamar tidur terdapat setumpuk selimut yang bersih. Elsa dan suaminya mendesak agar anak-anak mau tidur di kamar itu. "Kami bisa tidur di kursi," kata Pak Tua. "Bagi kami, itu tidak apa-apa." Elsa menyelimuti Lucy-Ann baik-baik, lalu menciumnya sebagai ucapan selamat tidur. "Elsa sungguh-sungguh menyangka aku ini Greta, cucunya yang hilang," kata Lucy-Ann. "Aku tak sampai hati menolak segala perhatiannya itu, karena aku merasa kasihan padanya." Keesokan paginya sehabis sarapan, Jack menyatakan bahwa ia akan paling dulu menjaga di mulut lorong yang menuju ke dalam gua. Setelah itu datang giliran Philip, dua jam kemudian. Kemudian Jack duduk di bibir lubang, di bawah lempengan batu besar yang menjorok ke luar dari dinding tebing. Cuaca pagi itu cerah. Anak-anak yang lain ingin melihat-lihat beberapa patung yang terdapat dalam patung gua. Pak Tua mengantar mereka. Katanya, ia bisa menceritakan sejarah patung-patung itu pada mereka, dan dari mana satu per satu berasal. Jack duduk di tepi lubang, sambil memandang ke bawah, memperhatikan lereng gunung. Dari tempatnya menjaga, ia bisa melihat gunung-gunung yang tinggi di sekitar situ, satu di belakang yang lainnya. Hutan pohon pinus yang tumbuh di lereng gunung-gunung itu kelihatannya seperti rumput pendek saja, karena begitu jauh letaknya. la mendekatkan teropong ke matanya, untuk mengamat-amati burung yang beterbangan di sekitar situ. Daerah itu mengecewakan, bagi orang yang gemar mengamat-amati unggas liar. Kelihatannya tidak banyak jenis yang ada di situ. Jack meneropong ke segala arah. Segala-galanya diteliti olehnya. Tiba-tiba ia kaget setengah mati. Saat itu ia mengarahkan teropongnya ke suatu semak. Ia merasa seolah-olah melihat gerakan cepat di belakang semak itu. Menurut dugaannya, mungkin ada burung atau binatang liar bersembunyi di situ. Tapi ia sama sekali tidak melihat burung di situ. Ia melihat kepala dan bahu seseorang. Orang itu Juan! Dan Juan ternyata sedang memperhatikan dirinya dengan teropong. Sesaat keduanya saling meneropong. Jack begitu kaget, sehingga sesaat ia seperti terpaku di tempatnya. Ia bisa melihat Juan dengan jelas. Jadi orang itu pasti bisa melihat dirinya , dengan jelas pula. Ternyata orang itu memang sudah kembali. Pasti ia hendak mencari harta karun lagi! Apakah ia kebetulan saja sampai di lereng gunung situ? Atau adakah peta pada dirinya, seperti peta yang diperoleh Jack dari Otto? "Aduh — rahasia harta kini ketahuan, karena aku," pikir Jack. Ia marah terhadap dirinya sendiri. "Jika aku masuk sekarang, pasti dengan segera ia akan tahu di mana letak jalan masuk ke gua harta. Tapi jika aku berusaha mengalihkan perhatiannya dengan jalan pergi dari sini, ia pasti akan mengejarku. Aduh — sekarang aku benar-benar terjebak!" Juan masih terus saja memperhatikan Jack. Ia berlutut di balik semak, sementara teropongnya terarah pada anak itu. Diperhatikannya setiap gerak-gerik Jack. "Tak mungkin ia melihat lubang yang kududuki pinggirnya ini," kata Jack dalam hati. "Kurasa paling baik aku pergi saja dari tempat ini, lalu memanjat tebing. Jika itu kulakukan, dan Juan mengejar, ada kemungkinannya ia sama sekali tidak melihat lubang ini." Baru saja ia hendak melaksanakan niatnya itu, ketika tiba-tiba Philip melompat dari dalam lubang lalu duduk di sisinya. "Sekarang giliranku menjaga, Bintik," kata Philip. "He — apa yang sedang kauperhatikan?" "Sayang kau muncul sekarang," kata Jack. "Di bawah ada Juan, Philip! Ia memperhatikan diriku dengan teropong — dan kini ia juga sudah melihatmu. Aku baru saja hendak mendaki tebing ini, supaya ia mengejarku, sehingga ada kemungkinan ia tidak melihat lubang ini. Tapi kau tahu-tahu muncul. Sekarang ia pasti tahu di sini ada gua. Pasti ia akan naik kemari dengan segera!" "Astaga!" kata Philip kaget "Kalau begitu, kita perlu cepat-cepat memberi tahu yang lain-lainnya." "Ya, itulah satu-satunya yang harus kita lakukan sekarang," kata Jack, sambil meloncat ke dalam lubang. "Yuk! Juan pasti tidak memerlukan waktu lama untuk naik sampai kemari. Sialan! Kenapa tidak terpikir olehku tadi bahwa ia mungkin sudah ada di sekitar sini?" Kedua anak itu bergegas-gegas menyusur lorong dan gua. Akhirnya mereka sampai dalam kamar sempit yang mirip sel. Dinah dan Lucy-Ann ada di situ, begitu pula Elsa beserta suaminya. Jack buru-buru menjelaskan apa yang baru saja terjadi. "Kita harus bersembunyi," katanya. Tapi kedua orang tua itu kelihatannya tidak menangkap maksudnya. Mereka tidak mau bersembunyi. "Tidak ada yang perlu kami takuti," kata laki-laki tua dengan sikap anggun. "Mereka takkan menyakiti kami." "Anda salah duga," kata Jack dengan cemas "Ayolah, kita harus bersembunyi!" Tapi kedua orang tua itu tetap tidak mau. Jack tidak bisa membuang-buang waktu lebih lama untuk berbantahan, karena ia ingin cepat-cepat membawa Dinah dan Lucy-Ann ke tempat yang lebih aman. "Dalam gua stalaktit?"" tanya Dinah. Jack mengangguk. Tetapi begitu masuk ke gua patung, ia berhenti melangkah. Tidakkah tempat ini lebih baik lagi? Bagaimana jika semuanya berdiri di sudut paling belakang, dengan sikap diam seperti patung? Apakah orang-orang itu akan bisa mengetahui bahwa mereka ada di situ? Kenapa tidak dicoba saja? "Ambil beberapa helai selendang dari patung-patung," kata Jack. "Lalu lilitkan menutupi kepala dan badan kalian. Lalu berdirilah di sana — di belakang. Tapi jangan bergerak sedikit pun." Dengan cepat mereka sudah membungkus tubuh dengan selendang, lalu berdiri di bagian belakang gua. "Kau masih ingat permainan kita dulu?" bisik Anne. "Kita harus berdiri diam-diam seperti patung. Barang siapa bergerak, ditangkap. Aku merasa seperti sedang melakukan permainan itu sekarang." "Tapi sekarang kau harus benar-benar berdiri diam-diam, supaya jangan tertangkap," kata Jack. "Ssst! Kedengarannya seperti ada orang datang." "Sssst!" kata Kiki dengan segera. Jack memukul paruh burung kakaktua itu. "Diam!" desisnya. "Kau hendak membuka rahasia kami, burung konyol?" Kiki membuka paruhnya. Maksudnya hendak menguak sebagai protes. Tapi tidak jadi. Ia terbang menjauh — entah ke mana. Jack merasa lega melihat burung itu pergi. Ia khawatir, mereka akan ketahuan karena ocehan Kiki. Saat itu terdengar langkah orang dalam lorong yang di depan. Pasti itu Juan! "Rupanya ia sudah melewati gua stalaktit dan gua bintang," bisik Philip. "Sekarang ia berada dalam lorong, menuju kemari. Sebentar lagi ia akan sudah ada di depan pintu. Sayang kita tidak menutupnya tadi. Coba ditutup, ada kemungkinan ia tidak tahu bagaimana cara membukanya lagi." Pintu besar itu masih ternganga sedikit. Sementara anak-anak memandang ke arah situ, mereka melihat daun pintu terbuka dengan pelan-pelan — disusul laras pistol yang diacungkan ke dalam. Rupanya Juan tidak mau mengambil risiko! Lucy-Ann tersedak. Aduh — mudah-mudahan saja orang itu tidak lantas menembak! Lucy-Ann ngeri terhadap senjata api. Kini pintu dipentangkan lebar-lebar. Juan berdiri di ambangnya, dengan pistol di tangan. Terdengar napasnya tersentak, ketika nampak olehnya sosok-sosok tubuh dalam ruangan gua, dengan mata yang. bersinar kemilau. "Angkat tangan!" tukas Juan pada patung-patung itu. Tentu saja patung-patung itu tidak menuruti perintahnya. Tangan Juan nampak gemetar. Anak-anak langsung menduga, pasti saat itu perasaan Juan segugup mereka, ketika pertama kali melibat sosok-sosok tubuh yang tidak bergerak-gerak itu. "Bersihkan kakimu!" Anak-anak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara mengucapkan perintah itu. Mereka tahu, itu Kiki. Burung itu bertengger di atas batu, tidak jauh di atas kepala Juan. "Siapa itu!?" seru Juan. "Awas, jika ada yang berani bergerak, akan kutembak." Patung-patung tidak bergerak. Keempat anak yang menyamar sebagai patung pun tidak! "Siapa di situ?" seru Juan sekali lagi. Tiga tikus buta," balas Kiki, lalu tertawa terkekeh-kekeh. Juan sudah tidak sanggup menahan kegugupannya lagi. Ia mundur sedikit, sambil berusaha memperhatikan patung mana yang berbicara tadi. "Cul — si Anu muncul!" kata Kiki. Kemudian ia berkotek-kotek, menirukan Martha. Tangan Juan yang memegang pistol nampak semakin gemetar. la maju selangkah, menuruni jenjang untuk masuk ke dalam gua. Baru saat itulah ia melihat bahwa sosok-sosok tubuh yang dilihatnya dalam cahaya remang itu sebenarnya hanya patung yang dihiasi dengan emas permata. Kini ia tertawa keras. "Goblok!" tukasnya terhadap diri sendiri. "Goblok!" tukas Kiki menirukannya. Dengan cepat Juan memutar tubuh. "Siapa itu? Tentunya salah satu dari kalian anak-anak itu, ya! Awas, kalau sudah kutangkap nanti. Kini Kiki mengeong seperti kucing. Juan mencari kucing yang tiba-tiba muncul itu. Tapi kemudian ia merasa, pasti itu perbuatan anak-anak lagi, yang ingin menipunya. Sementara itu Kiki terbang dengan diam-diam ke gua sebelah, lalu mengoceh pada dirinya sendiri di situ. "Tu dua — orang tua, lihat mereka minggat!" Sekali lagi Juan mengamat-amati patung yang banyak jumlahnya di tempat itu. Kemudian ia masuk ke gua berikut. Anak-anak menarik napas lega. Tapi mereka belum berani beranjak dari tempat masing-masing. Rasanya lama sekali, barulah Juan kembali. Ia menggiring Elsa dan suaminya, yang nampak sangat ketakutan. Juan berteriak-teriak pada mereka dan dalam bahasa mereka, sehingga anak-anak tidak mengerti apa yang diteriakkannya. Tanpa memandang patung-patung lagi, Juan keluar lalu menutup pintu keras-keras. Bunyinya menggema dalam gua. Kemudian anak-anak mendengar bunyi lain, yang langsung menyebabkan mereka merasa lesu. Mereka mendengar bunyi gerendel-gerendel yang didorong di balik pintu. Tiga kali berturut-turut terdengar bunyi itu. Kini pintu tidak bisa lagi dibuka dari dalam. "Kalian dengar itu?" keluh Jack. "Sekarang kita terkurung di sini! Coba kita tadi bersembunyi dalam gua stalaktit, atau gua bintang, pasti kita sekarang selamat. Kita bisa menyelinap ke luar, apabila Juan sudah pergi lagi. Tapi sekarang tidak , bisa! Kita terpaksa di sini terus, sampai dibebaskan oleh orang-orang itu. Itu kalau dibebaskan!" Bab 25 RENCANA PHILIP YANG TAK DI-SANGKA-SANGKA Elsa dan suaminya sangat ketakutan, ketika empat di antara patung-patung itu tahu-tahu bercakap-cakap. Mereka baru tahu siapa 'patung-patung' itu, ketika anak-anak melepaskan selendang yang menyelubungi tubuh lalu mengembalikannya dengan hati-hati ke tempat semula. Elsa bergegas-gegas lari menghampiri Lucy-Ann, lalu merangkulnya. Sedang Pak Tua tetap berdiri di tempat semula, dengan tubuh gemetar. "Apa kata orang itu pada Anda tadi?" tanya Jack. "Katanya kami akan dikurung di sini, sementara ia memanggil kawan-kawannya untuk mengangkuti segala harta kami," kata laki-laki tua itu. Tahu-tahu air mata bercucuran. membasahi pipinya. "Orang itu jahat! Apakah aku sudah begitu lama menjaga segala benda yang indah-indah ini, hanya untuk sekarang terpaksa menyerahkannya pada orang sejahat itu?" "Memuakkan!" kata Jack. "Tapi apa boleh buat, kita tidak bisa berbuat apa-apa! Kita terpaksa membiarkan para penjahat itu mengambil segala-galanya, memasukkannya ke dalam peti-peti lalu membawanya pergi dengan pesawat terbang!" "Yuk — kita ke tempat yang ada sinar mataharinya," kata Dinah. "Aku tak tahan lagi berada dalam suasana suram ini. Perasaanku akan lebih enak, jika sudah berada di tempat terang. Bilang pada Pak Tua, agar menyuruh istrinya menyiapkan makanan untuk piknik di luar, Jack - Kau dan Philip nanti bisa membantunya membawa ke luar. Dalam gelap ini pikiranku buntu! Patung-patung ini rasanya seolah-olah mengikuti pembicaraan kita." "Baiklah," kata Jack, ia melihat bahwa Dinah sudah sulit sekali menahan air matanya. "Kau pergi saja dulu, bersama Lucy-Ann serta Kiki. Nanti kami menyusul. Perasaanmu pasti akan enak lagi, jika sudah berada di tempat terang." "Kiki tadi pintar ya — memancing orang itu sehingga pergi tanpa melihat kita," kata Lucy-Ann. "Hah — bukan main kaget dan takutnya aku, ketika Kiki tiba-tiba bicara padanya. Reaksiku pasti juga seperti dia — karena aku tentu mengira yang berbicara itu salah satu patung." Ia menemani Dinah, pergi ke batu yang menjorok ke luar. Sesampai di situ, Dinah langsung merebahkan diri dengan lega. "Aku sudah tidak suka lagi pada petualangan ini. Perasaanmu bagaimana. Dinah?" tanya Lucy-Ann. "Kalau kita masih bisa berbuat sesuatu, sebenarnya masih lumayan — tapi ini, kita kelihatannya sama sekali tidak berdaya." "Aku suka jika petualangan berlangsung seperti kumaui," kata Dinah dengan nada merajuk. "Aku tidak suka jika peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak kusukai. Sudah — jangan ajak aku bicara lagi, Lucy-Ann. Nanti kau kubentak-bentak, sebab saat ini aku sedang jengkel!" "Ini kan hanya karena perasaan kita tegang tadi, ketika harus berpura-pura menjadi patung," kata Lucy-Ann. "Ah — jangan sok berlagak dewasa," bentak Dinah. "Bukan itu sebabnya! Aku jengkel saat ini sebab, karena aku ingin pergi dari lembah ini tapi tidak bisa!" Sekarang Lucy-Ann tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia duduk menikmati kehangatan sinar matahari, sambil menunggu makanan yang sebentar lagi pasti akan dibawa ke luar oleh Jack dan Philip, bersama Elsa. Kiki duduk dekat mereka Burung kakaktua itu menggumam pada dirinya sendiri. Kemudian Martha muncul. Ayam betina itu mengais-ngais di atas batu, dengan sikap menemani. Kiki mengoceh padanya, sedang Martha menjawab dengan kotekannya. Dinah melupakan kesebalannya dengan segera, ketika makanan tiba. Sambil makan mereka sekali lagi membicarakan kejadian pagi itu. Ketika mereka sedang berbincang-bincang, terdengar kembali bunyi pesawat terbang. Mereka melihatnya terbang menanjak. "Eh! Mereka berangkat lagi," kata Jack dengan heran. "Apa sebabnya?" "Mungkin untuk menjemput bantuan yang akan ikut mengangkat, karena mereka kini sudah tahu di mana harta karun disembunyikan," kata Philip. "Dan mungkin mereka akan mendatangkan beberapa pesawat lagi — seperti pernah kau katakan." Sangat tidak enak rasanya mengetahui bahwa mereka benar-benar terkurung. Jack dan Philip sudah berusaha keras untuk membuka pintu yang digerendel dari luar. Tapi usaha mereka sia-sia. Ketiga gerendel itu memang sudah tua, tapi masih tetap kokoh. Anak-anak merasa bosan, karena tidak ada yang bisa mereka kerjakan. Untuk mengisi waktu, mereka mengamat-amati patung-patung dengan lebih seksama, serta melihat lukisan-lukisan kuno dan buku-buku yang berbau pengap. Patung-patung itu penuh dengan perhiasan yang serba gemerlapan. Beberapa di antara patung-patung itu indah buatannya dan didandani dengan apik. Tapi ada juga yang berwujud kasar dan mencolok. Namun semua patung dihiasi dengan emas permata, walau anak-anak tidak tahu pasti apakah semuanya memang benar-benar berharga. Mungkin hanya sebagian saja, sedang selebihnya merupakan batu-batu setengah mulia. "Kurasa orang-orang itu nanti hanya akan mengangkut perhiasan saja, sedang patung-patung ditinggal," kata Jack. "Lalu lukisan dan buku-buku diangkut dalam peti." "Kenapa tidak kita sembunyikan saja segala perhiasan ini, supaya orang-orang itu tidak bisa mengambilnya?" kata Dinah secara tiba-tiba. "Aku tidak rela jika mereka berhasil memiliki harta ini!" "Itu ide yang bagus sekali!" kata Jack. "Yuk — kita ambil saja segala perhiasan ini sekarang lalu kita sembunyikan di salah satu tempat!" Tapi begitu anak-anak mulai melepaskan perhiasan-perhiasan itu dari patung, dengan buru-buru laki-laki tua itu mencegah mereka. "Jangan! Jangan! Aduh, anak nakal!" serunya, sambil mengambil bros yang dipegang Jack. "Kami cuma hendak menyembunyikannya saja, supaya jangan diambil orang-orang itu," bantah Jack. "Sebentar lagi mereka pasti datang, untuk mencuri segala-galanya." "Perhiasan ini harus tetap di situ," kata Pak Tua, sambil melambaikan tangan ke arah patung-patung. "Tidak seorang pun boleh melepaskannya, karena bertentangan dengan Hukum Gereja." Anak-anak tidak mencoba lagi. karena tahu bahwa Elsa dan suaminya pasti akan marah sekali jika mereka nekat melakukannya. Waktu berjalan dengan lamban. Malam itu tak ada yang bisa tidur enak, karena semua mencemaskan hal-hal yang akan terjadi. Sangat tidak enak rasanya bahwa diri mereka berada di bawah kekuasaan penjahat seperti Juan. Keesokan paginya mereka sarapan di atas batu di tempat terang. Mereka sebisa-bisanya tidak lagi makan dalam gua yang gelap. Tiba-tiba Dinah memasang telinga. "Dengarlah," katanya. "Itu kan bunyi pesawat!" Semua ikut mendengar, termasuk Elsa dan suaminya. Bunyi itu semakin mendekat, dan semakin nyaring. Tiba-tiba Jack meloncat bangun. "Bukan cuma satu pesawat saja yang datang, tapi banyak! Lihatlah, itu satu — berputar-putar hendak turun. Lalu itu ada satu lagi — dan itu! Astaga! Satu skuadron rupanya yang didatangkan Juan kemari!" Pesawat yang datang empat buah jumlahnya. Rupanya Juan kini tidak mau bekerja kepalang tanggung lagi. Anak-anak membayangkan pesawat-pesawat itu mendarat satu-satu di jalur panjang berumput yang terdapat dalam lembah. "Nah! Sekarang bisa kita perkirakan akan terjadi apa-apa di sini," kata Jack. "Sebentar lagi semua harta yang ada di sini akan habis diangkut!" "Aduh — dan kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah!" keluh Dinah. "Coba kita bisa menyampaikan kabar pada Bill!" kata Jack dengan gelisah. "Tapi tak ada jalan keluar dari lembah ini, kecuali dengan pesawat terbang!" Selama beberapa saat Philip menatap Jack, tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian ia mengucapkan sesuatu, yang sangat mengagetkan anak-anak. "Ya — itu satu-satunya jalan untuk meninggalkan tempat ini. Dan aku akan mencobanya." Sesaat, semua terdiam. Kemudian Jack membuka mulut. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan heran. "Kau kan tidak bisa menerbangkan pesawat?" "Tentu saja tidak! Tapi aku bisa menyelundup ke dalam, lalu ikut terbang meninggalkan tempat ini," kata Philip. "Waktu kita kemari, kita kan juga menyelundup? Nah — kalau begitu, kenapa aku sekarang tidak bisa pergi dengan jalan menyelundup pula? Aku berani taruhan, aku pasti bisa bersembunyi tanpa ketahuan. Lalu nanti begitu ada kesempatan, aku akan cepat-cepat lari, dan menyampaikan berita pada Bill tentang segala-galanya!" "Wah, Philip! Idemu itu hebat sekali!" kata Jack. "Tapi aku yang pergi, bukan kau!" "Tidak bisa!" tukas Philip. "Ini kan gagasanku, jadi harus aku juga yang melaksanakannya. Pokoknya, aku yang pergi!" "Aku tidak mau, biar siapa pun yang pergi," kata Lucy-Ann. Bibir bawahnya gemetar, tanda mau menangis. "Nanti ketahuan, lalu terjadi sesuatu yang tidak enak! Jangan — kalian tidak boleh meninggalkan kami!" "Kan masih ada Jack," kata Philip. "Dan juga kedua orang tua itu. Kalian takkan apa-apa di sini! Percayalah, hanya itu satu-satunya jalan untuk mencari pertolongan. Menyelundup masuk ke dalam pesawat terbang, lalu ikut dengan orang-orang itu pergi dari sini. Mereka pasti harus bolak-balik beberapa kali untuk mengangkuti segala harta yang ada di sini. Jika aku bisa menyampaikan berita cepat-cepat pada Bill, ada kemungkinan ia akan bisa menangkap orang-orang itu ketika mereka sedang beraksi!" "Kedengarannya memang hebat," kata Dinah, "tapi kurasa kau takkan bisa melaksanakannya. Lagi pula bagaimana kau hendak masuk ke pesawat terbang? Pergi dari sini saja tidak bisa!" "Aku akan menunggu kesempatan untuk menyelinap ke luar lewat pintu, apabila orang-orang itu nanti sibuk bolak-balik mengangkut barang-barang dari sini," kata Philip, Ia asyik mengatur rencana. "Setelah itu aku akan bersembunyi dalam gua stalaktit, lalu begitu ada kesempatan menyusur lorong dan keluar lewat lubang di tebing. Kemudian aku turun ke lembah, mendatangi pesawat-pesawat yang ditaruh di sana. Aku memilih salah satu di antaranya, lalu kumasuki. Kurasa mereka takkan menempatkan penjaga di sana, karena mengira kita semua masih terkurung di sini." "Kedengarannya lebih gampang dari pelaksanaannya, Jambul," kata Jack mengingatkan. "Lebih baik aku saja yang pergi!" 'Tidak bisa," tukas Philip. "Ini petualanganku mengerti!" "Mungkin kau nanti bahkan bisa menyusup ke dalam salah satu peti," kata Dinah. "Orang-orang itu takkan memeriksa peti yang sudah diisi dengan barang-barang." "Ya, betul," kata Philip dengan gembira. "Itu usul yang sangat bagus!" "Yah — nanti pasti akan banyak orang datang kemari," kata Jack. "Kedua orang tua itu tentu kaget melihat mereka. Keduanya jelas bingung nanti, jika melihat harta yang selama ini dijaga dengan demikian baik, tahu-tahu diangkut orang." "Nanti jika orang-orang itu datang, kau sendiri saja yang kembali menyamar menjadi patung, Philip," kata Dinah. "Sedang kami tidak! Orang-orang itu pasti akan berkeliaran mencari kami jika mereka tidak berhasil menemukan kami hari ini. Jadi lebih baik kami langsung saja mereka lihat, sementara kau menyamar menjadi patung lagi. Lalu begitu kau melihat kesempatan baik, kau harus cepat-cepat menyelinap ke luar." "Ya — kurasa begitulah sebaiknya," kata Philip. "Mungkin akal ini tidak berhasil, tapi cuma itulah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Nah — kira-kira kapan orang-orang itu akan muncul di sini? Perjalanan dari lembah sampai ke tempat ini, memerlukan waktu sekitar satu setengah jam. Kita melihat pesawat-pesawat turun setengah jam yang lalu. Jadi masih ada waktu sekitar satu jam lagi. Aku tidak boleh menunggu sampai saat terakhir, untuk menyembunyikan diri!" "Lebih baik mulai sekarang saja kau bersembunyi," kata Lucy-Ann yang sudah gelisah terus. "Kami ikut sebentar, untuk melihat apakah tempat yang kau pilih sudah baik, dan apakah kau sudah kelihatan benar-benar seperti patung." Anak-anak memasuki lorong, menuju gua yang ada patung-patungnya. Ayam betina yang bernama Martha juga ikut. Ia rupanya senang pada Jack. Ke mana saja anak itu pergi, ia selalu ikut. Pagi itu ia bertelur. Elsa membuatkan masakan telur untuk sarapan Lucy-Ann. "Lihatlah! Di situ ada tempat yang agak tersembunyi, tidak jauh dari pintu," kata Dinah bersemangat, ketika mereka sudah berada dalam gua patung. "Jika kau berdiri di situ, kau takkan mudah kelihatan — karena tempat itu gelap sekali. Dan kau juga dekat ke pintu, sehingga nanti bisa menyelinap ke luar, begitu ada kesempatan bagimu." "Ya — tempat itu kelihatannya memang yang paling baik," kata Philip. "Sekarang aku memerlukan selendang atau salah satu selubung untuk menutupi kepalaku. Aku tidak mau ketahuan, karena rambutku yang pendek ini." Anak-anak menemukan sehelai selendang yang sangat besar, lalu dengan cermat menyelubungi Philip dengannya. Ia berdiri di tempat yang dipilih. Semua sependapat, tempat itu memang baik sekali untuk bersembunyi. "Kau hampir-hampir tidak kelihatan," kata Jack. "Nah — begitulah, Jambul. Kami pergi sekarang. Tapi kami takkan bersembunyi. Biar saja orang-orang itu nanti melihat kami. Mudah-mudahan saja mereka tidak curiga, bahwa sebenarnya ada orang lain dalam gua-gua sini. Kami akan tahu apabila kau ternyata tidak berhasil melarikan diri, karena dengan sendirinya malam nanti kau masih ada di sini." "Selamat tinggal," kata Philip. "Kalian tidak perlu khawatir tentang diriku. Tak lama lagi aku pasti akan sudah pergi dari sini, lalu aku akan mengirim kabar pada Bill dan Ibu. Jangan cemas! Tak lama lagi kami akan datang untuk menyelamatkan kalian!" Anak-anak pergi, meninggalkan Philip sendiri dalam ruang gua. Philip berdiri diam-diam. Kelihatannya persis patung! Bab 26 MINGGAT! Kira-kira satu jam kemudian Philip mendengar langkah orang datang, disusul bunyi gerendel-gerendel ditarik. Sekali lagi muncul laras sepucuk pistol dari balik pintu. Pasti itu Juan! Tapi sekali itu tidak ada Kiki yang menyambut dengan ocehan. Dalam gua tidak nampak siapa-siapa, kecuali patung-patung. Juan masuk ke dalam, disusul beberapa orang lagi. Philip memperhatikan mereka dari balik selendang yang menyelubungi kepala. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan saja orang-orang itu tidak langsung mencopoti perhiasan dari patung-patung. Jika itu yang mereka lakukan, ada kemungkinan ia akan ketahuan! Orang-orang yang masuk berseru kagum, melihat patung-patung yang ada di situ. Mereka membawa senter beberapa buah, yang langsung dinyalakan begitu mereka sudah berada di dalam. Philip sama sekali tidak menduga adanya kemungkinan itu. Ia mundur ke tempat gelap. Untung tubuhnya terselubung selendang, katanya dalam hati. Orang-orang yang datang itu kelihatannya kasar-kasar. Mereka berseru-seru dengan kagum, ketika melihat emas permata berkilauan yang menghiasi lengan dan leher patung-patung. Beberapa di antara mereka langsung menyambar bros dan kalung. Tapi dengan segera dibentak oleh Juan. Orang-orang itu mengembalikan barang-barang yang mereka ambil, walau dengan sikap enggan. Philip menghitung jumlah mereka. Ada delapan orang. Otto tidak ada di situ. Tapi itu sudah disangka oleh Philip, ia mengenali Juan, Pepi dan Luis. Rupanya tiap pesawat berawak dua orang. Juan berjalan mendului, memasuki gua berikut. Langkah mereka menggema, ketika berjalan dalam lorong. Philip bertanya-tanya dalam hati, apakah semuanya yang akan masuk ke gua berikut, lalu ke yang berikutnya lagi. Jika benar begitu, akan ada kesempatan baginya saat itu untuk menyelinap ke luar, lalu lari ke lembah. Ia mendengarkan baik-baik. Didengarnya suara orang-orang itu di gua sebelah, tempat lukisan-lukisan. Lalu disusul bunyi langkah yang semakin jauh. Akhirnya hanya suara samar-samar saja yang masih terdengar. "Mereka sudah berada dalam gua tempat buku — lalu dari situ kemudian masuk ke gua tempat uang emas disembunyikan," pikir Philip. "Jadi banyak waktu bagiku untuk menyelinap ke luar." Philip menjatuhkan selendang yang menyelubungnya ke lantai, lalu menyelinap ke pintu. Dengan cepat ia sudah berada di luar. Didakinya tangga yang berliku-liku. Berturut-turut dilewatinya gua bintang dan gua stalaktit Kini perasaannya mulai aman. Menurut perasaannya takkan ada yang menjaga di luar lubang. Tapi walau begitu ia masih harus tetap waspada. Ternyata dugaannya benar. Di luar tidak ada siapa-siapa. Dengan cepat Philip keluar, lalu menuruni tebing. Tidak lama kemudian ia sudah menyusur lereng gunung, sambil berjaga-jaga terus. Karena siapa tahu, mungkin tidak semua orang itu tadi masuk ke dalam gua. Ia sudah capek dan lapar, ketika akhirnya tiba di pondok dalam lembah! Untung pintu pondok itu terbuka, dan di dekat situ tidak ada siapa-siapa! Philip makan sekenyang-kenyangnya. Ia menemukan sebuah kotak berisi coklat berbatang-batang. Diambilnya beberapa batang lalu dikantongi. Siapa tahu kapan lagi ia bisa makan sesudah itu! Kemudian ia pergi ke tempat pesawat-pesawat terbang di parkir dalam lembah. Dilihatnya keempat-empatnya ada di situ. Sekarang, yang mana yang akan dimasukinya? Philip memeriksa keempat pesawat itu, satu demi satu. Dalam pesawat yang paling akhir diteliti ditemukannya mantel dan selimut bertumpuk-tumpuk. Philip lantas memilih pesawat itu. Ia bisa bersembunyi di situ, dengan jalan menimbunkan selimut dan mantel yang banyak itu di atas tubuhnya. Saat itu ia sama sekali tidak melihat kemungkinan menyusup masuk ke dalam peti, seperti yang diusulkan oleh Dinah. Lagi pula, peti-peti itu belum ada dalam pesawat. Semuanya masih terdapat di tempat semula, tertutup terpal. Setelah menentukan apa yang akan dilakukan, masih banyak waktu yang tersisa. Philip tahu, orang-orang itu pasti tidak akan segera kembali. Mereka kan membawa beban yang berat dan besar. Jadi jalan mereka pasti lebih lambat. Philip melihat-lihat di situ, untuk mengisi waktu. Ia masuk lagi ke dalam pondok. Di situ ditemukannya mantel, yang tergantung pada sebuah paku. Ia memeriksa kantong-kantongnya. Menurut pendapatnya, keterangan apa pun yang bisa diperoleh, mungkin akan ada gunanya bagi Bill nanti. Dalam salah satu saku mantel itu ditemukannya sebuah buku catatan. Philip membalik-balik halamannya. Dilihatnya tulisan-tulisan yang tak jelas artinya, begitu pula banyak sekali angka-angka. Mungkin Bill mengerti apa makna catatan itu. Ia sendiri tidak bisa memahaminya! Setelah itu Philip pergi ke kandang sapi. Di situ tidak ada apa-apa, kecuali kaleng-kaleng makanan yang sudah dibuka. Dilihatnya lalat beterbangan mengerumuni. Sesaat Philip memandang kaleng-kaleng itu. Kemudian ia teringat. "Ya, betul — itu kaleng makanan yang ditinggalkan Jack untuk Otto," katanya dalam hati. "Hii — lalat-lalat itu! Menjijikkan!" Digalinya lubang dengan sepotong kayu, lalu dikuburkannya kaleng-kaleng berisi makanan yang sudah busuk itu. Setelah itu ia berkeliaran lagi, tanpa tujuan tertentu. Ia tiba di bawah pohon yang pernah dipakai sebagai tempat bersembunyi. Ia mendongak. Ia memicingkan mata, karena merasa seperti melihat sesuatu di atas. "Apa itu?" Kemudian ia teringat kembali. "Ah, tentu saja — kita kan meninggalkan koper-koper di atas. Aku lupa sama sekali. Bayangkan, selama ini semuanya ada di situ!" Sesaat ia berpikir-pikir. Perlukah barang-barang itu diturunkan, lalu disembunyikan di tempat lain. "Ah, lebih baik jangan," katanya kemudian pada dirinya sendiri. "Mungkin nanti malah ditemukan, lalu orang-orang itu mencari aku. Tidak—biar saja koper-koper itu tetap di atas." Sesiang itu Philip sibuk mengintai, menunggu orang-orang itu kembali. Sekitar pukul lima sore, ia makan biskuit dengan buah persik sekaleng. Orang-orang itu masih tetap belum muncul! Tapi sepuluh menit kemudian ia melihat mereka di kejauhan. Saat itu ia sudah berada di dekat pesawat-pesawat, siap untuk cepat-cepat meloncat masuk ke pesawat yang sudah dipilihnya tadi, begitu ia melihat orang-orang itu datang. Dengan buru-buru dihitungnya jumlah orang yang datang. Delapan! Jadi semua sudah kembali. Philip bergegas naik ke pesawat, lalu menyusup masuk ke bawah tumpukan selimut dan mantel. Diselubunginya tubuhnya dengan cermat, sehingga semuanya tertutup. Bahkan ujung sepatunya pun tidak kelihatan lagi. "Untung hawa hari ini panas," katanya dalam hati. "Jadi orang-orang itu takkan memerlukan mantel mereka." Beberapa saat kemudian terdengar suara orang-orang itu bercakap-cakap. Jelas sekali mereka sangat puas. Suara mereka kemudian menjadi pelan kembali, dan akhirnya lenyap. Rupanya mereka sudah melewati pesawat-pesawat mereka, dan kini menuju ke pondok. "Barangkali hendak makan dulu, dan setelah itu baru mengemaskan barang-barang yang diambil dari dalam gua," pikir Philip. Ia menguap. Setelah berbaring, tahu-tahu ia merasa mengantuk. Tidak lama kemudian ia sudah tertidur. Begitu nyenyak tidurnya, sehingga ia tidak terbangun ketika dua orang laki-laki masuk ke dalam pesawat terbang itu, beberapa jam kemudian. Ia baru membuka mata dengan kaget, ketika mesin tiba-tiba dinyalakan dan baling-baling mulai berputar. Nyaris saja ia ketahuan saat itu. Tapi kemudian ia ingat lagi di mana ia berada saat itu. Karenanya ia lantas berbaring diam-diam. Ia tidak tahu, apakah hari masih siang atau sudah malam. Jadi ia tidak bisa melihat apa-apa di bawah tumpukan mantel dan selimut. Jadi saat itu mungkin masih siang. Tapi mungkin juga tengah malam! Pesawat tinggal landas satu-satu. Pesawat di mana Philip berada berangkat paling akhir. Ia merasa betapa pesawat itu meluncur sebentar, lalu mengudara. "Mereka tidak melihat aku! Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku ikut!" kata Philip dalam hati. Ia merasa girang. "Ternyata mudah saja Hore!" Setelah itu ia tertidur lagi, sementara pesawat-pesawat terbang meluncur terus menembus kegelapan malam. Tempat manakah yang menjadi tujuan mereka? Suatu tempat pendaratan rahasia, atau pelabuhan udara biasa? Anak-anak yang lain, yang malam itu tidur di luar, mendengar derum pesawat-pesawat yang berangkat. Malam itu hawa panas. Pengap rasanya jika tidur di dalam. Karena itu mereka minta izin agar diperbolehkan tidur di atas lempeng batu yang menjorok di atas jurang. "Tapi nanti kalian jatuh, kalau bergerak-gerak dalam tidur!" kata Pak Tua cemas. "Tidak — kami biasa tenang kalau tidur," jawab Jack. "Kami takkan apa-apa di situ." Elsa sebetulnya tidak mau jika Lucy-Ann ikut tidur di atas batu di luar. Kasihan — ia hampir menangis ketika Lucy-Ann berkeras. Kiki dan Martha ikut tidur di luar. Tapi Lizzie tidak! Kadal itu ikut dengan Philip. Siangnya, anak-anak mengalami hari yang benar-benar tidak enak. Orang-orang yang datang menjumpai mereka dalam 'kamar duduk' bersama Pak Tua serta istrinya. Orang-orang itu berteriak-teriak menanyai mereka, sehingga mereka ke-takutan sekali. Pak Tua mengatakan bahwa ia bersama istrinya sudah lama sekali berdiam dalam gua-gua itu dengan tugas menjaga harta. Gerombolan penjahat lantas menarik kesimpulan, anak-anak pasti juga sudah selalu tinggal di situ. "Untung mereka tidak bertanya, bagaimana kita bisa sampai di lembah ini," kata Jack kemudian. "Mereka langsung saja menganggap bahwa kita datang kemari bersama Elsa dan suaminya." Ketika para penjahat mulai merampok perhiasan dari patung-patung, Pak Tua berusaha mencegah. dibantu istrinya. Tapi mereka malah dipukul dan dibentak-bentak. Pak Tua membimbing istrinya yang menangis dan gemetar ketakutan, lalu mengajaknya pergi dari situ. Anak-anak berusaha menghibur mereka. Setelah itu mereka memilih lebih baik duduk-duduk di atas batu di luar, dan tidak kembali ke gua tempat para penjahat sedang sibuk merampok. Mereka ingin tahu, berhasilkah Philip melarikan diri. "Aku yakin, ia pasti berhasil," kata Lucy-Ann. "Orang-orang itu kan selalu bersama-sama, jadi Philip bisa dengan gampang menyelinap keluar dari gua patung, ketika orang-orang itu datang lalu menanyai kita." Akhirnya para penjahat pergi, dengan membawa emas permata, sebuah patung yang sangat berharga, beberapa lukisan, serta sejumlah dokumen kuno. Dua dari mereka menjinjing sebuah peti berisi uang emas. Anak-anak membayangkan betapa repotnya orang-orang itu menuruni lereng gunung, sambil mengangkut peti yang berat. Ketika para penjahat keluar, pintu besar mereka gerendel kembali, sehingga Jack serta yang lain-lainnya terkurung lagi di dalam. Mereka sangat ingin tahu, apa yang terjadi dengan Philip. Berhasilkah anak itu menyembunyikan diri dalam salah satu pesawat terbang? Apakah ia kemudian menyusup masuk ke dalam sebuah peti? Kapankah pesawat-pesawat itu berangkat? Pertanyaan terakhir terjawab malam-malam, ketika mereka mendengar bunyi derum mesin pesawat-pesawat itu. Anak-anak terbangun, lalu mendengarkan baik-baik. Kiki menguak, lalu mematuk Martha untuk membangunkannya. "Nah — pesawat-pesawat itu kini sudah berangkat," kata Jack. "Kurasa Philip pasti ikut salah satu di antaranya. Kini sebentar lagi kita akan tertolong. Bill pasti kaget, apabila mendengar segala pengalaman kita! Bagaimana pendapat kalian — mungkinkah Bill nanti datang kemari dengan pesawat terbangnya pula?" "Mudah-mudahan saja," kata Lucy-Ann ber-sungguh-sungguh. "Aku rindu padanya. Aku kadang-kadang merasa seolah-olah akan terpaksa tinggal terus dalam lembah ini, untuk selama-lamanya." "Jangan begitu," kata Dinah. "Aduh, Kiki — jangan ganggu Martha terus dong! Apa yang kaulakukan tadi, sehingga ia sekarang berkotek-kotek terus?" "Sssst!" kata Kiki. "Jangan suka melawan," kata Dinah, ia berbaring lagi. "Yah, aku senang sekarang, karena sudah mendengar pesawat-pesawat itu berangkat. Selamat jalan, Philip!" "Selamat jalan," kata anak-anak yang lain Kiki ikut-ikutan pula mengatakan, "Selamat jalan.” "Kotekkotek!" kata Martha. Ayam betina itu rupanya ingin mengucapkan selamat jalan pula pada Philip. Bab 27 GAGASAN YANG BAGUS Keesokan hanya keempat pesawat terbang itu datang lagi. Tidak lama kemudian para penjahat sudah masuk kembali ke dalam gua harta. Mereka sibuk memeriksa buku-buku serta dokumen-dokumen kuno, membuka gulungan-gulungan kanvas untuk meneliti lukisan-lukisan itu. Mereka juga mendatangi anak-anak serta kedua orang tua yang masih terkurung di situ, lalu membentak-bentak. Ternyata para penjahat itu bingung karena sesuatu. Mereka melihat bahwa makanan mereka dalam pondok agak berkurang. Jadi tentu ada yang mengambil. Tapi siapa? Bukankah suami istri tua dan anak-anak itu terkurung dalam gua? Anak-anak langsung menduga, pasti Philip yang mengambil makanan itu. Tapi tentu saja mereka tidak mau mengatakannya pada para penjahat Karena itu Jack lantas berpura-pura tolol. Ia mengatakan tidak tahu apa-apa. Dinah juga bersikap begitu. Sedang Lucy-Ann menangis tersedu-sedu. Akhirnya orang-orang itu tidak menanyainya lagi. Sedang Elsa serta suaminya memang benar tidak tahu apa-apa. Mereka kelihatannya bahkan tidak menyadari bahwa Philip tidak ada lagi. Akhirnya para penjahat putus asa, lalu meneruskan kesibukan merampok. Elsa merasa sedih melihat Lucy-Ann menangis. Anak itu dibimbingnya masuk ke 'kamar tidur'. Di situ diambilnya sebuah lukisan yang semula ditaruh di atas batu yang agak menonjol ke depan, lalu ditunjukkannya lubang yang tadinya tertutup lukisan. Lucy-Ann menatap lubang itu. Tangisnya langsung terhenti. "Lubang apa itu?" katanya. Kemudian ia memanggil-manggil Jack. "Jack! Kemarilah, dan ajak Pak Tua. Elsa tidak mengerti pertanyaanku." Jack datang bersama Pak Tua. Begitu ia melihat lubang yang menganga di dinding gua, ia langsung berpaling pada orang itu. "Apa itu? Lubang persembunyian?" "Ah, itu cuma lubang biasa dalam dinding," kata Pak Tua. "Istriku tidak suka melihatnya. Karena itu selalu ditutupi dengan lukisan." Elsa berbicara pada suaminya, yang kemudian menerjemahkan. "Istriku sedih melihat adikmu ketakutan karena dibentak-bentak orang-orang tadi. Katanya, adikmu bisa bersembunyi dalam lubang ini sehingga tidak usah melihat mereka lagi." "Kita lihat saja seperti apa wujudnya," kata Jack, ia masuk ke dalam lubang itu. Ternyata bukan lubang biasa saja, melainkan merupakan lorong yang sempit dan gelap. Rupanya itu juga bekas aliran air. "Lubang ini sebuah lorong!" seru Jack dari dalam. "Seperti lorong yang menyambung gua tempat kita dengan gua gema. Sebentar — aku ingin memeriksa ke mana tujuannya." Jack merangkak dalam lorong itu. Tiba-tiba arahnya menukik. Untung lorong itu sempit. Kalau tidak, Jack pasti sudah meluncur ke bawah. Ujung lorong kelihatannya terdapat pada langit-langit sebuah lorong yang jauh lebih lapang Jack menyorotkan senternya ke bawah. Ya, betul! Di bawah ada lorong lagi. Ia merangkak mundur, kembali ke 'kamar tidur'; lalu memanggil Dinah dan Lucy-Ann. "Ayo ikut!" katanya. "Mungkin aku menemukan jalan ke luar. Tapi kita harus mempergunakan tali nanti." Mereka merangkak satu-satu, sampai akhirnya tiba dalam rongga dengan lubang yang menganga di langit-langit lorong berikutnya. Jack melepaskan tali yang selalu melilit pinggangnya. Ujung tali yang satu diikatkannya pada sebuah batu, sedang ujungnya yang lain diulur ke dalam lorong di bawah. Setelah itu ia turun. Dinah dan Lucy-Ann menyusul setelah itu, sementara Jack menyinari lorong ke kedua arah dengan senternya. "Ke mana kita sekarang?" katanya. "Aku mendengar bunyi aneh," kata Lucy-Ann. Ia mendengarkan baik-baik. "Kurasa, itu bunyi air terjun!" Setelah memperhatikan dari mana bunyi itu datang, mereka lantas menyusur lorong ke arah situ. Betapa heran dan girangnya mereka, ketika tahu-tahu mereka muncul di pinggiran batu di belakang air terjun, di mana Dinah dan Lucy-Ann pernah menandak-nandak untuk mengalihkan perhatian Pepi. "He! Ini kan batu yang di belakang air terjun! Dan itu lorong yang menuju ke gua gema!" kata Jack. "Bayangkan — sekarang kita bisa kembali ke gua kita yang lama di belakang tirai pakis. Kita tidak terkurung lagi! Hore! Yuk — kita jemput Elsa serta suaminya." Ia masuk lagi ke dalam lorong, lalu memanjat tali dan beringsut-ingsut naik dalam lorong sempit, sehingga akhirnya kembali dalam 'kamar tidur'. Ia melaporkan pada Pak Tua. "Ikutlah dengan kami," ajaknya kemudian. "Nanti Anda berdua kami bawa ke tempat yang aman." Pak Tua tertawa sedih. "Kami tidak bisa berbuat seperti kalian — merangkak-rangkak dalam lorong sempit itu," katanya. "Itu tidak mungkin! Kalian sajalah yang pergi — biar kami tinggal di sini. Kami nanti takkan mau bilang, ke mana kalian pergi. Lukisan akan kami letakkan kembali di depan lubang, sehingga para penjahat tidak bisa menduga bahwa kalian sudah keluar." Jack kembali ke tempat Dinah dan Lucy-Ann menunggu. Kiki ikut dengannya. "Sayang kita tidak bisa mengajak Martha ikut," kata Jack. "Aku sudah senang pada ayam betina itu. Tapi jika tadi kubawa, Elsa dan suaminya pasti akan merasa kehilangan dia. Mereka benar-benar tidak mau ikut dengan kita. Kurasa mereka benar! Mereka takkan sanggup lagi merangkak-rangkak dalam lorong sempit itu, lalu menuruni tali. Dan mereka pun takkan sanggup turun dari lubang yang ada di belakang gua pakis kita. Yuk! Aku kepingin cepat-cepat sampai di sana!" Jack tertawa gembira. "Akhirnya kita berhasil juga melarikan diri. Wah — para penjahat pasti mengamuk nanti!" "Mudah-mudahan saja mereka tidak lantas menyakiti kedua orang tua itu," kata Lucy-Ann cemas. "Elsa begitu baik dan lemah lembut." Anak-anak menyusur lorong yang berliku-liku menuju ke gua gema. Di situ Kiki menjengkelkan mereka, karena tidak henti-hentinya menguak dan menjerit-jerit. Gemanya membisingkan sekali! Mereka menyusup masuk ke lorong sempit yang menuju ke bagian belakang gua pakis. Sesampai di situ, dengan perasaan lega mereka merebahkan diri di atas selimut yang masih tetap terhampar. "Sampai lagi di rumah," kata Jack, la tertawa. "Aneh, bahwa kita menganggap ini rumah! Tapi begitulah perasaanku." Mereka beristirahat di situ. "Tadi malam para penjahat rupanya bergegas-gegas kembali, setelah menurunkan barang-barang hasil perampokan mereka di salah satu empat," kata Dinah sambil berpikir-pikir. "Aku sebetulnya sama sekali tidak memperkirakan mereka muncul lagi dalam gua hari ini. Aku tidak mendengar pesawat-pesawat itu datang kembali. Atau mungkin kalian mendengarnya?" "Tidak! Tapi arah angin sudah berubah. Jadi mungkin itu sebabnya kita tidak mendengarnya." kata Jack. "Langit tidak cerah lagi sekarang. Kelihatannya hujan akan turun. Dan angin sangat kencang." "Kita harus berjaga-jaga, kalau Bill datang bersama Philip," kata Dinah. "Philip tak mungkin tahu bahwa kita sekarang ada di sini, kan?" "Kalian berkeberatan atau tidak, jika malam ini aku keluar sebentar untuk mengintip di sekitar pondok?" tanya Jack. "Maksudku — siapa tahu, barangkali si Jambul ternyata tidak berhasil minggat, tapi ketahuan dan kini ditawan para penjahat!" "Aduh! Sama sekali tak terpikir olehku kemungkinan itu," kata Lucy-Ann ketakutan. "Wah, Jack— kau kan tidak benar-benar merasa bahwa ia tertangkap?" "Sama sekali tidak," kata Jack dengan nada riang. "Tapi kan tidak ada salahnya, untuk meyakinkan. Sebaiknya sekarang saja aku berangkat, mumpung orang-orang itu masih ada dalam gua. Ngomong-ngomong, kalian tadi memperhatikan atau tidak — apakah mereka itu berdelapan ada di dalam?" "Kurasa begitu," kata Dinah sambil mengingat-ingat. "Tapi aku tidak tahu dengan pasti. Kau ingat barangkali, Lucy-Ann?" "Tidak! Aku tidak berani memandang mereka," kata Lucy-Ann. "Orang-orang jahat!" "Ah, kurasa mereka ada semua di dalam," kata Jack. 'Huh — dinginnya angin hari ini. Lebih baik kupakai baju satu lapis lagi. Nah, sampai nanti! Aku takkan lama-lama." Setelah itu Jack berangkat, melalui jalan yang sudah dikenal menuju pondok dalam lembah. Ia tidak beranggapan bahwa Philip mungkin tertangkap. Tapi walau demikian, ia perlu memastikannya. Ia mengintai dengan berhati-hati. Dilihatnya pintu pondok tertutup. Jack datang mendekat, lalu mengintip ke dalam lewat jendela. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Philip juga tidak. Bagus! "Sebaiknya kuperiksa juga ke kandang sapi sebentar," pikir Jack. "Mungkin ia diikat di situ." Ia pergi ke kandang sapi. Tapi tempat itu kosong. Tiba-tiba angin berhembus kencang, seperti yang biasa terjadi dalam lembah gunung. Hujan turun dengan lebat. Jack bergegas lari, hendak berlindung di bawah pohon. Ia memilih pohon besar, di mana anak-anak pernah bersembunyi. Di bawah pohon itu, pasti ia tidak akan basah. Jack meringkuk di situ, sementara angin bertiup kencang di sekelilingnya. Bunyi angin menyebabkan Jack tidak mendengar langkah orang mendekat, dari arah belakang pohon. Ia tidak melihat sosok tubuh yang kekar. Orang itu tertegun, rupanya kaget melihat ada anak laki-laki di situ. Secepat kilat Pepi menyambar bahu Jack Anak itu terpekik karena takut bercampur kaget Bahunya dicengkeram kuat-kuat. "Lepaskan aku!" teriaknya. "Aduh, bahuku terkilir!" Sambil nyengir, Pepi mengambil sebatang ranting. "Kau minta dihajar rupanya," kata orang itu. "Kalian sudah merepotkan kami selama ini. Mana yang lain-lainnya? Ayo katakan, jika tidak ingin kuhajar habis-habisan!" "Lepaskan aku!" teriak Jack. Ditendangnya mata kaki Pepi keras-keras. Orang itu mengaduh kesakitan, lalu dipukulnya punggung Jack dengan ranting yang besar itu. Jack menendangnya sekali lagi. Entah apa yang akan terjadi dengan anak itu kemudian —jika saat itu tidak terjadi sesuatu yang menimpa Pepi! Angin masih bertiup terus dengan kencang, sehingga pohon besar itu tergoncang-goncang. Tiba-tiba ada sesuatu jatuh dari atas, dan menimpa bahu Pepi yang sedang mengamuk. Penjahat itu langsung roboh ke tanah. Ia menjerit, sambil memegang bahunya. Jack tidak menunggu lama-lama lagi. Ia cepat-cepat lari. Setelah agak jauh, ia menoleh. Dilihatnya Pepi berusaha bangkit, sambil mengerang. Saat itu datang lagi hembusan angin kencang. Dari atas pohon jatuh lagi sesuatu, yang menimpa kepala Pepi. Penjahat itu terkapar, tanpa bergerak lagi. "Astaga!" kata Jack sambil memandang kejadian itu. "Itu kan koper-koper yang disembunyikan di atas pohon itu! Untung jatuhnya tepat pada waktunya. Mudah-mudahan saja Pepi tidak mati!" Dengan berhati-hati didekatinya laki-laki yang terkapar itu. Tidak — Pepi tidak mati. Hanya pingsan saja! Jack langsung memanfaatkan kesempatan baik itu. Ia mengambil tali, lalu diikatnya tangan penjahat itu erat-erat Setelah itu kakinya. Tapi itu saja belum cukup, pikirnya. Pepi masih diikatkannya pula ke batang pohon. "Sekarang kau takkan bisa mengejar aku, Pepi," kata Jack. Ia cepat-cepat memandang ke atas, untuk melihat kalau-kalau koper yang dua lagi akan jatuh pula. Tapi kelihatannya tidak. "Rupanya teman-temannya menempatkan dirimu di sini sebagai penjaga, ya," kata Jack pada Pepi yang masih pingsan. "Mungkin untuk melihat, siapa yang mengambil bekal makanan kalian. Yah — sekarang kau takkan ada gunanya sebagai penjaga! Tapi biarlah — pohon besar ini melindungimu dari serangan badai." Tiba-tiba Jack mendapat akal yang luar biasa. Begitu hebat akal itu, sehingga napasnya sendiri tersentak. Kemudian ia menepukkan tangannya, sambil berseru kuat-kuat "Aku harus melakukannya! Harus, harus! Tapi masih ada waktukah untuk itu? Ada atau tidak?" Ia bergegas lari secepat mungkin, menerobos angin dan hujan. "Kenapa tidak ke sana pikiranku tadi? Jika orang-orang itu ada dalam gua harta, aku kan bisa menutup pintu lalu menggerendelnya dari luar — persis seperti yang mereka lakukan terhadap kita, sehingga kita terkurung di dalam? Aduh, kenapa tidak ke situ pikiranku tadi? Jangan-jangan sekarang sudah terlambat!" Jack lari dengan napas tersengal-sengal. Ia kepanasan, walau hujan membasahi tubuh. "Pasti orang-orang itu sudah keluar lagi dari gua," pikirnya. "Mungkin setiap saat aku akan melihat mereka. Aduh, kenapa aku tidak berpikir ke situ selama ini? Padahal aku kan masih sempat menggerendel pintu dulu, sebelum berangkat kemari!" Gagasan itu memang sangat baik. Para penjahat itu akan terkurung dalam gua. Mereka tidak mengenal jalan keluar lewat lubang di belakang lukisan, dan pasti takkan terpikir oleh mereka untuk mencari ke situ. Sedang Elsa serta suaminya takkan mau mengatakannya pada mereka. Aduh — mudah-mudahan saja para penjahat masih ada di dalam gua! Hujan masih terus turun dengan lebat. Angin yang bertiup kencang sekali, seperti badai. Untungnya tiupannya datang dari arah belakang, sehingga bahkan mendorong Jack maju. Pakaian anak itu sudah basah kuyup. Tapi ia tak peduli. Sepanjang perjalanan, ia tidak melihat para penjahat datang. Jack memperlambat larinya, ketika sudah sampai di dekat air terjun. Ia tidak mau tahu berhadap-hadapan dengan orang-orang itu. Pikirannya pun sudah mulai tenang kembali. "Mungkin orang-orang itu menunggu hujan dan angin berhenti dulu, sebelum mereka keluar. Mereka pasti tidak mau buku-buku kuno dan lukisan-lukisan itu rusak kena hujan. Ya, mereka pasti menunggu sampai badai ini sudah reda. Mungkin aku masih punya waktu. Orang-orang itu bahkan mungkin memutuskan untuk menginap dalam gua, apabila badai masih mengamuk terus." Dugaan Jack itu benar. Orang-orang itu sempat memandang ke luar, dari lubang masuk ke gua. Mereka melihat hujan dan badai yang mengamuk di lereng-lereng gunung. Mereka lantas memutuskan, lebih baik jangan mencoba pergi dari situ, karena takut barang-barang berharga itu bisa rusak. "Lebih baik kita menginap saja di sini semalam," kata salah satu di antara mereka. "Dalam kamar yang ada selimut-selimutnya. Kedua orang tua serta anak-anak itu kita usir ke luar." Tapi kemudian ternyata hanya kedua orang tua itu saja yang ada di situ. Mereka tidak menjawab ketika ditanyai di mana anak-anak berada, melainkan hanya menuding dengan lemah ke arah lorong menuju batu yang menjorok di atas jurang. Para penjahat kemudian duduk di atas selimut yang dihamparkan. Seorang di antaranya mengeluarkan kartu permainan. Lampu diletakkannya sedemikian rupa sehingga semua bisa melihat dengan jelas. Setelah itu ia mulai membagi-bagikan kartu. Sementara itu Elsa serta suaminya pergi ke 'kamar duduk'. Mereka merasa sedih dan takut. Keduanya berdoa, semoga para penjahat tidak memeriksa ke balik lukisan di kamar sebelah. Ketika Jack sampai di gua harta ia sudah nyaris tak mampu berjalan lagi. la terhuyung-huyung, melalui lorong pertama, lalu gua stalaktit, gua bintang dan akhirnya masuk ke dalam gua harta yang pertama. Ia terus berjalan. Melewati ambang pintu yang terbuka di ujung lorong tangga yang memutar. Ia belum melihat atau mendengar tanda-tanda bahwa para penjahat ada di dalam. Hatinya kecut. Jangan-jangan mereka sudah pergi! Tapi kenapa tidak berpapasan di jalan tadi? Ia berjalan terus. Sesampai di depan ‘kamar duduk’ ia mengintip ke dalam. Dilihatnya sepasang orang tua itu ada di situ, bersama ayam betina peliharaan mereka. Kemudian didengarnya suara para penjahat yang sedang asyik bermain kartu di kamar sebelah. Jack menggamit Elsa serta suaminya, sambil menempelkan telunjuk ke bibir. Kedua orang tua itu bangkit tanpa mengatakan apa-apa, lalu menghampirinya. Mereka nampak tercengang. Jack masih tetap tidak mengatakan apa-apa, sampai ke tempat yang jaraknya cukup jauh. "Ayo ikut," katanya kemudian. Diajaknya kedua orang tua itu keluar, melewati gua patung. "Aku hendak mengurung orang-orang itu di dalam!" Dengan cepat ditutupnya daun pintu yang kokoh, lalu didorongnya ketiga gerendel. Satu, dua, tiga! Beres! Ternyata ia berhasil! Bab 28 SEHARI SESUDAH BADAI Begitu berhasil menyelesaikan tugasnya, Jack langsung roboh. Ia kehabisan tenaga, setelah bergumul melawan Pepi, lalu lari menerobos hujan dan angin, dan kemudian ditambah dengan ketegangan dalam usahanya mengurung para penjahat, ia tergeletak di tangga, sebelah luar pintu yang terkunci. Tempat itu gelap. Kedua orang tua yang diselamatkannya meraba-raba dalam gelap, mencari-cari. Apakah yang terjadi dengan anak yang malang itu, pikir mereka. Mereka menemukan senter yang terselip dalam kantong Jack, lalu mengambil dan menyalakannya. Dengan cemas mereka mengamat-amati muka Jack yang pucat pasi, serta matanya yang terpejam. Berdua mereka berusaha memapahnya ke atas. "Pakaiannya basah kuyup," kata Elsa, sambil meraba baju dan celana Jack, "Nanti ia terserang pilek yang berat. Bisa mati ia karenanya! Apakah yang harus kita lakukan sekarang, Pak Tua?" Pak Tua menjawab, "Kita papah dia, menaiki tangga ini, lalu kita baringkan dalam gua bintang. Kau harus membungkus tubuhnya dengan selendangmu. Supaya lebih hangat, pakai saja mantelku." Kedua orang tua itu memapah Jack, dengan napas terengah-engah. Sesampai di ujung atas tangga, mereka kehabisan tenaga. Pak Tua buru-buru melepaskan pakaian Jack yang basah, lalu membungkus tubuhnya yang dingin dengan mantelnya. Sedang Elsa juga melibatkan selendangnya yang tebal. Mereka memeras pakaian Jack, lalu menggantungkannya di atas batu supaya kering. Kedua orang tua itu ketakutan. Apakah yang harus mereka lakukan sekarang? Para penjahat sudah terkurung dalam gua, dengan harta karun yang masih tersisa di sana. Mereka pasti mengamuk, jika menyadari apa yang terjadi! Tidak lama kemudian Jack siuman kembali. Ia duduk, sambil mengejap-ngejapkan mata. Sesaat itu tidak tahu di mana ia berada. Rasanya ia tadi setengah tidur dan setengah pingsan. Tiba-tiba ia menjamah tubuhnya. Eh — apa pula yang ' dipakainya sekarang? Selendang! Astaga — mungkinkah ia sudah menyamar kembali menjadi patung? Kedua orang tua itu mendengarnya bergerak-gerak, lalu menyalakan senter lagi. Mereka memandang Jack dengan perasaan cemas. Mereka baru lega ketika melihat paras anak itu sudah tidak begitu pucat lagi. "Bagaimana? Sudah lebih enak rasanya sekarang?" tanya Pak Tua dengan lembut. "Ya, terima kasih. Aku tidak apa-apa," kata Jack, ia menarik-narik selendang. "Apa ini?" "Pakaianmu tadi basah kuyup," kata Pak Tua. "Jadi kami cepat-cepat membukanya, takut kalau kau nanti terserang demam. Saat ini kau memakai mantelku, ditambah dengan selendang istriku." "O — terima kasih, kalau begitu," kata Jack. Ia merasa konyol, berpakaian mantel dan selendang. "Maaf, jika Anda berdua tadi kaget. Tapi aku tahu-tahu saja pingsan. Kurasa karena capek berlari mendaki lereng gunung tadi. Ideku hebat, ya — mengurung para penjahat di dalam!" "Tapi apa yang akan mereka lakukan pada kita nanti, jika mereka mengetahuinya?" kata Pak Tua sedih. "Mereka bisa berbuat apa? Tidak ada yang bisa mereka lakukan terhadap kita!" kata Jack. "Mereka kan terkurung di balik pintu yang kokoh! Jangan khawatir, kita aman di sini!" Jack berusaha bangun. Kakinya masih terasa lemas. Tapi ia bisa berjalan. "Aku hendak ke mulut lorong sebentar, untuk melihat apakah badai sudah reda," katanya. "Jika sudah, aku akan langsung ke gua pakis, di mana Dinah dan Lucy-Ann kutinggalkan tadi. Mereka pasti ketakutan sendiri." Ia terhuyung-huyung, menuju ke mulut lorong. Di luar gelap sekali, seperti malam. Awan gelap melayang rendah. Hujan masih tetap lebat. Tak mungkin ia bisa keluar. "Aku bisa tersesat nanti," pikir Jack. "Wah — Dinah dan Lucy-Ann pasti sudah gelisah sekarang, memikirkan keadaanku. Mudah-mudahan saja mereka tidak merasa takut, ditinggal sendiri di sana. Yah — apa boleh buat, aku terpaksa tidur di sini malam ini, bersama kedua orang tua itu. Kurasa takkan enak tidurku nanti!" Memang tidak! Mereka menemukan suatu tempat dalam gua bintang. Tempat itu berupa cekungan dalam batu, yang tidak begitu kasar permukaannya. Mereka bertiga berbaring rapat-rapat, untuk menghangatkan tubuh. Jack berusaha mengembalikan mantel dan selendang. Dikatakannya, pakaiannya sendiri sudah hampir kering. Tapi Elsa malah marah ketika ia mengatakan hal itu. Dalam bahasanya sendiri, ia menghujani suaminya dengan kata-kata yang tidak dimengerti oleh Jack. Tapi ia bisa menduga maksudnya. "Kata istriku, kau anak bandel — mau mencoba-coba memakai pakaian basah," kata Pak Tua. "Kita rapat-rapat saja berbaring. Di sini tidak dingin." Memang, di situ tidak begitu dingin. Jack berbaring diapit Pak Tua dan istrinya, tengadah memandang langit-langit gua aneh itu. Diperhatikannya cahaya biru - hijau yang berkelip-kelip di atas. Jumlahnya beratus-ratus, mungkin bahkan beribu-ribu. Lama sekali Jack memperhatikan cahaya redup itu. Tahu-tahu ia sudah tertidur. Keesokan paginya kedua orang tua itu bangun lebih dulu. Tubuh mereka terasa penat dan kaku. Tapi mereka tidak berani bergerak, takut membangunkan Jack. Akhirnya anak itu terbangun, lalu duduk. Dilihatnya cahaya yang berkelip-kelip di sekelilingnya. Dengan segera ia tahu di mana ia saat itu berada. "Pukul berapa sekarang?" katanya pada diri sendiri, sambil memandang arlojinya. "Aduh — sudah setengah delapan! Aku ingin tahu, apa yang diperbuat para penjahat sekarang. Sudah keringkah pakaianku?" Untung saja sudah. Dengan cepat Jack berpakaian. Mantel dan selendang dikembalikannya, dengan ucapan terima kasih. "Sekarang, Anda berdua di sini saja dulu," katanya pada suami istri tua itu. "Aku hendak ke pintu sebentar, kalau-kalau ada apa-apa di situ." Jack pergi. Perasaannya sudah pulih seperti biasa lagi. Begitu sampai di ujung atas tangga memutar, yang menuju ke pintu kokoh, ia langsung mendengar bunyi berisik di bawah. Ah — rupanya para penjahat sudah tahu bahwa mereka terkurung di dalam! Mereka memukul dan mendobrak pintu dengan sekuat tenaga, diiringi teriakan, tendangan dan entah apa lagi! Jack berdiri di ujung atas tangga, sambil nyengir. Biar tahu rasa mereka sekarang, pikirnya. Ada ubi ada talas—ada budi ada balas! Mula-mula mereka mengurung anak-anak di situ, dan sekarang giliran mereka yang terkurung! Tiba-tiba Jack dikagetkan bunyi letusan! Rupanya para penjahat menembak ke arah pintu, dengan harapan bisa menghancurkan gerendelnya. Dor! Dor! Dor! Jack mundur sedikit, takut kena peluru nyasar. Tapi sebetulnya itu tidak mungkin terjadi. Gerendel-gerendel pintu tidak bisa dihancurkan, karena terlalu kuat. Kemudian para penjahat mencoba mendobrak pintu dengan sesuatu benda berat Tapi percuma saja. Akhirnya mereka putus asa. Jack bergegas kembali, untuk menceritakan apa yang terjadi pada kedua orang tua itu. Tapi mereka malah ketakutan. Jack merasa tidak puas bercerita. "Kurasa Anda berdua lebih baik kubawa saja ke gua pakis, di mana Dinah dan Lucy-Ann berada," katanya. "Di sana ada makanan dan selimut-selimut. Yuk!" Tapi kedua orang tua itu tidak mau meninggalkan tempat yang mereka kenal baik itu. Mereka takut pada udara terbuka, pada lereng gunung dan pada dunia luar. Mereka mundur ketika diajak. Apa pun yang dikatakan oleh Jack mereka tetap berkeras tidak mau ikut. "Kalau begitu, terpaksa aku sendiri yang ke sana," kata Jack kemudian. "Akan kuajak Dinah dan Lucy-Ann ke sini, sambil membawa makanan dan selimut Lebih baik kita bergabung bersama-sama. Para penjahat itu tidak lagi berbahaya bagi kita. Mereka takkan bisa ke luar. Juga apabila mereka berhasil menemukan lubang di balik lukisan, paling jauh mereka hanya akan bisa sampai di gua gema saja!" Ia minta diri pada kedua orang tua yang ketakutan itu, lalu pergi ke luar. Cuaca sudah cerah kembali. Langit biru, dan matahari bersinar menghangatkan tubuh. Angin pun sudah berhenti bertiup. Ia berjalan menuju ke air terjun. Ia bisa menemukan jalan dengan mudah, karena sudah mengenal tanda-tanda yang perlu diperhatikan. Begitu ia sampai di dekat air terjun, terdengar suara Dinah dan Lucy-Ann memanggil-manggil. Rupanya mereka sudah menunggu-nunggu kedatangannya. Keduanya mengintip dari balik daun pakis. "Jack! Kau tidak kembali tadi malam! Aduh, Jack — aku nyaris tidak bisa tidur sama sekali, karena bingung memikirkan keadaanmu," seru Lucy-Ann sambil menangis. "Apakah yang terjadi selama ini?" tanya Dinah. Muka anak itu agak pucat kelihatannya. Ia pun merasa sangat cemas, apalagi ketika badai sedang mengamuk. "Banyak sekali yang terjadi!" kata Jack. "Ada kabar baik! Kabar terbaik di dunia!" "Kabar apa itu? Apakah Philip sudah kembali? — Bill sudah ada di sini?" seru Lucy-Ann dengan segera. "Bukan — bukan itu kabarku," kata Jack. "Mau tahu, apa yang sudah kulakukan? Aku berhasil mengurung para penjahat dalam gua! Nah — apa kata kalian sekarang?" "Aduh, hebat!" kata Dinah dan Lucy-Ann serempak. "Tapi bagaimana dengan Elsa serta suaminya?" tanya Dinah. "Mereka sudah kuajak ke luar terlebih dulu," kata Jack. "Dan sebelumnya aku bertemu dengan Pepi dekat kandang sapi. Ia sekarang sudah kuikat erat. Ia kuikatkan ke pohon tempat kita bersembunyi waktu itu." "Aduh, kau ini benar-benar hebat, Jack!" kata Lucy-Ann dengan kagum. "Jadi kau berkelahi dengan orang itu?" "Bukan begitu tepatnya," kata Jack berterus terang. "Ia yang menangkap aku. Tapi aku melawan. Kutendang kakinya kuat-kuat! Tepat saat itu angin bertiup dengan tiba-tiba. Dua buah koper kita jatuh dari atas pohon dan menimpa dirinya, sehingga ia pingsan. Aku pun ikut kaget, ketika hal itu terjadi.'" "Ya, tentu saja — koper-koper kita masih ada di sana!" kata Dinah. "Wah, Jack — untung saja kita meninggalkannya di tempat itu!" "Pepi mestinya sama sekali tidak enak malam tadi," kata Jack. "Satu-satunya yang menemani, cuma hujan dan angin." Kemudian ia bercerita tentang pengalamannya, tentang para penjahat yang mengamuk dan berusaha mendobrak pintu. "Aku tidak berhasil mengajak Elsa dan suaminya meninggalkan gua," katanya. "Jadi lebih baik kita kembali, untuk menemani mereka. Kita bawa selimut dan makanan. Tadi malam mereka meminjami aku mantel dan selendang, ketika pakaianku basah kuyup. Sekarang kita tidak bisa membiarkan mereka sendiri di sana, tanpa makanan dan alas tidur." "Aduh — aku paling senang tinggal di gua ini saja," desah Lucy-Ann. "Tapi — kedua orang tua itu sangat baik pada kita selama ini. Martha ada juga di sana, Jack?" "Astaga! Aku sama sekali tidak teringat padanya," kata Jack kaget. "Mudah-mudahan saja para penjahat tidak menyembelih lalu memakannya." Sesaat Lucy-Ann terpana, membayangkan kemungkinan yang seram itu. Kasihan Martha! Mudah-mudahan saja ia tidak diapa-apakan. Kiki sangat senang melihat Jack — sesenang Dinah dan Lucy-Ann. Ia bertengger di atas bahu anak itu, sambil mencubit-cubit telinga dan mengacak-acak rambutnya. Jack menggaruk-garuk jambul Kiki. Ia pun gembira, bertemu kembali dengan burung kakaktua itu. Dinah dan Lucy-Ann mengambil beberapa kaleng makanan, sementara Jack menyandangkan beberapa helai selimut ke bahunya. Kemudian mereka berangkat ke gua harta. Kiki terbang mendului. Matahari bersinar terik. Cuaca hari itu sangat indah. "Aku ingin bisa membuat gambar denah liang yang terdapat di balik lukisan, sampai ke gua pakis kita," kata Dinah. "Gunung ini banyak sekali liang dan guanya. He, suara air terjun hari ini kedengarannya keras sekali, ya? Dan ukurannya juga lebih besar. Kurasa sebabnya tentu karena hujan kemarin malam." Akhirnya mereka sampai ke lubang yang merupakan jalan masuk ke gua. Dari situ mereka menuju ke gua bintang. Elsa dan suaminya menyambut kedatangan mereka dengan hangat dan gembira. Elsa senang sekali bisa melihat Lucy-Ann lagi. Anak itu dirangkulnya. "Aku lapar," kata Lucy-Ann, sambil berusaha membebaskan diri dari pelukan Elsa. "Lapar sekali." Semuanya merasa lapar. Agak aneh juga rasanya, makan dalam gua bintang. Anak-anak terpukau memandang cahaya redup yang berkelap-kelip di sekeliling mereka! Bab 29 PERJALANAN ANEH Sementara itu Philip mengalami saat-saat yang sangat menegangkan. Ia tidur di bawah tumpukan selimut dan mantel dalam pesawat, sampai fajar menyingsing. Ia terbangun ketika pesawat mendarat, pada saat roda-roda menyentuh tanah. Ia mengintip dari bawah tumpukan selimut. Diperhatikannya kesibukan kedua penjahat yang ada dalam pesawat yang ditumpanginya. Philip menarik napas lega, ketika ternyata mereka turun tanpa memeriksa keadaan pesawat terlebih dulu — atau mengambil mantel dari tumpukan yang menutupi tubuhnya! Di luar ada serombongan orang. Mereka menyambut para penjahat yang baru datang. Philip berusaha menangkap pembicaraan mereka. Tapi orang-orang di luar berbicara campur aduk, sebagian dalam bahasa asing, sehingga Philip tidak bisa memahami apa-apa. Ia memandang berkeliling. Sebuah peti ada dalam pesawat, dibungkus dengan terpal yang diikatkan secara longgar. Philip berusaha mengintip isinya. Dilihatnya salah satu patung yang berasal dari gua, dibenamkan dalam tumpukan jerami. Rupanya patung itu sangat berharga. Setelah itu ia mengintip dengan hati-hati ke luar, lewat jendela. Suara orang-orang tadi sudah tidak terdengar lagi. Kemanakah mereka? Bisakah ia menyelinap ke luar sekarang, lalu melarikan diri. Tapi begitu ia melayangkan pandang ke luar, matanya langsung terbelalak karena heran. Pesawat-pesawat ternyata mendarat di atas padang rumput yang luas sekali. Sedang di depan dan di sekeliling tempat itu terbentang laut biru. Ke mana juga ia memandang, hanya air laut semata-mata yang dilihatnya. Wah! Kalau begitu, pesawat-pesawat ternyata mendarat di suatu pulau. Philip berpikir-pikir sejenak, sambil duduk dalam pesawat Orang-orang itu penjahat. Mereka rupanya berdagang benda-benda berharga yang disembunyikan dalam perang yang lalu, dan kemudian dilupakan orang. Mereka memiliki sejumlah pesawat terbang — serta tempat pendaratan rahasia. Tempat manakah yang lebih cocok untuk itu daripada sebuah pulau terpencil — katakanlah di depan pantai Skotlandia? "Kalau begitu, kurasa mereka nanti akan mengangkuti barang-barang curian mereka dengan sampan atau perahu motor," pikir Philip. "Aku takkan bisa lari di pulau ini, tanpa ketahuan. Jika ini pulau — dan kelihatannya memang begitu — aku masih tetap tertawan. Sama saja seperti waktu masih dalam gua harta. Sialan!" Kemudian ia teringat pada gagasan Dinah. Bagaimana jika ia bersembunyi dalam peti? Patung yang dalam peti itu besar kemungkinannya akan dinaikkan ke atas sebuah kapal untuk diangkut ke tempat lain lalu dijual di sana. Nan — kalau begitu, ia kan bisa saja ikut dalam peti! Ia mengintip lagi ke luar, untuk melihat di mana orang-orang tadi berada. Rupanya mereka sedang makan dalam sebuah pondok, tidak jauh dari situ. Menurut perkiraan Philip, ia masih punya waktu paling sedikit setengah jam. Ikatan terpal diperlonggar olehnya. Dilihatnya bahwa peti itu diikat dengan sebuah kaitan. Kaitan itu ditariknya sehingga terlepas. Saat itu juga satu sisi peti terbuka ke samping. Jerami berhamburan ke luar. Patung yang dilihat tadi ada di dalam, ditaruh di tengah-tengah jerami. Menurut perasaan Philip, itu mestinya patung kuno, patung salah satu tokoh suci. Ia mengamat-amati patung itu dengan seksama. Kelihatannya terbuat dari emas. Tapi masa bodoh! Patung ini kini harus berganti tempat dengan dia — di bawah tumpukkan selimut dan mantel. Sedang Philip menggantikan tempatnya, dalam peti. Mengeluarkan patung itu dari dalam peti tidak begitu sulit Tapi setelah ada di luar, ternyata beratnya bukan main. Nyaris saja Philip roboh ketika ia mengangkatnya. Padahal ukurannya hanya setengah badannya. Philip menyeretnya ke tumpukan selimut, lalu diselipkan ke bawah tumpukan itu dengan rapi, sehingga sama sekali tidak kelihatan lagi. Jerami yang berceceran dimasukkan ke dalam peti. Setelah itu ia merangkak ke dalam, menggantikan patung. Diaturnya jerami sekelilingnya sehingga menutupi tubuhnya. lalu ditariknya sisi peti sehingga tertutup lagi. Kaitan tak bisa dikembalikannya ke tempat semula. Apa boleh buat! Ia hanya bisa berharap, apabila kedua penjahat itu melihat kaitan terbuka, mereka akan mengira bahwa itu terlepas secara kebetulan. Philip merasa kepanasan di tengah jerami. Ia mulai cemas, jangan-jangan nanti tidak bisa bernapas. Ia cepat-cepat membuat lubang di tengah jerami, sampai ke pinggir peti. Setelah itu barulah ia merasa lebih enak. Ia sudah sekitar seperempat jam berada dalam peti, ketika datang dua orang dengan gerobak. Mereka membongkar muatan pesawat-pesawat Peti yang berisikan Philip mereka turunkan dengan sangat berhati-hati. Ketika sisinya terbuka ke samping, mereka memasang kaitannya kembali dengan cermat. Keduanya sama sekali tidak menduga bahwa yang ada dalam peti bukan patung, tapi seorang anak laki-laki! Peti tempat Philip bersembunyi dinaikkan ke atas gerobak, bersama barang-barang yang lain. Kemudian dibawa ke tepi laut, melalui jalan yang tidak rata. Philip terantuk-antuk dalam peti. Jerami yang menyelubungi, terasa menggelitik. Badannya gatal-gatal. Sulit sekali rasanya bernapas di tempat sempit dan panas itu. Tapi Philip tidak peduli. Sebentar lagi ia akan berada di atas sebuah kapal, dan diangkut ke suatu tempat Jika sudah sampai, ia akan bisa melarikan diri. Ia akan melapor pada polisi di sana! Karena itu ia tetap berbaring dengan sabar dalam peti. Sekali-sekali ia mengubah letaknya berbaring, untuk mengelakkan tusukan jerami. Ia tidak bisa melihat apa-apa dalam peti. Ia hanya bisa menduga-duga saja ketika gerobak yang mengangkutnya sampai di atas suatu dermaga kecil. Di sisi dermaga itu berlabuh perahu motor yang besar. Peti yang berisi Philip dijunjung ke atas perahu, lalu ditaruh dalam geladak bawah Buk! Napas Philip tersentak, ketika dasar peti membentur geladak. Barang-barang lain menyusul, diletakkan di samping petinya. Kemudian terdengar suara teriakan beruntun, memberi aba-aba. Mesin perahu dihidupkan, dan Philip merasa bahwa perahu besar itu melaju dalam air. Mereka sudah berangkat! "Orang-orang itu sedikit pun tidak membuang-buang waktu," pikir Philip. "Rupanya mereka tidak mau lama-lama menyimpan barang-barang ini. Tapi siapakah yang membeli nanti?" Pelayaran itu rasanya lama juga. Philip semakin yakin, tempat pendaratan pesawat-pesawat tadi di sebuah pulau terpencil. Akhirnya perahu diperlambat jalannya, dan akhirnya berhenti. Saat berikutnya barang-barang yang diangkut sudah dibongkar lagi. Peti tempat persembunyian Philip diangkat dengan agak kasar. Sesaat ia terjungkir di dalamnya, menyungsang dengan kepala ke bawah. Nyaris saja ia berteriak, karena tidak tahan berlama-lama dalam keadaan begitu. Tapi tepat pada saat ia tidak tahan lagi, peti itu dibetulkan kembali letaknya dan dimasukkan ke dalam sebuah kendaraan yang langsung berangkat Setelah beberapa lama berjalan, kendaraan itu berhenti lagi. Philip mendengar bunyi peluit kereta api. Hatinya girang sekali mendengar bunyi itu. Rupa-rupanya saat itu ia berada di sebuah stasiun kereta api. Mungkin sebentar lagi petinya akan dimasukkan ke dalam gerbong bagasi — atau ke dalam gerbong kereta barang. Saat itu ia akan bisa minggat dengan mudah. Sebelumnya ia tidak berani mencoba. Ia merasa yakin, orang-orang yang mengangkut petinya pasti bersekongkol dengan para penjahat. Tapi ia masih belum juga dinaikkan ke atas kereta api. Petinya ditinggal di pelataran, bersama barang-barang lain yang akan diangkut dengan kereta api yang akan berangkat kemudian. Philip memasang telinga, menunggu bunyi kendaraan yang mengangkutnya tadi pergi. Setelah itu pasti akan aman baginya untuk keluar dari dalam peti. Ia masih menunggu selama dua puluh menit Kemudian ia mulai berusaha keluar. Tapi dari dalam, ia tidak bisa membuka kaitan sisi peti. Sialan! Ia berteriak-teriak "He! Tolong! Tolong!" Seorang pengangkat barang yang ada di dekat situ, kaget mendengar suaranya. Orang itu celingukan. Ia tidak melihat siapa-siapa di situ, kecuali seorang calon penumpang yang berdiri di peron, menunggu kereta api berikutnya. Kecuali dia, masih ada pula seorang petugas pengangkat barang. Tapi rekan itu berdiri di pelataran seberang. Saat itu Philip berteriak-teriak lagi. “Tolong! Tolong! Keluarkan aku dari sini!" Pengangkat barang itu ketakutan sekali. Ia memandang calon penumpang yang menunggu di peron, untuk melihat apakah orang itu juga mendengar teriakan tadi? Atau suara itu hanya ada dalam pikirannya saja? Tapi ternyata calon penumpang itu juga mendengar, karena ia pun nampak sangat takut. "Ada orang dalam kesulitan," kata orang itu, sambil menghampiri pengangkat barang. "Kedengarannya seperti datang dari pelataran sebelah sana!" "Tapi di sana tidak ada siapa-siapa," kata pengangkat barang, sambil memandang ke pelataran itu. "He! Cepat! Tolong aku keluar," seru Philip lagi dengan nada mendesak. Kedua orang yang berdiri di peron kaget setengah mati, ketika tiba-tiba melihat ada peti bergoncang-goncang. "Ada orang di dalam peti itu!" seru pengangkat barang, lalu cepat-cepat lari mendatangi. Dengan tangan gemetar dibukanya kaitan yang mengunci sisi peti. Seketika itu juga Philip terguling ke luar. Seluruh tubuhnya penuh dengan jerami. "Aku harus cepat-cepat ke kantor polisi," katanya dengan gelisah. "Aku tidak sempat memberi penjelasan pada Anda sekarang. Mana kantor polisi?" "Di sebelah sana," kata pengangkat barang terbata-bata. Ia menunjuk ke arah sebuah bangunan kecil berbentuk persegi empat, yang letaknya sekitar seratus meter dari stasiun kereta api. "Tapi-tapitapi..." Philip membiarkannya sendiri terbata-bata. Anak itu bergegas lari ke kantor polisi. Perasaan gembira memenuhi dirinya, karena berhasil melarikan diri. Sesampai di kantor polisi, ia langsung masuk. Petugas polisi yang menjaga terkejut sekali melihat ia tiba-tiba muncul. "'Saya ingin melaporkan sesuatu pada petugas yang memegang wewenang," katanya. “Siapakah kepala di sini?" "Aku polisi yang bertugas," kata polisi itu. "Kau siapa, dan mau apa? Kau bisa menyampaikan laporanmu padaku." "Saya ingin meminjam telepon sebentar," kata Philip. Menurut perasaannya, ia sebaiknya langsung saja menghubungi Bill. "Bisakah Anda menolong saya menghubungi seseorang?" "He, he — tunggu dulu! Kau tidak bisa seenaknya saja meminjam pesawat telepon di sini, kalau tidak ada keperluan penting," kata petugas polisi itu. Ia mulai menduga, jangan-jangan anak laki-laki yang badannya penuh jerami itu sebenarnya sinting. "Siapa namamu, dan di mana tempat tinggalmu?" "Namaku Philip Mannering." kata Philip dengan nada tidak sabar. "Jangan buang-buang waktu lagi, Pak. Aku perlu menyampaikan laporan penting!" Sebutan namanya menyebabkan petugas polisi langsung waspada. "Philip Mannering?" katanya mengulangi. "'Nanti dulu! Kau ini salah satu dari anak-anak yang dilaporkan hilang itu? Ada empat orang yang sudah sejak beberapa hari hilang. Kau termasuk mereka itu?" Petugas polisi itu mengambil selebaran dari salah satu laci. Diperhatikannya sebentar, lalu disodorkannya pada Philip. Philip terkejut melihat fotonya terpampang pada selebaran itu, bersama Lucy-Ann, Jack dan Dinah. Kiki juga nampak dalam foto itu. Keterangan mengenai ciri-ciri mereka tertera di bawahnya. "Ya — akulah anak ini," kata Philip, sambil menuding foto dirinya. "Philip Mannering! Dan aku ingin menghubungi Bill Smugs — ah, maaf, nama sebenarnya Cunningham. Aku harus segera menghubunginya. Ini penting sekali!" Saat itu juga petugas polisi itu sibuk. Diangkatnya gagang pesawat telepon, lalu disebutkannya sebuah nomor. Ia langsung mendapat sambungan. Rupanya yang dihubunginya itu seseorang yang berkedudukan tinggi. "Pak, saya ingin melapor. Salah seorang dari keempat anak yang hilang itu tahu-tahu muncul di sini. Philip Mannering, Pak! Katanya, ia hendak melaporkan sesuatu pada Inspektur Detektif Cunningham. Ya, Pak. Baik, Pak." Ia menoleh pada Philip. "Anak-anak yang lain itu ada bersamamu sekarang?" tanyanya. "Tidak — tapi mereka selamat — sampai sekarang," kata Philip. "Aku berhasil melarikan diri, dan sekarang aku ingin membantu mereka. Bisakah aku menghubungi Bill Cunningham?" Petugas polisi itu berbicara lagi lewat telepon dengan atasannya. "Anak-anak yang lain berada dalam keadaan selamat, tapi saat ini tidak ada di sini. Harap Bu Mannering diberi tahu. Berita selanjutnya menyusul. Kapankah Pak Inspektur itu akan tiba di sini?" Selesai berbicara lewat telepon, petugas polisi itu kembali menatap Philip dengan perasaan puas. Ia merasa berbahagia. Bayangkan — kasus anak-anak hilang yang menegangkan itu dilaporkan ke kantor polisi kecil, tempatnya bertugas saat itu! "Di mana aku sekarang ini?" tanya Philip dengan tiba-tiba. "Apa nama tempat ini?" "Eh — kau tidak tahu?" tanya petugas itu dengan heran. "Saat ini kau berada di Gairdon, di pesisir timur laut Skotlandia." "Ah, itu sudah kukira dari semula," kata Philip. "Maaf, saat ini aku belum bisa bercerita apa-apa, Pak — kurasa lebih baik aku menunggu dulu sampai Bill datang." Bill kemudian datang — dengan pesawat terbangnya! Ia mendarat di pelabuhan udara terdekat, lalu naik mobil polisi yang cepat. Dalam waktu dua jam ia sudah berada di Gairdon. Philip bergegas menyongsong, begitu ia mendengar deru mobil datang. "Bill! Aku tahu Anda pasti datang! Wan, Bill — ada kabar yang sangat penting bagi Anda. Tapi aku tidak tahu, dari mana aku harus mulai bercerita!" Bab 30 BILL BERAKSI Bill bergegas turun dari mobil. Dipegangnya lengan Philip, lalu diperhatikannya anak itu baik-baik. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya. "Kalian semua baik-baik saja? Ibumu sudah bingung sekali, memikirkan nasib kalian!" "Keadaanku baik-baik saja, Bill. Jack dan kedua adik kami juga begitu. Tapi saat ini kami terlibat dalam petualangan yang benar-benar luar biasa!" kata Philip. "Aku harus cepat-cepat menceritakannya pada Anda. Kita harus segera bertindak. Soalnya...." "Ayo, ikut ke dalam," kata Bill. Philip mengikuti pria bertubuh kekar itu masuk ke kantor polisi. Hatinya lega, karena sudah bisa mendengar suara Bill yang tegas, serta melihat wajahnya yang cerdas dan jantan. Tidak lama kemudian Philip sudah mengisahkan pengalamannya. Bill mendengarkan dengan kagum. Sekali-sekali ia mengajukan pertanyaan. Ia tertawa terbahak-bahak, ketika Philip bercerita bagaimana ia menggantikan tempat patung dalam peti, lalu diangkut sampai ke stasiun kereta api. "Seumur hidupku, belum pernah kujumpai anak-anak lain seperti kalian! Kalian ini macam-macam saja. Bagaimana aku bisa menghadapi kalian! Tapi sungguh, Philip — kejadian ini benar-benar luar biasa. Kalian terlibat dengan orang-orang yang sejak lama sudah kuselidiki, Tapi kami tidak bisa mengetahui tindakan jahat mana yang sedang mereka rencanakan. Kami hanya tahu, mereka hendak melakukan sesuatu yang melanggar hukum!" "O ya?" Sekarang Philip yang tercengang. "Tapi ngomong-ngomong, Bill — malam itu, sewaktu kami sebetulnya akan berangkat dengan pesawat Anda, tapi kemudian ternyata keliru masuk pesawat lain — kami seperti mendengar tembakan-tembakan. Adakah hubungannya dengan Anda?" "Memang ada," kata Bill dengan geram. "Kami secara kebetulan melihat dua dari para penjahat itu, lalu kami kepung. Tapi mereka berhasil meloloskan diri dengan jalan menembaki kami. Tembakan merekalah yang kalian dengar waktu itu. Kakiku nyaris kena peluru. Sungguh, kami akan senang sekali apabila berhasil membekuk mereka, dengan bukti-bukti nyata perbuatan jahat mereka. Mereka kawanan penjahat ulung yang berasal dari Amerika Selatan. Mereka mempunyai hubungan dengan penjahat-penjahat Nazi Jerman, yang memberi tahu mereka di mana letak berbagai harta rampasan yang disembunyikan di beberapa tempat di Eropa. Harta itu banyak yang masih belum ditemukan sampai sekarang." "Wan — kalau begitu, tunggu saja sampai Anda melihat gua harta kami!" kata Philip. "O ya — ini buku catatan yang kuambil dengan diam-diam dari kantong salah satu penjahat itu." Bill membalik-balik halaman buku catatan yang disodorkan Philip padanya. dengan mata terpicing. Tiba-tiba ia terbelalak. "Astaga! Coba lihat ini! Ini kan tulisan sandi yang mereka pakai — serta daftar semua orang yang terlibat dalam kegiatan ini — lengkap dengan alamat mereka — semua dalam tulisan sandi! Wah, kau benar-benar pantas dianugerahi medali penghargaan, Philip! Penemuanmu ini luar biasa. Dengannya, kami akan bisa meringkus seluruh komplotan itu." Philip senang melihat kegembiraan Bill. Sementara itu Bill buru-buru menelepon. Ia menghubungi berbagai orang, dan menyampaikan berita dengan nada tegas dan ringkas. Philip mendengarkan saja. Ia tidak begitu mengerti, apa saja yang dikatakan oleh Bill saat itu. la hanya berharap, semoga Bill akan segera berangkat untuk menyelamatkan anak-anak yang masih tertinggal dalam lembah terpencil itu. Mereka pasti sudah menunggu-nunggu dengan cemas. Akhirnya Bill selesai menelepon. "Kita akan berangkat dengan dua pesawat terbang," katanya pada Philip. "Kita akan berdua belas, termasuk diriku sendiri. Kita berangkat pukul dua belas." "Aku kan juga ikut?" tanya Philip agak cemas. "Kurasa kau lebih baik cepat-cepat saja kembali ke rumah," kata Bill. "Ibumu perlu ditenangkan. Di samping itu — ada kemungkinan akan terjadi keributan sedikit, apabila kami sudah tiba di sana." Philip menatap Bill Cunningham, ia merasa tersinggung. "Bill! Anak-anak yang lain akan hadir semua di sana — sedang aku hendak Anda larang ikut? Bukankah aku yang kemari? Bukankah aku yang...." "Ya deh, ya deh — kau boleh ikut," kata Bill mengalah. "Entah petualangan apa lagi yang akan kaualami nanti, jika, kau kutinggal di sini!" Philip langsung gembira lagi. Dikeluarkannya kadalnya dari kantong, lalu disodorkannya ke depan Bill. "Ini Lizzie," katanya memperkenalkan. Kadal itu langsung saja naik ke lutut Bill. "Lizzie?" kata Bill tercengang. "Aneh sekali nama yang kauberikan untuk seekor kadal!" "Kurasa di sini kita tidak bisa memperoleh makanan, ya?" kata Philip. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah pernah ada makanan di kantor polisi. "Selama ini aku hanya makan coklat saja." "Aku sebenarnya hendak meminta Pak Polisi ini untuk mengambil makanan untuk kita," kata Bill. "Kita bisa saja pergi ke hotel, tapi tampangmu saat ini tidak bisa dipamerkan di depan umum. Badanmu penuh jerami. Jadi sebaiknya kita makan dulu. Sesudah itu kau membersihkan badan." Ketika mereka sedang makan, angin mulai bertiup Bill memandang ke luar, lewat jendela. "Mudah-mudahan angin reda kembali," katanya. "Agak kencang tiupannya saat ini." Bill memang benar. Sesaat sebelum mereka berangkat dengan mobil di pelabuhan udara, telepon di kantor polisi berdering. Ada berita untuk Bill! Ia mendengarkan dengan wajah serius. "Aku baru saja menerima berita bahwa sebentar lagi akan ada angin ribut," katanya, setelah pembicaraan telepon selesai. "Jadi kurasa kita belum bisa berangkat Di tempat yang akan kita datangi saat ini cuaca buruk sekali, Philip." "Sialan!" tukas Philip, ia merasa kecewa, dan sekaligus cemas. "Anak-anak pasti sudah sangat gelisah sekarang, menunggu-nunggu kedatangan kita." "Ya, memang," kata Bill. "Tapi peringatan angin ribut tidak diumumkan tanpa alasan kuat. Rupanya pihak pengawas keselamatan terbang mengkhawatirkan akan terjadi badai dengan tiba-tiba, yang menyebabkan pesawat terpaksa terbang tanpa tuntunan. Terbang begitu membahayakan! Karenanya kita terpaksa menunggu beberapa saat dulu." Philip bingung. Payah, apabila para penjahat berhasil kembali ke lembah, lalu kemudian mungkin berhasil menangkap anak-anak yang masih ada di sana. Lagi pula ia ingin melihat Bill berhasil menangkap para penjahat ketika mereka sedang beraksi. Ia ingin sudah ada di sana sebelum para penjahat kembali, lalu menunggu mereka datang lagi untuk mengangkut harta karun yang masih tertinggal. "Bill," kata Philip dengan tiba-tiba, "tahukah Anda, ke mana kita nanti harus terbang? Aku sama sekali tidak tahu di mana lembah itu! Aku hanya tahu, letaknya di Austria. Elsa dan suaminya yang mengatakan begitu pada kami." "Letak lembah itu tercatat dalam buku catatan menarik yang kauberikan padaku tadi," kata Bill, "begitu pula tempat-tempat lain di mana terdapat harta karun. Buku catatan itu banyak sekali memuat keterangan yang sangat ingin kuketahui Philip!" Bill mengambil peta, lalu menunjukkan letak lembah itu pada Philip. "Lembah itu sangat banyak mengalami penderitaan semasa perang yang lalu," kata Bill. "Dan satu-satunya jalan celah menuju ke situ, rusak kena serangan bom. Sepanjang pengetahuanku, sampai sekarang jalan celah itu masih tetap belum bisa dilewati. Tapi ada rencana untuk membebaskannya kembali tahun ini. Seseorang bernama Julius Muller — yaitu orang yang harus kalian hubungi — sudah mengurus izin untuk menyingkirkan batu-batu besar yang menghalang di situ." "Aku ingin tahu bagaimana nasib Otto, kata Philip. "Itu, tawanan yang malang itu!" "Alamatnya juga ada dalam buku catatan," kata Bill. "Aku sudah minta keterangan mengenai dirinya. Kurasa sebentar lagi jawabannya pasti akan sudah datang." Dugaannya tidak keliru. Siang itu juga telepon berdering. Bill mendapat keterangan bahwa Otto Engler ditemukan dalam keadaan pingsan, di depan sebuah rumah sakit besar. Orang yang malang itu nyaris saja meninggal dunia, karena penyakit jantungnya yang kambuh. Tapi kini ia sudah agak baik, walau belum bisa berbicara. "Kurasa para penjahat itu menyiksanya, untuk memaksa agar ia mau mengatakan di mana letak gua harta," kata Philip. "Kemudian ia ditinggal begitu saja dalam keadaan sakit parah, di tengah jalan." "Kurasa memang itulah yang terjadi," kata Bill sependapat. "Para penjahat itu kalau bekerja memang tidak kenal kasihan!" Kemudian telepon berdering lagi. Bill mendengar keterangan dari temannya berbicara saat itu. Tampangnya serius. "Badai semakin menggila," katanya kemudian pada Philip. "Kita terpaksa mengundurkan perjalanan kita sampai besok. Sayang rumahmu jauh dari sini. Kalau tidak, kita bisa mampir sebentar di sana, untuk menenangkan hati ibumu. Sedari tadi aku sudah berusaha menghubunginya lewat telepon." Sore itu Philip berhasil berbicara sebentar dengan ibunya, lewat telepon. Bu Mannering sangat lega mendengar suara anaknya, sehingga ia hampir tidak bisa mengatakan apa-apa. Tapi Philip berbicara terus. Ceritanya terputus, ketika waktu menelepon sudah lewat. Keesokan paginya cuaca cerah dan panas. Angin sudah hampir berhenti bertiup. Malamnya Philip sempat terbangun satu atau dua kali, karena terganggu bunyi badai. Ia mengucap syukur, karena Bill tidak nekat mencoba terbang menembus amukan angin yang sedang menggila saat itu. Philip tidur di pembaringan yang disediakan dalam salah satu sel kantor polisi itu. Kenyataan itu mengasyikkan baginya. "Baru sekali ini aku menginap dalam kamar tahanan," katanya. "Mudah-mudahan saja ini merupakan kali yang terakhir," kata Bill. "Penjara bukan tempat tinggal yang enak!" Tidak lama kemudian datang mobil yang akan menjemput mereka. Bill bergegas masuk ke dalam kendaraan itu, diikuti oleh Philip. Bill menghidupkan mesin, dan mobil pun meluncur maju. Jalannya makin lama makin cepat. "Bukan main! Cepat sekali lari mobil ini," kata Philip bersemangat. "Aneh — kalau sedang naik mobil, rasanya seperti lebih cepat dari pesawat terbang. Mungkin karena tiupan angin!" Akhirnya mereka tiba di pelabuhan udara Pesawat terbang Bill sudah disiapkan. Baling-balingnya sudah berputar. Di samping pesawat itu ada pesawat lain yang sejenis. Di dekat situ berdiri menunggu sebelas orang laki-laki. Mereka memberi hormat pada Bill. "Kau masuk saja dulu ke pesawatku," kata Bill pada Philip. "Aku masih ingin berbicara dulu dengan anak buahku." Setelah selesai memberi instruksi pada kesebelas orang itu, ia pun masuk ke pesawatnya. Lima anak buahnya ikut dalam pesawat itu, sedang yang enam lagi naik pesawat yang satu lagi. Pesawat Bill berangkat dulu dengan bunyi yang memekakkan telinga, disusul pesawat yang kedua. Keduanya terbang menyongsong angin, berputar-putar semakin tinggi, lalu menuju ke timur. Philip menghela napas lega. Saat menunggu sudah lewat. Sebentar lagi ia akan bisa bertemu kembali dengan anak-anak. Pasti mereka akan sangat gembira melihat dia datang! Setelah terbang agak lama, Bill berpaling lalu menyapa Philip. "Sekarang kita menghampiri lembahmu, Philip. Coba kau memandang ke luar, untuk melihat barangkali kau bisa mengenalinya kembali." Philip memandang ke luar jendela, menatap ke bawah. "Ya, ya — itu dia!" serunya bersemangat. "Itu, itu! Dan di bawah ada empat pesawat terbang. Di tempat itulah kita harus mendarat. Tapi nanti Anda harus berjaga-jaga. siapa tahu para penjahat itu ada di situ lalu langsung menembak!" Pesawat Bill mulai menurun, menyongsong angin lalu mendaratkan. Pesawat kedua ikut di belakangnya. Mesin-mesin dimatikan. Seketika itu juga keadaan menjadi sunyi senyap. Bill menunggu, kalau-kalau ada orang datang. Tapi tidak ada. la lantas cepat-cepat turun dari pesawat, diikuti anak buahnya. Philip tentu saja tidak mau ketinggalan! Di situ kelihatannya tidak ada siapa-siapa. Bill memerintahkan anak buahnya menyebar dan memeriksa tempat di sekitar situ, sebelum mereka melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian terdengar salah seorang dari mereka berseru. "He! Di sini ada salah seorang dari mereka! Ia diringkus, seperti tikus.” Orang yang diringkus itu Pepi, yang terikat ke batang pohon. Penjahat itu sudah payah keadaannya, karena lapar dan kedinginan. Begitu senang perasaannya karena dibebaskan dari penderitaan, sampai ia tidak nampak kaget melihat begitu banyak orang yang tak dikenal muncul. Dijaga salah seorang petugas polisi, ia terhuyung-huyung menghampiri Bill. "Masukkan dia ke dalam pondok itu, dan kurung di situ," kata Bill pada anak buahnya. "Siapa kiranya yang mengikatnya ke pohon, Philip?" "Entahlah, aku juga tidak tahu," kata Philip dengan perasaan heran. "Dan lihatlah, Bill! Ini dua koper kami. Rupanya terjatuh dari atas pohon. Aneh!" "Jadi sekarang masih ada tujuh orang lagi yang harus dihadapi," kata Bill. "Baiklah! Nah — sekarang kita harus berangkat ke gua harta. Tapi hati-hati, jangan-jangan para penjahat memasang perangkap," katanya pada anak buahnya. "Jangan sampai kita lengah!" Mereka berangkat, dengan Philip sebagai penunjuk jalan. Bill heran melihat keadaan lembah itu, dengan gunung-gunung tinggi di sekelilingnya, serta rumah-rumah yang rusak terbakar. Ia tidak habis heran membayangkan keempat anak itu terdampar di situ, dan terlibat dalam petualangan yang sangat mendebarkan hati. "Anda dengar suara air terjun sekarang?" tanya Philip setelah beberapa waktu berjalan menyusur lereng gunung. "Aku mendengarnya. Kita sudah dekat" Para petugas polisi heran mendengar bunyi air terjun yang begitu dahsyat Mereka lebih heran lagi ketika melihatnya. Keheranan itu tidak mereka ucapkan, karena mereka petugas yang sudah berpengalaman dan tidak lekas kaget. Tapi walau begitu mereka tertegun juga sesaat, ketika melihatnya. "Sekarang hati-hati — kita sudah berada di dekat mulut gua," kata Philip beberapa saat sesudah itu. "Kurasa lebih baik aku yang lebih dulu masuk!" Bab 31 AKHIR YANG MENDEBARKAN Jack, Dinah, Lucy-Ann serta kedua orang tua itu masih berada dalam gua bintang. Mereka baru saja selesai makan, dan kini agak bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Sayang Elsa dan suaminya tidak bisa diajak ke luar. Padahal cuaca begitu indah saat itu. "Kalau begitu kita saja yang ke luar, untuk menikmati kehangatan sinar matahari," kata Lucy-Ann. Ia kepingin sekali keluar dari tempat remang-remang itu. "Sekarang kan sudah tidak ada bahaya lagi. Para penjahat itu takkan bisa mendobrak pintu yang kokoh itu, jadi mereka mustahil bisa ke luar." Lucy-Ann kaget, karena saat itu Jack memegang lengannya. "Ssst!" desis Jack. "Aku mendengar suara orang." Semuanya mendengarkan dengan hati berdebar-debar. Ya, betul — mereka mendengar suara beberapa orang. Datangnya dari arah lorong yang menghubungkan gua stalaktit dengan gua di mana mereka berada saat itu. "Ada lagi yang datang! Cepat bersembunyi!" kata Dinah dengan gelisah. Anak-anak berlari-lari menuju ke ujung gua. Mereka tersandung-sandung karena bergegas-gegas. Bunyi langkah mereka menggema dalam rongga besar itu. "Berhenti!" Mereka dikagetkan oleh suara yang galak itu. Sesosok tubuh nampak muncul di ambang lorong. "Jangan lari! Angkat tangan!" Lucy-Ann mengenal suara itu. Bahkan kenal baik! "Bill!" serunya dengan girang. "Bill! Aduh, Bill — kami sangka Anda takkan datang!" Ia berlari-lari menghampiri Bill, lalu merangkulnya. Jack dan Dinah juga datang mendekat, sambil berseru-seru dengan girang. Kemudian Lucy-Ann melihat Philip, ia pun merangkul anak itu. "Philip! Ternyata kau berhasil lari dan memanggil Bill!" Philip tercengang melihat anak-anak ada di situ, bersama Elsa dan suaminya. Sewaktu ia pergi. bukankah mereka masih ada di dalam gua harta! Bagaimanakah cara mereka keluar? Dan di mana para penjahat? Elsa dan suaminya mendekat dengan berhati-hati. Mereka agak takut melihat begitu banyak orang yang tak dikenal masuk ke situ. Bill menghadapi mereka dengan lemah lembut. "Kasihan mereka ini," katanya pada Philip. "Tapi sekarang mereka sudah aman. Mereka akan dirawat, dan diberi penghargaan. Nah — di mana, para penjahat itu?" "Sudah kukurung, kata Jack dengan bangga. "Mereka tertawan dalam gua harta." Itu merupakan kabar mengejutkan bagi Philip — dan tentu saja juga bagi Bill. Mereka lantas menanyai Jack dengan bergairah. Anak itu menceritakan pengalamannya. Mulai dari saat Elsa menunjukkan liang yang terdapat di balik lukisan, lalu anak-anak melarikan diri lewat liang itu menuju ke gua gema, dan dari situ ke gua pakis Disusul dengan petualangan Jack ketika ia pergi ke pondok para penjahat, kemudian bertemu dengan Pepi yang akhirnya diikat olehnya. Dan berakhir dengan akal hebatnya, mengurung para penjahat di balik pintu yang kokoh. "Wah! Harus kuakui, itu hasil yang sangat gemilang!" kata Bill kemudian. "Tapi takkan mudah untuk menyuruh mereka keluar dari dalam gua. Adakah kemungkinan bagi kami untuk menyergap mereka dari belakang? Maksudku, masuk lewat liang kecil yang kauceritakan tadi, sehingga para penjahat itu kaget dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi!" "Tentu saja bisa!" kata Jack. "Anda tinggalkan satu atau dua anak buah Anda di depan pintu yang terkunci, untuk menarik perhatian para penjahat yang ada di belakangnya. Sementara itu anak buah Anda yang selebihnya masuk ke dalam lewat jalan belakang, lalu menyergap para penjahat." "Usulmu itu bagus sekali," kata Bill, ia langsung memberi instruksi kepada anak buahnya. Setelah itu ia berpaling pada Philip, lalu berkata, "Akan kutinggalkan dua anak buahku di sini. Setengah jam lagi kau ajak mereka ke pintu yang tertutup. Di situ mereka harus menarik perhatian para penjahat pada mereka. Kau, Jack — kau ikut dengan aku serta anak buahku yang selebihnya. Tunjukkan jalan ke gua pakis, dan dari situ masuk ke gua gema, lalu menuju ke lorong yang berakhir di balik lukisan." Setelah itu mereka berangkat. Kedua petugas polisi yang ditinggal menunggu dulu selama setengah jam. Kemudian mereka ikut dengan Philip, ke pintu yang terkunci di ujung bawah tangga yang melengkung. Sesampai di situ mereka menggedor-gedor pintu, sambil berseru-seru. Dari dalam terdengar teriakan seseorang, sebagai jawaban. "Siapa di luar? Ayo, buka pintu!" Orang-orang di kedua sisi pintu saling gedor-mengedor dan berteriak-teriak. Wah, berisiknya bukan main saat itu! Suara teriakan dan gedoran campur aduk. Ketujuh penjahat yang terkurung di dalam ribut berteriak-teriak, memaksa agar pintu dibuka. Mereka marah sekali kedengarannya! Sementara itu Jack menunjukkan jalan ke gua pakis. Para petugas polisi agak kecut, ketika melihat betapa sempitnya Liang yang harus mereka masuki di belakang gua itu. Seorang di antara mereka nyaris saja tersangkut di situ. "Sungguh, petualangan kalian selalu aneh-aneh," kata Bill pada Jack, ketika mereka sudah sampai di gua gema. "Aku kepanasan sekarang. Huh!" "Huh-huhuhuh!" Seketika itu juga terdengar gema memantul dari segala arah. Bill kaget mendengarnya. "Apa itu?" katanya. "Apa itu-itu-ituitu!" terdengar gema menjawab. Jack tertawa. Bunyinya juga ikut menggema. "Itu kan gema," katanya. Kiki yang ikut dengan Jack menguak, lalu menirukan bunyi peluit kereta api cepat Gemanya membisingkan sekali. "Kiki selalu begitu kalau ada di sini," kata Jack sambil berjalan mendului. "Diam, Kiki! Burung nakal." Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di lorong yang menuju ke balik air terjun. Dalam lorong itulah terdapat lubang di langit-langit, yang merupakan mulut liang yang menuju ke balik lukisan. "Anda membawa tali, Bill?" kata Jack. "Kita harus naik ke lubang itu. Taliku kupakai untuk mengikat Pepi. Jika Anda menjunjung diriku lalu mendorong aku ke atas, aku akan bisa merangkak ke dalam rongga yang terdapat di sebelah atas lubang itu. Tali kuikatkan pada batu di situ, lalu kuulurkan ke bawah." Tugas itu diselesaikan Jack dengan cepat. Kemudian para petugas polisi yang ikut naik satu-satu. Belum pernah mereka begitu repot seperti saat itu — memanjat dan merangkak-rangkak. Mereka memperhatikan Jack dengan perasaan kagum. Jack yang merangkak paling depan, akhirnya sampai di ujung liang, di balik lukisan Ia mendengarkan dengan hati-hati. Ia tidak mendengar apa-apa dalam ruangan di depan lukisan. Para penjahat saat itu memang sedang sibuk semua di balik pintu yang digerendel dari luar, berteriak-teriak, menendang-nendang dan meng-gedor-gedor pintu. Jack mendorong lukisan yang menutupi ke depan, sehingga terjatuh. Ruangan dilihatnya kosong. Ia cepat-cepat meloncat ke luar, diikuti satu-satu oleh para petugas polisi. "Mudah-mudahan kita tidak perlu merangkak-rangkak lagi, Pak," kata seorang dari mereka pada Bill. "Untuk tugas begini, Anda memerlukan pembantu yang langsing-langsing!" "Lebih baik berjaga-jaga, mulai dari sekarang," kata Jack memperingatkan. "Kita sudah dekat gua harta! Dari situ kita akan sampai di gua patung. Di situlah terdapat pintu yang kugerendel dari luar." "Jangan bicara lagi sekarang," kata Bill pada anak buahnya. Para petugas itu mulai melangkah maju. Langkah mereka tidak terdengar, karena semua memakai sepatu bersol karet. Pistol nampak berkilat-kilat dalam genggaman mereka. Mereka melewati gua tempat peti-peti uang emas, melalui gua buku-buku kuno dan lukisan-lukisan. Jack menjamah lengan Bill, memperingatkannya agar berhati-hati. Ia mendengar sesuatu. "Itu mereka!" katanya. "Dengarlah! Dari bunyinya, mereka pasti hendak mendobrak pintu dengan batu, atau benda lain yang berat Kalau terus-menerus begitu, bisa saja mereka berhasil mendobrak pintu." Bill masuk ke gua patung, dari lorong penghubung. Walau ia sudah tahu dari keterangan Philip, namun ia agak kaget juga ketika tiba-tiba berhadapan dengan patung-patung yang diterangi cahaya redup kehijauan. Anak buahnya langsung merapat di belakangnya. Di ujung gua itu nampak ketujuh penjahat. Rupanya mereka menemukan sebongkah batu besar, dan mempergunakannya sebagai alat pendobrak. Buk! Batu besar dihantamkan ke daun pintu. Berulang-ulang! "Ini kesempatan kita," bisik Bill. "Mereka semua sibuk mendobrak pintu. Tak ada yang menggenggam pistol. Ayo maju!" Bill beserta anak buahnya menyelinap, menghampiri Juan dan kawan-kawannya dari belakang. "Angkat tangan! Kalian sudah terkepung!" seru Bill dengan galak. Para penjahat kaget setengah mati mendengarnya, lalu langsung mengangkat tangan. Kemudian Juan berpaling, dengan tangan masih terangkat ke atas. Ia memperhatikan rombongan polisi bertampang galak, yang berdiri dengan pistol tergenggam. "Bagaimana kalian bisa sampai di sini?" desisnya. "Apakah ada jalan lain kemari? Siapa yang mengurung kami?" "Jangan banyak tanya!" bentak Bill. Kemudian ia berseru kepada kedua anak buahnya yang ada di luar. "Jim! Pete! Buka pintu. Para penjahat sudah kami ringkus!" Terdengar bunyi gerendel-gerendel ditarik. Pintu terbuka, dan nampak Jim dan Pete yang berdiri di depan pintu sambil nyengir. "Asyik juga tipuan kita tadi," kata Pete. Jack ikut turun ke bawah. Sedang Dinah dan Lucy-Ann disuruh menunggu di atas, sampai para penjahat sudah diringkus. Keduanya menunggu dengan tidak sabar dalam gua bintang, bersama Elsa serta suaminya. Bill menghitung jumlah para penjahat. "Semuanya ada di sini," katanya. "Bagus! Dan yang kedelapan juga sudah kita kuasai. Pete, giring mereka ini kembali ke pesawat. Kalau ada yang hendak lari atau melawan, Anda tembak saja! Aku masih hendak memeriksa sebentar di sini. Kelihatannya penemuan ini menarik sekali!" Para penjahat diborgol, lalu digiring pergi ke luar. Mereka berjalan dengan langkah tersaruk-saruk. Mereka mengumpat-umpat. Jack memperhatikan mereka. Ia merasa gembira, karena ialah yang mendapat akal untuk mengurung mereka dalam gua. Bill menepuk punggung anak itu, sebagai pujian. Dinah dan Lucy-Ann bergegas turun ke bawah, ketika para penjahat sudah melewati gua bintang. Anak-anak berebut-rebut menunjukkan segala-segalanya pada Bill. Teman mereka itu tercengang-cengang. Ia bersiul kagum, ketika melihat begitu banyak harta yang terkumpul di situ. "Nilainya pasti tak terkirakan," katanya. "Takkan merupakan pekerjaan mudah, untuk mengetahui dari mana barang-barang ini berasal, dan kemudian mengirim kembali ke tempat asal itu. Tapi Julius Muller mungkin bisa menolong dalam hal ini." "Elsa dan suaminya juga bisa membantu," kata Lucy-Ann bersemangat "Mereka mengenal sejarah sebagian besar dari patung-patung ini." Kedua orang tua itu diajak ke luar, lalu pergi ke pesawat udara. Mereka tidak menolak lagi. Rupanya mereka memandang Bill sebagai orang penting yang harus dipatuhi. Kalau berbicara dengan dia, mereka selalu terbungkuk-bungkuk. "Mereka perlu kita bawa untuk ditanyai," kata Bill. "Tapi sesudah itu kita pulangkan selekas mungkin ke sini — atau tepatnya ke desa tempat tinggal laki-laki yang bernama Julius. Mungkin orang itu yang nanti bisa mengurus kehidupan kedua orang tua ini." Semuanya kemudian masuk ke dalam pesawat-pesawat terbang, yang kini berjumlah enam buah. Dua yang dipakai Bill bersama anak buahnya, untuk datang ke lembah itu, dan empat kepunyaan para penjahat. Tiga di antaranya dipakai untuk mengangkut kedelapan penjahat bersama pengawal mereka. Dua lagi diterbangkan oleh polisi yang juga penerbang. Elsa serta suaminya ikut dengan mereka. Anak-anak ikut dengan Bill, dalam pesawatnya sendiri. Ketika pesawat sudah membubung tinggi, anak-anak memandang ke luar. Untuk terakhir kalinya mereka memandang lembah terasing itu. "Ya, perhatikanlah baik-baik," kata Bill. Tidak lama lagi lembah itu akan menjadi berita dalam surat kabar. Lembah Harta!" "Bukan, Bill! Bukan Lembah Harta, tapi Lembah Petualangan!" kata Jack. "Bagi kami, itulah namanya yang sesuai. Lembah Petualangan!" "Untung kita tadi menemukan Martha dalam keadaan selamat," kata Lucy-Ann, sementara semuanya sedang asyik merenung dengan pikiran masing-masing. "Aku suka sekali padanya. Ia manis sekali!" "Astaga! Siapa itu — Martha?" seru Bill kaget. "Kusangka wanita tua itu bernama Elsa. Kan tidak ada yang masih ketinggalan?" "Tidak. Bill." jawab Lucy-Ann. "Martha saat ini duduk dalam pangkuan Elsa, naik pesawat terbang. Mungkin ia akan bertelur di situ!" Bill semakin bingung. "Martha itu ayam betina." kata Lucy-Ann menjelaskan. "Semula ia ikut terkurung dalam gua, bersama para penjahat. Kami sudah khawatir, jangan-jangan ia dibunuh oleh orang-orang jahat itu. Tapi ternyata tidak! Ayam betina itu pintar. Ia bersembunyi di bawah meja. Ketika kami masuk, ia langsung datang menghampiri, sambil berkotek-kotek. Saat itu kurasa Anda sedang sibuk dengan harta karun, Bill!" "Ya, rupanya aku tidak sempat melihatnya," kata Bill. "Jadi aku tidak bisa berkenalan dengan satu tokoh lagi dalam petualangan ini. Sayang!" "Sayang, sayang, sayang," oceh Kiki menirukannya. "Tek-tek-kotek! Cul — si Martha muncul!" Tamat Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com